Sunday, 4 December 2016
JENIS KOMUNIKASI
JENIS KOMUNIKASI
Pada
dasarnya komunikasi digunakan untuk menciptakan atau meningkatkan aktifitas
hubungan antara manusia atau kelompok
Jenis komunikasi terdiri
dari:
1. Komunikasi verbal dengan
kata-kata
2.
Komunikasi non verbal disebut dengan
bahasa tubuh
1. Komunikasi Verbal
mencakup aspek-aspek berupa ;
a.
Vocabulary (perbendaharaan
kata-kata). Komunikasi tidak akan efektif bila pesan disampaikan dengan
kata-kata yang tidak dimengerti, karena itu olah kata menjadi penting dalam
berkomunikasi.
b.
Racing (kecepatan).
Komunikasi akan lebih efektif dan sukses
bila kecepatan bicara dapat diatur dengan baik, tidak terlalu cepat atau
terlalu lambat.
c.
Intonasi suara: akan
mempengaruhi arti pesan secara dramatik
sehingga pesan akan menjadi lain artinya
bila diucapkan dengan intonasi suara yang berbeda. Intonasi suara yang
tidak proposional merupakan hambatan dalam berkomunikasi.
d.
Humor: dapat
meningkatkan kehidupan yang bahagia. Dugan (1989), memberikan catatan bahwa
dengan tertawa dapat membantu menghilangkan
stress dan nyeri. Tertawa mempunyai hubungan fisik dan psikis dan harus
diingat bahwa humor adalah merupakan
satu-satunya selingan dalam berkomunikasi.
e.
Singkat dan jelas.
Komunikasi akan efektif bila disampaikan
secara singkat dan jelas, langsung pada pokok permasalahannya sehingga lebih
mudah dimengerti.
f.
Timing (waktu yang
tepat) adalah hal kritis yang perlu diperhatikan karena berkomunikasi akan
berarti bila seseorang bersedia untuk
berkomunikasi, artinya dapat menyediakan waktu untuk mendengar atau memperhatikan
apa yang disampaikan.
2.
Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata dan komunikasi non verbal memberikan
arti pada komunikasi verbal.
Yang termasuk komunikasi non verbal :
a.
Ekspresi wajah
Wajah merupakan
sumber yang kaya dengan komunikasi, karena ekspresi wajah cerminan suasana
emosi seseorang.
b.
Kontak mata, merupakan
sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Dengan mengadakan kontak mata selama
berinterakasi atau tanya jawab berarti
orang tersebut terlibat dan menghargai lawan bicaranya dengan kemauan untuk
memperhatikan bukan sekedar
mendengarkan. Melalui kontak mata juga
memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengobservasi yang lainnya
c.
Sentuhan adalah bentuk komunikasi personal mengingat sentuhan lebih bersifat spontan
dari pada komunikasi verbal. Beberapa pesan
seperti perhatian yang sungguh-sungguh, dukungan emosional, kasih
sayang atau simpati dapat dilakukan
melalui sentuhan.
d.
Postur tubuh dan gaya berjalan. Cara
seseorang berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperlihatkan ekspresi
dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan merefleksikan emosi, konsep diri, dan
tingkat kesehatannya.
e.
Sound (Suara).
Rintihan, menarik nafas panjang, tangisan
juga salah satu ungkapan
perasaan dan pikiran seseorang yang dapat dijadikan komunikasi.
Bila dikombinasikan dengan semua bentuk komunikasi non verbal lainnya sampai desis
atau suara dapat menjadi pesan
yang sangat jelas.
Gerak isyarat,
adalah yang dapat mempertegas pembicaraan . Menggunakan isyarat sebagai bagian
total dari komunikasi seperti
mengetuk-ngetukan kaki atau mengerakkan tangan
selama berbicara menunjukkan seseorang dalam keadaan stress
bingung atau sebagai upaya untuk menghilangkan stressILMU KOMUNIKASI
A. Akar Kata Komunikasi
Kata
“komunikasi” berasal dari bahasa Latin, “comunis”,
yang berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang
atau lebih. Akar katanya “communis”
adalah “communico” yang artinya
berbagi (Stuart,1983, dalam Vardiansyah, 2004 : 3). Dalam literatur lain
disebutkan komunikasi juga berasal dari kata “communication” atau “communicare”
yang berarti " membuat sama" (to
make common). Istilah “communis” adalah
istilah yang paling sering di sebut sebagai asal usul kata komunikasi, yang
merupakan akar dari kata kata Latin yang mirip Komuniksi menyarankan bahwa suatu pikiran,
suatu makna, atau suatu pesan di anut secara sama. (http://cahpct.blogdetik.com/2009/04/02/definisi-komunikasi/).
Dalam hal ini,
yang dibagi adalah pemahaman bersama melalui pertukaran pesan. Komunikasi
sebagai kata kerja (verb) dalam
bahasa Inggris, “communicate”, berarti
(1) untuk bertukar pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan informasi; (2) untuk
membuat tahu; (3) untuk membuat sama; dan (4) untuk mempunyai sebuah hubungan
yang simpatik. Sedangkan dalam kata benda (noun),
“communication”, berarti : (1)
pertukaran simbol, pesan-pesan yang sama, dan informasi; (2) proses pertukaran
diantara individu-individu melalui simbol-simbol yang sama; (3) seni untuk
mengekspresikan gagasan-gagasan, dan (4) ilmu pengetahuan tentang pengiriman
informasi (Stuart, 1983, dalam Vardiansyah, 2004).
Dari uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi berasal dari akar kata yang maknanya
selalu (1) melibatkan pertukaran simbol atau tanda baik verbal maupun
nonverbal, (2) terbangunnya relasi kebersamaan antara komunikator dengan
komunikan. Simbol atau tanda verbal seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Sementara simbol atau tanda nonverbal seperti mimic, gerak-gerik serta suara.
Terbangunnya relasi kebersamaan ini bukan selalu sebagai hubungan yang positif
seperti keakraban atau keintiman melainkan terbentuknya kontak hubungan antara
pengirim pesan dengan penerima pesan melalui simbol atau tanda-tanda tertentu
yang bersifat verbal atau nonverbal. Aplikasi kontak simbol ini baik dilakukan dengan
diri sendiri (intrapersonal) maupun dengan pihak lain (antarpersonal).
B. Definisi Komunikasi
Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari
aktivitas komunikasi karena komunikasi merupakan bagian integral dari sistem
dan tatanan kehidupan sosial manusia dan masyarakat. Aktivitas komunikasi dapat
dilihat pada setiap aspek kehidupan sehari-hari manusia yaitu sejak dari bangun
tidur sampai manusia beranjak tidur pada malam hari. Bisa dipastikan sebagian
besar dari kegiatan kehidupan kita mengunakan komunikasi baik komunikasi verbal
maupun nonverbal. Namun, apa yang dimaksud dengan komunikasi itu sendiri ?
Pawito dan C Sardjono (1994 : 12) mencoba mendefinisikan
komunikasi sebagai suatu proses dengan mana suatu pesan dipindahkan atau
dioperkan (lewat suatu saluran) dari suatu sumber kepada penerima dengan maksud
mengubah perilaku, perubahan dalam pengetahuan, sikap dan atau perilaku overt lainnya. Sekurang-kurangnya
didapati empat unsur utama dalam model komunikasi yaitu sumber (the source), pesan (the message), saluran (the
channel) dan penerima (the receiver).
Wilbur Schramm menyatakan komunikasi sebagai suatu
proses berbagi (sharing process).
Schramm menguraikannya sebagai berikut :
“Komunikasi
berasal dari kata-kata (bahasa) Latin communis
yang berarti umum (common) atau
bersama. Apabila kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha
menumbuhkan suatu kebersamaan (commonnes)
dengan seseorang. Yaitu kita berusaha berbagai informasi, ide atau sikap.
Seperti dalam uraian ini, misalnya saya sedang berusaha berkomunikasi dengan
para pembaca untuk menyampaikan ide bahwa hakikat sebuah komunikasi sebenarnya
adalah usaha membuat penerima atau pemberi komunikasi memiliki pengertian
(pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu” (Suprapto, 2006 : 2-3).
Dari uraian tersebut, definisi komunikasi menurut Schramm
tampak lebih cenderung mengarah pada sejauhmana keefektifan proses berbagi
antarpelaku komunikasi. Schramm melihat sebuah komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang berhasil melahirkan kebersamaan (commonness), kesepahaman antara sumber (source) dengan penerima (audience)-nya.
Menurutnya, sebuah komunikasi akan benar-benar efektif apabila audience menerima pesan, pengertian dan
lain-lain persis sama seperti apa yang dikehendaki oleh penyampai.
Pakar komunikasi lain, Joseph A Devito mengemukakan
komunikasi sebagai transaksi. Transaksi yang dimaksudkannya bahwa komunikasi
merupakan suatu proses dimana komponen-komponennya saling terkait dan bahwa
para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan dan
keseluruhan. Dalam setiap proses transaksi, setiap elemen berkaitan secara
integral dengan elemen lain (Suprapto, 2006 : 5).
Sebagai proses, kata Smith, komunikasi sekaligus
bersifat khas dan umum, sempit dan luas dalam ruang lingkupnya. Dirinya
menguraikan :
“Komunikasi
antarmanusia merupakan suatu rangkaian proses yang halus dan sederhana. Selalu
dipenuhi dengan berbagai unsur-sinyal, sandi, arti tak peduli bagaimana
sederhananya sebuah pesan atau kegiatan itu. Komunikasi antarmanusia juga
merupakan rangkaian proses yang beraneka ragam. Ia dapat menggunakan beratus-ratus
alat yang berbeda, baik kata maupun isyarat ataupun kartu berlubang baik berupa
percakapan pribadi maupun melalui media massa dengan audience
di seluruh dunia…ketika manusia berinteraksi saat itulah mereka
berkomunikasi…saat orang mengawasi orang lain, mereka melakukan melalui
komunikasi” (Blake dan Haroldsen, 2003 : 2-3).
Sedangkan, Larry A Samovar, Richard E Porter dan Nemi
C Janin dalam bukunya Understanding
Intercultural Communication mendefinisikan komunikasi sebagai berikut :
“Communication
is defined as a two way on going, berhaviour affecting process in which one
person (a source) intentionally encodes and transmits a message throught a
channel to an intended audience (receiver) in order to induce a particular
attitude or behaviour” (Purwasito, 2003 : 198).
Dance dan
Larson (dalam Vardiansyah, 2004 : 9) setidaknya telah mengumpulkan 126 definisi
komunikasi yang berlainan. Namun, Dance dan Larson mengidentifikasi hanya ada
tiga dimensi konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi
temuannya itu, antara lain :
1.
Tingkat observasi atau derajat
keabstrakannya. (a) Definisi bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan
komunikasi adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya
dalam kehidupan. (b) Definisi bersifat khusus, misalnya definisi yang
menyatakan bahwa komunikasi adalah alat untuk mengirimkan pesan militer,
perintah dan sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir dan sebagainya.
2.
Tingkat kesengajaan. (a)
Definisi yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa
komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber
mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk
mempengaruhi perilaku penerima. (b) Definisi yang mengabaikan kesengajaan, misalnya
dari Gode (1959) yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu
dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi
dimiliki dua orang atau lebih.
3.
Tingkat keberhasilan dan
diterimanya pesan. (a) Definisi yang menekankan keberhasilan dan diterimanya
pesan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses
pertukaran informasi untuk mendapatkan saling pengertian. (b) Definisi yang
tidak menekankan keberhasilan dan tidak diterimanya pesan, misalnya definisi
yang menyatakan komunikasi adalah proses transmisi informasi.
Dari
berbagai definisi komunikasi yang ada, Sasa Djuarsa Sendjaja dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi mencoba
menjabarkan tujuh definisi yang dapat mewakili sudut pandang dan konteks pengertian
komunikasi. Definisi-definisi tersebut antara lain :
1.
Komunikasi adalah suatu proses
melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam
bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang
lainnya (khalayak). Definisi ini seperti yang dikemukakan Hovland, Janis &
Kelley (1953).
2.
Komunikasi adalah proses
penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain-lain. Melalui
penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka dan
lain-lain. Komunikasi ini seperti yang dikemukakan Berelson dan Stainer (1964).
3.
Komunikasi pada dasarnya
merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran
apa, kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil apa? (Who? Says what? In which channel? To whom? With what effect?). Definisi
seperti yang dikemukakan Lasswell (1960).
4.
Komunikasi adalah suatu proses
yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang (monopoli
seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih. Definisi ini seperti
yang dikemukakan Gode (1959).
5.
Komunikasi timbul didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara
efektif, mempertahankan atau memperkuat ego. Definisi ini seperti dikemukakan
Barnlund (1964).
6.
Komunikasi adalah suatu proses
yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Definisi
ini seperti yang disampaikan Ruesch (1957).
7.
Komunikasi adalah seluruh
prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang
lainnya. Definisi ini seperti yang dikemukakan Weaver (1949) (Zubair, 2006).
Sementara Riswandi menyimpulkan beberapa
karakteristik komunikasi berdasar berbagai
definisi yang dikemukakan para ahli, antara lain :
1.
Komunikasi adalah suatu proses, artinya komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa
yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan satu
sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.
2.
Komunikasi adalah suatu upaya yang disengaja serta
mempunyai tujuan. Komunikasi adalah suatu kegiatan
yang dilakukan secara sadar, disengaja, serta sesuai dengan tujuan atau
keinginan dari pelakunya.
3.
Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja
sama dari para pelaku yang terlibat kegiatan
komunikasi akan berlangsung baik apabila pihak-pihak yang berkomunikasi
(dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai
perhatian yang sama terhadap topik pesan yang disampaikan.
4.
Komunikasi bersifat simbolis karena dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Lambang yang paling
umum digunakan dalam komunikasi antar manusia adalah bahasaverbal dalam bentuk
kata-kata, kalimat, angka-angka atau tanda-tanda lainnya.
5.
Komunikasi bersifat transaksional. Komunikasi pada dasarnya menuntut dua tindakan, yaitu memberi dan
menerima. Dua tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara seimbang atau
porsional.
6.
Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu Maksudnya bahwa para pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak
harus hadir pada waktu serta tempat yang sama. Dengan adanya berbagai produk
teknologi komunikasi seperti telepon, internet, faximili, dan lain-lain, faktor
ruang dan waktu tidak lagi menjadi masalah dalam berkomunikasi. (Riswandi,
2006).
Jika dilihat sekilas dari ulasan di atas,
kiranya dapat ditarik benang merah bahwa tiap ahli bisa memiliki pandangan
beragam dalam mendefinisikan komunikasi.
Komunikasi terlihat sebagai kata yang abstrak sehingga memiliki banyak
arti. Kenyataannya untuk menetapkan satu definisi tunggal terbukti sulit dan
tidak mungkin terutama jika melihat pada berbagai ide yang dibawa dalam istilah
itu.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan
sosial yang bersifat multidisipliner sehingga definisi komunikasi pun menjadi
banyak dan beragam. Masing-masing mempunyai penekanan arti, cakupan, konteks
yang berbeda satu sama lain, tetapi pada dasarnya berbagai definisi komunikasi
yang ada sesungguhnya saling melengkapi dan menyempurnakan sejalan dengan
perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Blake, Reed H., and Haroldsen, Edwin O. Taksonomi Konsep Komunikasi. Cetakan Ke-1. Terj. Hasan Bahanan. Surabaya : Papyrus, 2003.
Pawito, dan C Sardjono. Teori-Teori
Komunikasi. Buku Pegangan Kuliah Fisipol Komunikasi Massa S1 Semester IV. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, 1994.
Purwasito, Andrik. Komunikasi Multikultural.
Cetakan Ke-1. Surakarta : Muhammadiyah University
Press, 2003.
Suprapto, Tommy. Pengantar
Teori Komunikasi. Cetakan Ke-1. Yogyakarta :
Media Pressindo, 2006.
Vardiansyah, Dani. Pengantar
Ilmu Komunikasi. Cetakan Ke-1. Bogor : Ghalia
Indonesia ,
2004.
Internet :
Zubair, Agustina. “Definisi Komunikasi.” WordPress.com 17 Oktober 2006. 10 Juni
2010. <http://meiliemma.wordpress.com/2006/10/17/definisi-komunikasi>.
Riswandi. “Definisi Komunikasi dan Tingkatan
Proses Komunikasi.” WordPress.com
17 Oktober 2006. 10 Juni 2010. <http://meiliemma.wordpress.com/2006/10/17/definisi-komunikasi-dan-tingkatan-proses-komunikasi/>.
“Definisi
Komunikasi.” Blogdetik.com. 11 Juni 2010. <http://cahpct.blogdetik.com/2009/04/02/definisi-komunikasi/>
BANI UMAYYAH : SEJARAH PERTUMBUHAN PERADABAN YANG DICAPAI DAN KEMUNDURAN
BAB
I
PENDAHULUAN
Kemunculan
agama Islam pada awal abad ke-7 di Mekkah, memperlihatkan
kekuatan kepemimpinan umat Islam berganti dari tangan ke tangan
dengan pemimpinnya yang juga disebut “khalifah”,
atau kadang-kadang “amirul mukminin”,
“sultan”, dan sebagainya.
Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik di kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Bani Utsmaniyyah.
Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik di kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Bani Utsmaniyyah.
Besarnya
kekuasaan kekhalifahan Islam telah menjadikannya salah satu kekuatan politik
yang terkuat dan terbesar di dunia pada saat itu. Timbulnya tempat-tempat
pembelajaran ilmu-ilmu agama, filsafat, sains, dan tata bahasa Arab di berbagai
wilayah dunia Islam telah mewujudkan satu kontinuitas kebudayaan Islam yang
agung. Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan bermunculan dari berbagai
negeri-negeri Islam, terutamanya pada zaman keemasan Islam sekitar abad ke-7
sampai abad ke-13 masehi. Luasnya wilayah penyebaran agama Islam dan
terpecahnya kekuasaan kekhalifahan yang sudah dimulai sejak abad ke-8,
menyebabkan munculnya berbagai otoritas-otoritas kekuasaan terpisah yang
berbentuk
“kesultanan”; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan terkenal di dunia.
Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-kesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka bagian dari kekhalifahan Islam.
“kesultanan”; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan terkenal di dunia.
Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-kesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka bagian dari kekhalifahan Islam.
Pada
kurun waktu ke-18 dan ke-19 masehi, banyak kawasan-kawasan Islam jatuh ke
tangan penjajah Eropa. Kesultanan Utsmaniyyah (Kerajaan Ottoman) yang secara
nominal dianggap sebagai kekhalifahan Islam terakhir, akhirnya tumbang selepas
Perang Dunia I.
Kerajaan Ottoman pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad V, karena dianggap kurang tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh Mustafa Kemal Pasha atau Kemal Attaturk, sistem kerajaan dirombak dan diganti menjadi republik.
Kerajaan Ottoman pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad V, karena dianggap kurang tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh Mustafa Kemal Pasha atau Kemal Attaturk, sistem kerajaan dirombak dan diganti menjadi republik.
Berbicara
mengenai wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang jelas hal ini telah
menginspirasikan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk tampil sebagai pemegang
tampuk kekuasaan islam, yang akhirnya berhasil dan mengubah kekuasaan dengan
sistem dinasti dan diberi nama khilafah Bani Umayyah. Dengan segala kelebihan
dan kekurangannya dinasti yang dibentuk mu’awiyah akhirnya dinasti ini runtuh
pula.
Indikasi keruntuhan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah tercium
sepeninggal khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Kedamaian dan ketentraman yang
dirasakan masyarakat berganti dengan kekacauan dan kerusuhan. Keadaan ini terus
berlanjut hingga pucuk pimpinan dinasti ini dipegang khalifah Hisyam ibn Abdul
Malik dan khalifah-khalifah berikutnya. Di sisi lain kelompok oposisi yang
digalang oleh keturunan Abbas ibn Abdul Muthalib yang mendapatkan dukungan dari
golongan mawali (non-Arab) dan Abu Muslim al-Khurasani
menjelma menjadi momok menakutkan, ditambah lagi khalifah-khalifah yang
menggantikan Hisyam Ibn Abdul Malik begitu lemah dan bermoral buruk. Ketika
Marwan Ibn Muhammad naik tahta, Khalifah yang tercatat sebagai khalifah
terakhir dari Bani Umayyah ini karena adanya kekacauan, dia melarikan diri ke
Mesir dan akhirnya terbunuh di sana. Dan pada saat itulah kekhalifahan
berpindah kepada Bani Abbasiyah.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pertumbuhan
Daulah Bani
Umayah mengambil nama keturunan dari Umayah ibnu Abdu Syams ibnu Abdu Manaf. Ia
adalah salah seorang terkemuka dalam persukuan Quraisy pada zaman jahiliyah,
berganding dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdu Manaf. Antara Umayah dan Hasyim
berganding paling keras dalam memperebutkan kedudukan di kalangan Quraisy.
Namun, Umayah mempunyai sebab-sebab kemenangan yang lebih banyak daripada
Hasyim sebab Umayah adalah saudagar, banyak harta dan banyak pula keturunan.
Padahal harta dan keturunan adalah pengkal kemenangan dalam memperebutkan
pengaruh dalam masyarakat suku-suku Arab. Karena kekurangan keturunan itulah,
Abdul Muthalib ibnu Hasyim pernah bernadzar apabila telah cukup sepuluh orang
anak laki-lakinya, seorang akan dikurbankannya pada berhala. Nyaris saja,
anaknya yang bernama Abdullah (ayah Nabi Muhammad saw.) dikurbankan. Syukurlah,
berhala mau menerima tebusan 100 ekor unta.[1]
Bani Umayah merupakan keturunan Umayah,
yang masih memiliki ikatan persaudaraan dengan para pendahulu Nabi. Naiknya bani
Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, salah
seorang keturunan bani umayah dan salah seorang sahabat Nabi, dan ia menjadi
bagian penting dalam setiap masa pemerintahan para khulafa ar-rasyidun.
Pada masa Utsman, Mu’awiyah diduga memiliki hubungan yang kuat dengan Ustman,
sehingga terjebak dengan praktik nepotisme dengan Mu’awiyah. Bahkan kerusakan pemerintahan Utsman akibat nepotismenya kepada Bani
Umayah, sehingga mendapatkan tantangan dari para pendukung Ali.
Disinilah letak kepekaan nalar politik yang dimiliki Mu’awiyah mulai
bekerja. Mu’awiyah pada dasarnya termasuk politisi ulung yang mampu mengambil
posisi kekuasaan dalam setiap masa pemerintahan. Pada masa Ustman, betapa
Mu’awiyah mampu membangun koalisi nepotis dengan Utsman, sehingga Bani Umayah
tetap menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara pada masa-masa Ali, Mu’awiyah
telah mulai melakukan gerakan politik untuk meraih posisi puncak dalam
kekuasaan. Mu’awiyah mampu memanfaatkan kelemahan dan keluguan kekuasaan Ali.
Pada masa Ali masih berkuasa, Mu’awiyah telah memiliki kekuatan penuh,
sehingga pada saat Ali terbunuh, Mu’awiyah langsung mengambil alih kekuasaan
dengan sangat mudah dan terkordinasi dengan baik. Salah satu kepekaan nalar
politik Mu’awiyah ialah mampu belajar pada pengalaman yang terjadi pada tiga
khalifah sebelumnya, yang berakhir dengan pembunuhan. Pilihan memindahkan
kekuasaan ke luar Jazirah Arab, menunjukkan sikap dan kecerdasan politik
Mu’awiyah dalam menghindari pergolakan antar kubu yang sangat tragis di
kalangan umat Islam di jazirah Arab bahkan sebagai upaya untuk menghindari
tragedi pembunuhan yang dilakukan terhadap tiga khalifah sebelumnya. Akhirnya,
Mu’awiyah dan dinastinya mengendalikan kekuasaannya dari luar jazirah Arab,
mencoba bersebarangan dengan para pendahulu-pendahulunya yang berkonsentrasi di
wilayah jazirah Arab. Menurut H.A.R. Gibb : Mulai tahun 660 M. ibu kota
kerajaan Arab dipindahkan ke Damaskus, tempat kedudukan baru khilafah Bani
Umayah, sedangkan Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam,
pemerintah dan kehidupan umum kerajaan dipengaruhi oleh dapat istiadat Yunani
Romawi Timur.
“Throughout all Syria the
Christians were well treated under the have already learned, Mu'awiyah's wife
was a Christian, as were his poet, physician and secretary of finance. We read
of only one conspicuous exception, that of al-Walid I, who put to death the
chief of the Christian Arab tribe of the banu-Taghlib for refusing to profess
Islam.1 Even in Egypt Copts rose several times against their Moslem overlords
before they finally succumbed in the days of the 'Abbasid al-Ma'miin (813-33)”[2]
B. Sistem Pergantian Khalifah
Pada masa-masa Awal Mu’awiyah menjadi penguasa, kekuasaan masih berjalan secara demokratis, tetapi setelah berjalan dalam
beberapa waktu, Mu’awiyah mengubah model pemerintahnya dengan model
pemerintahan monarchiheredetis (kerajaan turun temurun).[3] yaitu sebagai berikut:
NO
|
NAMA
|
MASA BERKUASA
|
1
|
Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan
|
661-681 M
|
2
|
Yazid ibn Mu’awiyah
|
681-683 M
|
3
|
Mua’wiyah ibnu Yazid
|
683-685 M
|
4
|
Marwan ibnu Hakam
|
684-685M.
|
5
|
Abdul Malik ibn Marwan
|
685-705 M
|
6
|
Al-Walid ibnu Abdul Malik
|
705-715 M
|
7
|
Sulaiman ibnu Abdul Malik
|
715-717 M
|
8
|
Umar ibnu Abdul Aziz
|
717-720 M
|
9
|
Yazid ibnu Abdul Malik
|
720-824 M
|
10
|
Hisyam ibnu Abdul Malik
|
724-743 M
|
11
|
Walid ibn
Yazid
|
734-744 M
|
12
|
Yazid ibn
Walid [ Yazid III]
|
744 M
|
13
|
Ibrahim ibn Malik
|
744 M
|
14
|
Marwan ibn Muhammad
|
745-750 M
|
Sumber : Philip
K. Hitti, “History Of The Arabs : Tenth
Edition” The subjoined tree shows the connection of
the lines of caliphs hlm.184
C. Peradaban yang dicapai
1.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Pemerintahan dinasti Bani
Umayyah yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang
sangat kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para
cendikiawan sebagai tempat mengadu. Bahkan mereka menyediakan dana khusus untuk
para ulama dan filosof.[4]
Penghormatan kepada ulama karena didorong oleh semangat keagamaan mereka. Pada
periode ini belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah
biasanya akan di sekolahkan ke Badiyah (pedesaan), gurun Suriah. Kesanalah
Muawiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya (Yazid).
Di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, para da’i Islam dikirim ke berbagai negara seperti India, Turki, Asia Tengah, Afrika, Andalusia dan sebagainya dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Waktu itu, beliau memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong mempelajari hukum Islam di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Kemudian ia menyuruh golongan cendikiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani dan Latin ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu tersebut dapat dicerna oleh umat Islam.
Di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, para da’i Islam dikirim ke berbagai negara seperti India, Turki, Asia Tengah, Afrika, Andalusia dan sebagainya dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Waktu itu, beliau memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong mempelajari hukum Islam di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Kemudian ia menyuruh golongan cendikiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani dan Latin ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu tersebut dapat dicerna oleh umat Islam.
Dan
di masa Umar bin Abd Aziz inilah beliau menginstruksikan untuk mentadwinkan
(mengumpulkan) kitab-kitab hadits.[5]
Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu pada masa Bani Umayyah masih seperti
zaman Khulafaurrasyidin, yaitu Damaskus, Kuffah, Basrah, Mekkah, Madinah dan
Mesir. Ilmu pengetahuan pada masa itu terbagi menjadi dua yaitu;
a. Al-Adaabul
Hadisah (ilmu-ilmu baru) yang terdiri dari dua bagian, yaitu:
1) Al-Ulumul
Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadits, al-Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah,
at-Tarikh dan al-Jugrafi
2) Al-Ulumul
Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti
Filsafat, dan lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
b. Al-Adaabul
Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliyah dan
di zaman khulafaurrasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah dan
amsaal.[6]
Adapun
tokoh-tokoh ilmu pengetahuan di antaranya Abu al-Aswad al-Du’ali (perintis tata
bahasa), al-Khalil ibn Ahmad (penyusun Kitab al-Ayn), Hasan al-Bashri, Ibn
Syihab al-Zuhri, Amir ibn Syarahil al-Sya’bi, Abu Hanifah, Abid ibn Syaryah dan
Wahb ibn Munabbih.[7]
2.
Bidang Ekonomi
Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah
Baitul-Mal (tempat untuk menyimpan kekayaan Negara) sebagai kas perbendaharaan
Negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Baitul-Mal tersebut
yang dikordinir oleh Diwan al-Kharaj (dewan yang mengurusi pajak tanah). Hasil
bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5% ke pemerintah, sedangkan pajak
untuk setiap transaksi disetor sebesar 10%. Khusus barang dagangan yang
nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan pajak.
Sumber dana lain untuk pengisian
Baitul-Mal adalah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang
daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Dana-dana tersebut digunakan untuk
pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur-sumur di
sepanjang jalan dan pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan
hanya pada suatu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke
daerah-daerah secara adil.[8]
Kemudian kebijakan yang strategis pada masa dinasti Bani Umayyah adalah adanya
sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa khalifah Abdul Malik. Dia
mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang diipakai di daerah-daerah
yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M
dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas
dan perak sebagai lambing kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada
sebelumnya.
3.
Bidang Administrasi
Administrasi pemerintahan Bani Umayyah
telah nampak pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di
Damaskus. Muawiyah dikenal dalam kepemimpinannya karena dalam dirinya terkumpul
sifat seorang politikus dan administrator.Di zaman ini pertama dikenalkan
materai resmi untuk mengirimkan memorandum yang berasal dari Khalifah serta
pertama kali menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan
cepat.
Penambahan administrasi pemerintahan
besar-besaran terjadi pula pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia
melakukan pembenahan administrasi negara dengan memerintahkan para pejabat
negara menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi dalam
pemerintahan. Hal tersebut pertaama kali diterapkan di Syiria dan Irak,
kemudian di Mesir dan Persia.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Khalifah Bani
Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab yang meliputi:
a. Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan
pembesar-pembesar setempat.
b. Katib al-Kharraj yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara.
c. Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
d. Katib asy-Syurthah yaitu sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e. Katib al- Qadhi yaitu sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan
hakim setempat.[9]
Demikianlah kemajuan-kemajuan yang dicapai
dinasti Bani Umayyah yang tentunya membawa sebuah perubahan besar dalam
perkembangan sejarah peradaban Islam. Hal ini setidaknya tercermin pada masa Muawiyah
ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn
Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abd
al-Malik (724-743 M).
d. Kemunduran Bani Umayyah
Selama
berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, penguasa Bani Umayah, sejak Umayah
berkuasa harus diakui telah banyak memberikan sesuatu yang berarti bagi Islam.
Tetapi, kekuasaan yang dibangun dengan cara-cara yang keras dan kasar seperti
yang dilakukan oleh Mu’awiyah seperti pasa saat ia merebut kekkuasaan, dan
ditambah lagi dengan pola suksesi yang bersifat keluargaan telah memunculkan
perlawanan yang keras dari lawan-lawan politik Bani Umaya. Sejak sepeninggal
Hisyam ibnu Abd Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah terus mengalami melemah,
bukan hanya moral tetap juga lemah dalam kekuataan politik. Kelemahn ini tentu saja terus dimanfaatkan dengan baik oleh musuh-musuh
Bani Umayah untuk dihancurkan, dan segera diganti.
Beberapa faktor yang menjadi akar melemah dan hancurnya Bani Umayah, antara
lain :
a. Perselisihan
antar keluarga khalifah.
Perselisihan antar keluarga khalifah, yaitu para putra
mahkota yang menjadikan rapuhnya kekuatan kekhalifaan. Apabila yang pertama
memegang kekuasaan, maka ia berusaha untuk mengasingkan yang lain dan
menggantikannya dengan anaknya sendiri. Hal ini menimbulkan permusuhan dalam
keluarga dan tidak hanya terbatas pada tingkat khalifah dan gebernur saja.
Menurut Philip K.Hitti, sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah
suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas,
pergantian khalifah itu tidak jelas. Ketidakjelasan pergantian ini
mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota
keluarga istana.[10]
b.
Moralitas Khalifah atau gebernur yang jauh
dari konsep Islam
Kekayaan
Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gebernur untuk hidup
berfoya-foya, bersuka ria dalam kemewahan, terutama pada masa Khalifah Yazid II
naik tahta. Ia terpikat pada dua biduanitanya, Sallamah dan Hababah serta suka
minum minuman keras yang berlebihan. Namun gelar peminum terhebat dipegang
anaknya, al-Walid II yang terkenal keras kepala dan suka berfoya-foya. Ia
diriwayatkan terbiasa berendam di kolam anggur, yang biasa ia minum airnya hingga
kedalamannya berkurang. Kemudian para wazir dan panglima Bani Umayyah sudah
mulai korupsi dan mengendalikan negara karena para khalifah pada saat itu
sangat lemah.[11]
c. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd
Thalib yang
mendapatkan dukungan dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali.[12]
d. Akhir kehancuran Dinasti Umayah, dimulai oleh pembunuhan terhadap khalifah
Marwan
yang dilakukan oleh Abul Abbas as-Shaffah, setelah itu ia menjadi khalifah
dalam kekuasaan umata Islam. Kemudian kelompok Abul Abbas, beralih
menghancurkan Yazid bin Umar bin Hubairah, yang merupakan benteng terakhir
kekuasaan dinasti Umayah.[13]
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses berdirinya
kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Usman bin Affan tewas terbunuh
oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu
khalifah Usman Bin Affan dianggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasan Islam. Masyarakat Madinah, khususnya para sahabat besar seperti
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwan mendatangi sahabatnya Ali bin Abi
Thalib untuk menjadi khalifahan pengganti Usman bin Affan. Permintaan itu
dipertimbangkan dengan masa dan akhirnya Ali bin Abi Thalib menerima tawaran
tersebut. Keadaan sosial politik pada awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib sangat
tidak stabil karena Usman bin Affan banyak terjadi pemberontakan dimana-mana.
Pemberontakan- pemberontakan itu tidak dapat diselelesaikan hingga akhir
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali bin Abi Thalib wafat karena
terbunuh oleh ibnu Muljam, salah satu anggota khawarij (661 M), kekhalifahan
dialihkan kepada putranya yaitu Hasan bin Ali. Di tengah- tengah pemerintahan,
Hasan semakin lemah dan Muawiyah semakin kuat. Dan akhirnya Hasan mengadakan
perjanjian damai dengan muawiyah. Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari
Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti
Umayyah di bawah pimpinan khalifah yang pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Gaya dan corak
kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan
masa- masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafadin Rasyidin. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipililh secara demokratis dengan kepemimpinan
karismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara
langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Hereditas,
yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran.
Faktor- faktor itu antara lain:
a. Sistem pergantian
khalifah melalui garis keturunan.
b. Penindasan yang terus menerus
terhadap pengikut Ali bin Abi Thalib pada
khususnya dan Bani Hasyim pada umumnya.
c. Pertentangan
etnis antara Bani Qads dan Bani Kalb yang sudah ada sejak zaman
sebelum Islam, makkin meruncing,
sehingga sulit untuk menggalang persatuan dan kesatuan, serta memandang rendah
kaummuslim bukan arab (Mawali), sehingga mereka tidak diberi kesempatan
pemerintahan.
d. Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah yang disebabkan oleh sikap hidup
mewah di antara para khalifahnya.
e. Adanya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas, yang mendapat
dukungan dari Bani Hasyim dan golongan
syi’ah, serta kaum Mawali yang merasa
dikelas duakan oleh pemerintahan Bani
Umayyah.
B. Saran
Perlu kiranya mengambil intisari dari kisah perjalanan
Bani Umayyah yang diharapkan mampu membuka fikiran kita untuk terus belajar dan
mempedomani kebaikan dari masa lalu
DAFTAR
PUSTAKA
Azizah. “Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah)”, (Nusantara
Press :
Yogyakarta,
2011)
Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas
Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst
Kontemporer
(Bandung, Rosda, 2004)
Badri Yatim, MA, “Sejarah Peradaban Islam” (Jakarta, PT. Grafindo Persada,
1998)
Hamka. “Sejarah
Umat Islam : Pra-Kenabian hingga Islam ke Nusantara” (Gema
Insani : Jakarta, 2016)
Hisyam. “Sejarah Kebudayaan Islam. Cet IV.” (Bulan Bintang : Jakarta, 1993)
Muhammad S. Islam “Pengantar Ilmu Hadis. Cet I.” (Angkasa
: Bandung, 1988)
Philip K. Hitti,
“History Of The Arabs : Tenth Edition” (Macmillan Publisher LTD : London,
1970)
Philip K. Hitti. “History of Arabs. Terjemahan cecep Lukman yasin.” (Serambi Ilmu
Semesta
:
Jakarta, 2005)
Siti Maryam. “Sejarah Peradaban Islam”, (Lesfi : Yogyakarta, 2003)
[1] Prof. Dr. Hamka. “Sejarah Umat Islam : Pra-Kenabian hingga
Islam ke Nusantara” (Gema Insani : Jakarta, 2016), hlm.189
[2] Philip K. Hitti, “History Of The Arabs : Tenth Edition” (Macmillan Publisher LTD :
London, 1970), hlm.233-234
[3] Drs.
Badri Yatim, M.A, “Sejarah
Peradaban Islam” (Jakarta,
PT. Grafindo Persada, 1998), hlm. 42
[4] Hisyam.
“Sejarah Kebudayaan Islam. Cet IV.”
(Bulan Bintang : Jakarta, 1993), hlm. 196
[7] Philip
K. Hitti. “History of Arabs. Terjemahan
cecep Lukman yasin.” (Serambi Ilmu Semesta : Jakarta, 2005), hlm. 302-305
[8] Siti
Maryam. “Sejarah Peradaban Islam”, (Lesfi
: Yogyakarta, 2003), hlm. 81-82
[9] Azizah.
“Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti
Umayyah)”, (Nusantara Press : Yogyakarta, 2011), hlm. 99
[10] Ibid. (History Of The Arabs). Hal 352
[12] Drs.
Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst
Kontemporer (Bandung, Rosda, 2004), hlm. 48-49
[13] Ibid. hlm. 44
-
BAB 1 PENDAHULUAN Masalah sosial sering terjadi di berbagai tempat dalam kondisi yang berbeda-beda. Masalah sosial juga menjadi fak...
-
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaika...
-
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jika sebuah penelitian mengedepankan dasar keingintahuan tentang permasalahan y...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan pada awalnya diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun ...
-
BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Banyaknya fenomena yang ada sekitar kita dimana salah satunya yang akan ka...
Labels
Blog Archive
-
▼
2016
(10)
-
▼
December
(10)
- JENIS KOMUNIKASI
- ILMU KOMUNIKASI
- BANI UMAYYAH : SEJARAH PERTUMBUHAN PERADABAN YANG ...
- SYI’AH ZAIHIDIYAH, SABA’IYAH DAN ISNA’ ASYARIAH ; ...
- PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM STUDI ISLAM
- Populasi dan Sampel
- PENDEKATAN ANTROPOLOGIS DALAM STUDI ISLAM
- Makalah Qaulan Ma'rufan
- CRITICAL JOURNAL REPORT MODEL MANAJEMEN INFORMASI ...
- Garis-garis besar isi proposal kuantitatif dan kua...
-
▼
December
(10)