BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Antropologi
Kita bisa memahami
bahwa Antropologi merupakan ilmu tentang manusia,
masa lalu dan kini, yang menjelaskan
manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga
humaniora. Antropologi
juga disebut studi ilmu yang
mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman,
dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal
dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos
memiliki arti cerita atau kata. Objek
dari Antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan
prilakunya. Ilmu pengetahuan Antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari
manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun
masyarakat itu sendiri. Macam-macam jenis cabang
disiplin ilmu anak turunan Antropologi
:[1]
1.
Antropologi
Fisik
a.
Paleoantrologi adalah
ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti
fosil-fosil.
b.
Somatologi adalah ilmu
yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
2.
Antropologi
Budaya
a.
Prehistori adalah ilmu
yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal
tulisan.
b.
Etnolinguistik antrologi
adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia (bumi).
c.
Etnologi adalah ilmu yang
mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa
di seluruh dunia.
d.
Etnopsikologi adalah ilmu
yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam
proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep
psikologi.
3.
Metodologi
dalam Antropologi
Banyak metode yang dipergunakan oleh
ilmuwan Antropologi untuk mengembangkan aturan konsep, generalisasi, dan teori,
tetapi baru beberapa yang telah mempunyai aturan konsep baku, sedangkan yang
lainnya lebih bersifat tradisi-tradisi khusus.[2]
a.
Kelangkaan metode yang
baku
Antropologi merupakan ilmu yang relatif tabuh di benak kita,
sehingga belum berhasil mengembangkan metode-metode penelitian yang jelas dan
sistematik. Dalam tulisan-tulisan etnografis dapat dilihat terlalu sedikitnya
perhatian para penulis pada metode penelitian.
b.
Participant
observation
Apabila seorang ilmuwan Antropologi sedang melakukan penelitian tentang
suatu kebudayaan, maka ia hidup bersama orang-orang pemilik kebudayaan
tersebut, mempelajari
bahasa mereka, ikut aktif ambil bagian dalam kegiatan sehari-hari masyarakat
(komunitas) tersebut.
c.
Indepth
interview (wawancara mendalam)
Sering disebut wawancara
mendalam (indepth interview) sebab biasanya dipergunakan
bersama-sama (kombinasi) dengan observasi mendalam dengan objeknya. Wawancara
dilakukan secara informal dan non-sistematik. Jika ilmuwan sosiologi memilih
secara acak (random) subyek yang
diwawancarai, maka ilmuwan Antropologi mewawancarai orang-orang yang telah dikenal baik dan
mempercayainya, atau orang-orang
yang ia pandang dapat memberikan informasi yang akurat dan rinci tentang berbagai
aspek kebudayaan yang diteliti.
d.
Upaya memperkecil
kesalahan
Berbagai macam informasi
yang diperoleh dari berbagai
subyek seringkali berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan. Para ilmuwan Antropologi berusaha meminimalisir kesalahan pada data mereka
dengan jalan mengulang-ulang observasi atau wawancara dan dengan melakukan “cross-check”
dengan informan lain apabila mereka menemukan informasi yang bertentangan.
e.
Kecenderungan menggunakan metode
tradisional
Biasanya,
ilmuwan Antropologi hanya sedikit menggunakan
kuesioner tertulis terutama
disebabkan oleh sebagian besar
subjek mereka buta aksara. Walaupun para ilmuwan Antropologi semakin banyak mempelajari
kelompok-kelompok masyarakat modern, tetapi mereka cenderung tetap menggunakan
metode-metode Antropologi
tradisional, sehingga terbingkai pada sebuah
konsep Antropologi.
4.
Konsep-konsep
dalam Antropologi
a.
Kebudayaan (culture)
Format konsep
paling penting dalam Antropologi adalah
konsep kebudayaan. Setiap
disiplin ilmu sosial terdapat konsep kebudayaan, yang didefenisikan menurut versi
yang berbeda-beda. Kebudayaan adalah konsep yang paling esensial dalam Antropologi
budaya dan semua konsep-konsep yang lain dalam Antropologi budaya pasti
berkaitan dengan kebudayaan. Oleh karena itu konsep kebudayaan perlu mendapat
perhatian khusus.[3]
b.
Unsur kebudayaan
Satuan terkecil dalam suatu
kebudayaan disebut unsur kebudayaan atau “trait”.
Unsur-unsur kebudayaan mungkin terdiri dari pola tingkah laku atau artefak.
Tiap kebudayaan mungkin terdiri dari gabungan antara unsur-unsur yang dipinjam
dari masyarakat lain dan yang ditemukan sendiri oleh masyarakat yang
bersangkutan.
c.
Kompleks kebudayaan
Seperangkat unsur kebudayaan yang
mempunyai keterkaitan fungsional satu dengan lainnya disebut kompleks kebudayaan.
Sistem perkawinan pada masyarakat Indonesia
adalah sebuah contoh kompleks kebudayaan.
d.
Enkultrasi
Adalah proses dimana individu belajar
untuk berperan serta dalam kebudayaan masyarakatnya sendiri.
e.
Daerah kebudayaan (culture area)
Adalah suatu wilayah geografis yang
penduduknya berbagi (sharing)
unsur-unsur dan kompleks-kompleks kebudayaan tertentu yang sama.
f.
Difusi kebudayaan
Adalah proses tersebarnya unsur-unsur
kebudayaan dari suatu daerah kebudayaan ke daerah kebudayaan lain.
g.
Akulturasi
Adalah pertukaran unsur-unsur
kebudayaan yang terjadi selama dua kebudayaan yang berbeda saling kontak secara
terus –menerus dalam waktu yang panjang.
h.
Etnosentrisme
Adalah sikap suatu kelompok
masyarakat yang cenderung beranggapan bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul
dari pada semua kebudayaan yang lain.
i.
Tradisi
Pada tiap masyarakat selalu terdapat
sejumlah tingkah laku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian dari
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan ddalam kurun waktu yang panjang disebut
dengan tradisi
j.
Relativitas kebudayaan
Tiap kebudayaan mempunyai ciri-ciri
yang unik, yang tidak terdapat pada kebudayaan lainnya, maka apa yang dipandang
sebagai tingkah laku normal dalam kebudayaan mungkin dipandang abnormal dalam
kebudayaan yang lain.
k.
Ras dan kelompok etnik
Ras dan etnik adalah dua konsep yang
berbeda, tetapi sering dikacaukan penggunaannya. Ras adalah sekelompok orang
yang kesamaan dalam unsur biologis atau suatu populasi yang memiliki kesamaan
unsur-unsur fisikal yang khas yang disebabkan oleh keturunan (genetyc)
sedangkan etnik adalah sekumpulan individu yang merasa sebagai satu kelompok
karena kesamaan identitas, nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama, pola
tingkah laku yang sama, dan unsur-unsur budaya lainnya yang secara nyata
berbeda dibandingkan kelompok-kelompok lainnya.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Antropologi Agama
Secara
terminologi Antropologi agama yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha
mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya,
atau disebut juga Antropologi Religi.[4] Secara etimologi, istilah Antropologi berasal
dari bahasa Yunani, asal kata anthropos berarti manusia, dan logos berarti ilmu,
dengan demikian secara harfiah Antropologi berarti ilmu tentang manusia.[5] Pengertian
agama berarti undang-undang atau hukum. Kemudian
dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.
Sedangkan dari kata religi atau relegere berarti mengumpulkan
dan membaca.[6]
Antropologi agama bisa dikatakan sebagai
salah satu cabang ilmu yang banyak mendapatkan perhatian para pakar ilmu sosial. Cabang
ilmu Antropologi agama ini diyakini oleh banyak pakar
sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam melihat reaksi antara agama, budaya, dan lingkungan sekitar sebuah masyarakat. Antropologi agama mengarah
kepada suatu penghubung yang unik atas moralitas, hasrat, dan kekuatan dengan
dikendalikan dan kemerdekaan, dengan duniawi dan asketisme (ajaran-ajaran
yang mengendalikan latihan rohani dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa
sehingga tercapai kebijakan-kebijakan rohani) dengan
idealis dan kekerasan, dengan imajinasi dan penjelmaan, dengan imanensi (paham
yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subjektif) dan transendensi (cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang
terlihat, yang dapat ditemukan di alam semesta) yang merupakan sisi dunia manusia yang
berbeda dengan makhluk lain. Tradisi ilmu Antropologi memahami dunia-dunia agama tidak
sepenuhnya sebagai fenomena objektif dan juga tidak sepenuhnya sebagai fenomena
subjektif, namun sebagai sesuatu yang berimbang dalam memediasikan ruangan
sosial atau budaya dan sebagai yang terlibat dalam suatu dialektika (komunikasi
dua arah)
yang memberikan objektivitas sekaligus juga subjektivitas. Perhatian
ahli Antropologi dalam meneliti agama ditunjukan untuk melihat keterkaitan
faktor lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan,
dan lain sebagainya, terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan,
upacara, organisasi keagamaan tertentu.
B.
Pendekatan Antropologis
Pembelajaran kebudayaan
merupakan hal yang utama
dalam Antropologi. Bidang kajian utama Antropologi adalah kebudayaan dan
dipelajari melalui pendekatan. Berikut tiga
jenis
pendekatan utama yang biasa
dipergunakan oleh para ilmuwan Antropologi :
1.
Pendekatan
holistik
Jika kita amati, sifat kebudayaan
dipandang secara utuh (holistic).
Pendekatan ini digunakan oleh para pakar Antropologi apabila mereka sedang
mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan dipandang sebagai suatu
keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin dipahami dalam keadaan terpisah dari
keutuhan tersebut. Para pakar Antropologi mengumpulkan semua aspek, termasuk sejarah, geografi, ekonomi, teknologi, dan
bahasa. Untuk memperoleh generalisasi
(simpulan) tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan dalam suatu
masyarakat, para pakar Antropologi merasa bahwa mereka harus memahami dengan
baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat yang bersangkutan.[7]
2.
Pendekatan
komparatif
Kegiatan pada kebudayaan
masyarakat pra-aksara. Pendekatan komparatif juga merupakan pendekatan yang
unik dalam Antropologi untuk mempelajari kebudayaan masyarakat yang belum
mengenal baca-tulis (pra-aksara). Para ilmuwan Antropologi paling sering
mempelajari masyarakat pra-aksara karena dua
alasan utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap generalisasi dan teori harus
diuji pada populasi-populasi di sebanyak mungkin daerah kebudayaan sebelum
dapat diverifikasi. Kedua, mereka lebih mudah mempelajari keseluruhan
kebudayaan masyarakat-masyarakat kecil yang relatif homogen dari pada
masyarakat-masyarakat modern yang kompleks. Masyarakat-masyarakat pra-aksara
yang hidup di daerah-daerah terpencil merupakan laboratorium bagi para ilmuwan Antropologi.
3.
Pendekatan
Historis
Hal yang paling penting yaitu
asal-usul unsur kebudayaan. Pendekatan dan unsur-unsur historis mempunyai arti yang
sangat penting dalam Antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam
kelompok ilmu tingkah laku manusia. Para ilmuwan Antropologi tertarik pertama-tama
pada asal-usul historis
dari unsur-unsur kebudayaan, dan setelah itu tertarik pada unsur-unsur
kebudayaan yang unik dan khusus.
C.
Aplikasi pendekatan Antropologis dalam mengkaji islam dan
umat islam
Berkaitan
dengan paparan di atas, penting kiranya untuk memahami arti dari istilah “pendekatan” atau “metodologi” yaitu “sudut
pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau
masalah yang dikaji.”[8] Adapun yang dimaksud pendekatan disini
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat didalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin
Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa agama dapat
diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan
kerangka paradigmanya.[9]
Dengan demikian pendekatan Antropologis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
sudut pandang atau cara melihat (paradigma) memperlakukan sesuatu gejala yang
menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji
tersebut sebagai acuan dalam melihat, memperlakukan dan melitinya. Pendekatan Antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama
nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa
cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologi
saat melihat suatu masalah digunakan pula
untuk memahami agama.
Asal
muasal agama
secara universal dapat dilihat dari
karakteristik ajaran dan umat beragama yang sangat banyak dan sangat berbeda satu sama lain. Berdasarkan pendapat tentang asal-usul agama kepada data
keagamaan masyarakat primitif sungguh tidak representatif, bahkan salah kaprah karena agama-agama besar
dunia sangat berbeda dengan agama masyarakat primitif. Kemudian penelusuran
secara ilmiah terhadap kepercayaan beragama, menuntut bukti yang rasional
empiris, dan berikutnya menuntut kesimpulan yang bernalar. Mengatakan agama dari Tuhan tentu tidak empiris. Karena itu, Emile Durkheim mengatakan bahwa asal-usul agama adalah
masyarakat itu sendiri.[10] M.T
Preusz, seorang etnografer Jerman yang ahli tentang suku Indian di Meksiko, berpendapat bahwa wujud religi tertua merupakan
tindakan-tindakan manusia untuk mewujudkan keperluan hidupnya yang tidak
dapat dicapai dengan akal dan kemampuan biasa. Dia menegaskan bahwa pusat
dari tiap sistem religi adalah ritual
dan upacara. Melalui tindakan terhadap kekuatan gaib yang berperan dalam
kehidupan, manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan dan
tujuan hidupnya. R.R. Marett berpendapat bahwa kepercayaan beragama berasal
dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib luar biasa yang menjadi penyebab
dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa.
Dari
sisi lain, asal usul agama
tidak lah sesuai dengan apa yang ada dalam keyakinan dan pikiran umat beragama,
karena menurut mereka agama adalah ajaran Tuhan. Walaupun kemudian disampaikan
dan diolah atau diijtihadkan oleh pemuka agama,
asal bahan yang diolah dan diijtihadkan itu
tetap dari wahyu Tuhan. Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang
diyakini turun kepada manusia melalui
wahyu, dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa,
karena itu bersifat mutlak, benar dan tidak
berubah-ubah oleh perkembangan zaman.[11]
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mengidentifikasi manusia dan
segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia.
Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen akan pemahaman tentang
manusia, maka sesungguhnya Antropologi merupakan ilmu yang penting untuk
mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish
Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan Antropologis sangat penting untuk
memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai “khalifah”
(wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi
manusia dalam Islam. Agama diperuntukkan untuk
kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga
merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Secara Antropologis ungkapan ini berarti bahwa, sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian realitas
ketuhanan. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi
pusat perhatian Antropologi, menjadi sangat penting. Dalam pandangan Dawam Raharjo, Antropologi dalam hal
ini penelitiannya lebih menggunakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya
partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif
yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan
sosiologis. Dawam menambahkan penelitian Antropologis yang induktif dan gronded (membumi), yakni turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau
setidak-tidaknya berupaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang
pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan
lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model matematis, banyak juga memberikan
sumbangan kepada penelitian historis.[12] Dalam aplikasinya, berbagai penelitian Antropologi
agama dapat dikemukakan hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan
kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan
miskin yang lain, pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang
bersifat menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan orang
kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan
masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran itu menguntungkan pihaknya.[13] Penelitian bidang Antropologi agama juga dilakukan oleh Clifford
Geertz yang hasil penelitiannya telah dituliskan dalam sebuah buku yang
berjudul The Religion of Java. Arti
penting dari karya Geertz ini adalah sumbangan pemikirannya dengan
simbol-simbol yaitu bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada
dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol,
dan bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan
disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu.
Menurut Geertz dalam penelitiannya di Mojokerto kebudayaan Jawa memiliki struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial itu adalah Abangan (berpusat di pedesaan), Santri (berpusat di perdagangan atau pasar), dan Priyai (berpusat di kantor Pemerintahan, di kota). Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi didalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama khususnya Islam dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasarkan religion kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa kedalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa kedalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan. Dalam melakukan penelitiannya, Geertz menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan (survey) dan penelitian Grounded research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Dengan demikian si peneliti tidak berangkat dari suatu teori atau hipotesa tertentu yang ingin diuji kebenarannya di lapangan. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya dianalisa atau diinterpretasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu.[14]
Menurut Geertz dalam penelitiannya di Mojokerto kebudayaan Jawa memiliki struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial itu adalah Abangan (berpusat di pedesaan), Santri (berpusat di perdagangan atau pasar), dan Priyai (berpusat di kantor Pemerintahan, di kota). Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi didalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama khususnya Islam dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasarkan religion kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa kedalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa kedalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan. Dalam melakukan penelitiannya, Geertz menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan (survey) dan penelitian Grounded research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Dengan demikian si peneliti tidak berangkat dari suatu teori atau hipotesa tertentu yang ingin diuji kebenarannya di lapangan. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya dianalisa atau diinterpretasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu.[14]
D.
Penulis dan karya utama dalam kajian Antropologis tentang
islam
Perspektif
Antropologi tentang Islam telah banyak ditulis dari Barat maupun ditulis muslim itu sendiri. Diantaranya adalah Clifford
Geertz dalam bukunya The Religion of Java yang ditulis pada awal tahun 1960-an. Tulisannya ini sangat memberikan kontribusi yang
luar biasa. Dari segi metodologi banyak manfaatnya yang bisa diambil.
Sebenarnya masih banyak lagi karya Geertz yang lain seperti Tafsir Kebudayaan, After of the
Fact, Politik Kebudayaan Islam serta karya-karya Geertz yang lainnya.
Menurut Akbar. S.
Ahmad tokoh-tokoh dalam dunia Islam telah tumbuh dengan pesat jauh sebelum Antropologi Barat muncul, seperti seorang tokoh
muslim Abu Rahyan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi lahir di
Khawarizmi Turkeminia, Dzulhijjah 362 H/September 973 M wafat pada tahun 1048
M. Ia menguasai Ilmu Sejarah, Matematika, Fisika, Ilmu Falak, Kedokteran, Ilmu
Bahasa, Geografi, dan Filsafat. Dia adalah seorang yang terkenal banyak
mengarang dan menerjemahkan karya-karya tentang kebudayaan India kedalam bahasa
Arab.[15] Al-Biruni mendapat julukan ahli Antropologi
yang pertama dengan bukunya yang
terkenal Kitab al-Hind. Ia melakukan penelitian selama 13 tahun (1017 – 1031).
Metode yang digunakan al-Biruni mengambil bahan dari sumber Hindu, ia memahami
bahasa Sansekerta disamping sumber-sumber sekunder yakni karya-karya terjemahan cendekiawan Arab dan Persia. Ia menyajikan
gambaran-gambaran peradaban India sebagaimana yang dilukiskan orang India
sendiri, sehingga karyanya dapat memenuhi standar dan untuk masa itu dinilai
sebagai kajian yang terbaik mengenai agama Hindu, sains, dan adat istiadat
India pada abad pertengahan.[16]
Kemudian Ibn Batutah (1304-1337) dengan karyanya Tuhfah an-Nuzzarfi Qara’ib
al-Amsar wa ’Ajaib al-Asfar,
al-Mas’udi dan Waliyuddin. ‘Abd
al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn al-Hasan Ibn Khaldun dengan karyanya
yang terkenal yaitu Muqaddimah.[17] Tokoh Antropologi seperti Akbar. S. Ahmed
sendiri, ia seorang antropolog dan pakar media massa muslim serta komentator
tentang masalah keislaman, ia mengarang buku antara
lain Toward Islamic Antropology
Defenition, Dogma, Direction (1988), buku ini merupakan inspirasi untuk
serial televisi
Living Islam dan buku yang berjudul The Future of Antropology (1990) bersama
Chris Sorne. Dia menjadi orang Pakistan pertama terpilih sebagai anggota Council of Royal Antropological Institut
dan telah dianugerahi Star or Excelence sebagai kehormatan akademis oleh
pemerintah Pakistan.[18]
E.
Gagasan Islamisasi Antropologi
Sebetulnya usaha untuk
mengislamisasikan Antropologi ini telah banyak dilakukan oleh para analis.
Misalnya
saja Dawam Rahardjo. Menurutnya
untuk melakukan Islamisasi pada disiplin Antropologi ini dikemukakannya dalam
tiga tahap.[19] Pertama, teori-teori Antropologi itu harus
dikembangkan melalui ajaran Islam itu sendiri. Teori ini bisa bersifat teori
dasar atau grand theory, dengan mengembangkan
teori jangka menengah, sehingga berbagai hipotesis dapat dirumuskan. Dalam
Alquran dinyatakan bahwa Allah SWT
mengharapkan munculnya umat yang menjadi “Syuhada ’alaan-Naas” (saksi atas manusia). Fungsinya antara
lain dapat diwujudkan melalui penelitian-penelitian empiris. Dalam hal ini
perlu dikembangkan penelitian Antropologis yang menyangkut keadilan, musyawarah, takwa, ta’awun, amal soleh dan sebagainya.[20] Kedua, untuk mampu merumuskan teori-teori dasar
tersebut, sangat dibutuhkan ketajaman pandangan dan daya kritis yang tinggi.
Teori kritis tidak hanya menjadikan alat sebagai rekayasa sosial dan alat
legitimasi terhadap sistem sosial yang berlaku, analisa kritis merupakan jalan
menemukan teori besar. Ketiga, perlu membangun suatu wadah warisan pengetahuan budaya yang dibentuk
melalui pengalaman teori dan praktek. Untuk pengalaman itu bisa diciptakan
melalui penerapan warisan sosial dari ilmu-ilmu sosial yang ada.
F.
Signifikansi dan kontribusi pendekatan Antropologis dalam
studi islam
Jika
kita dapat mengamati pendekatan
Antropologis dalam studi Islam terutama kegunaannya sebagai alat metodologi
untuk memahami corak keagamaan suatu masyarakat dan para warganya,
kegunaan yang berkelanjutan ini adalah
untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan-keyakinan keagamaan yang
dimiliki oleh warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar, tanpa
menimbulkan gejolak dan pertentangan antar sesama warga masyarakat. Selanjutnya
melalui pendekatan Antropologis ini dalam studi Islam, diharapkan pemeluk agama
Islam dapat lebih toleran terhadap berbagai aspek perbedaan budaya-budaya lokal
dengan ajaran agama itu sendiri. Melalui
pendekatan Antropologis sebagaimana tersebut diatas terlihat dengan jelas
hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama
terlihat akrab dan dapat difungsikan dengan berbagai fenomena kehidupan
manusia. Pendekatan Antropologis
seperti itu sangat diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya
bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan Antropologis. Sumber utama ajaran Islam adalah alquran
misalnya kita peroleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah
Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun
lamanya. Dimana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan dimana kira-kira gua
itu dan bagaimana pula bisa terjadi hal-hal yang menakjubkan itu, ataukah hal
yang demikian itu merupakan kisah “fiktif”,
dan masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli
geografi dan arkeologi.[21] Dengan demikian pendekatan Antropologi
sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama
tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan dengan bantuan
ilmu Antropologi dan cabang-cabangnya. Jika
kembali pada persoalan kajian Antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat
kontribusinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan Antropologi sangat berguna untuk membantu
mempelajari agama secara empiris, artinya kajian agama
harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek sosial konteks yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris
dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama
diciptakan untuk membantu manusia agar dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya,
dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah
tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan
menjadi sempurna. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka
mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi
sangat penting. Kebudayaan, sebagai system
of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah
aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia.
Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah
makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri,
maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi
pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern
of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam
simbol-simbol dengan itu pula manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan
memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia
dalam tradisi Antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti pada
ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning). Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama
sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci yang sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia
sebagai sumber
kepercayaan dan juga realitas kehidupannya. Clifford Geertz mengartikan ethos (sumber kepercayaan) sebagai “karakter dan kualitas dari
kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estetika mereka.” Bagi Geertz agama telah memberikan
karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku
kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang
hendak dicapai oleh manusia. Berdasarkan
pada pengertian ini agama sebagai ethos (sumber kepercayaan) telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia,
yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh
manusia. Kedua, kajian Antropologi juga memberikan
fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya
dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan
menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture (lintas budaya) akan memberikan gambaran yang variatif
tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan
budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali
tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai “international morality” berdasarkan pada kekayaan budaya dunia. Dengan demikian memahami Islam yang telah
berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia,
karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang
mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan
adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, Antropologi
sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan Islam guna menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan
manusia. Antropologi yang melihat
langsung secara rinci hubungan antara agama dan masyarakat
dalam tataran grassroot (rakyat) memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi
dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi Antropologi adalah melihat
bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya.
Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting
untuk melihat agama yang dipraktikkan. Kepentingan untuk melihat agama dalam
masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana pos-modernisme yang berkembang belakangan ini.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Antropologi
memberikan gambaran konkret tentang “struktur dan proses perkembangan keagamaan”
di masyarakat. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas individu
yang menyangkut perihal ibadah agama islam mampu diidentifikasi dan dimaknai
dalam perspektif Antropologi.
Pertumbuhan
islamisasi menjadi tolak ukur bagi umat islam untuk mempelajari Antropologi
lebih jauh, sebab kandungan yang termasuk didalamnya adalah pendekatan studi
islam dan keummatan. Sehingga perlu disadari atau tidak, dewasa ini
mengharuskan agar senantiasa mempraktikkan ilmu keagamaan di masyarakat dalam
percaturan budaya global serta mewaspadai proses dan pengaruh penyebaran agama
lain yang tidak sejalan dengan nilai-nilai agama Islam.
B. Saran
Dalam pandangan wajah
islam, penting kiranya untuk mendalami ilmu Antropologi guna menambah wawasan
dan keberagaman ilmu di tengah masyarakat, apalagi terkait dengan pemahaman
realitas kemanusiaan yang mengandung banyak unsur dan komponen di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah dan Karim, Metodologi Penelitian Agama Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989)
Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, cet. II (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990)
Abu al-Futuh Muhammad al-Jawanisi, Abu Rahyan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni,
(Kairo: al-Majlis al-A’la
li al-Syu’ al-Islamiyah, 1967)
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta : Rajawali Press, 1998)
Achmad Fedyanisaifuddin, Ph.D “Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma” (Jakarta : Kencana, 2006)
Akbar. S. Ahmed, Living Islam, terj. Pangestu Ningsih (Bandung: Mizan, 1997)
Akbar. S. Ahmed, Toward Islamic Antropology Defenition, Dogma, Direction :
Islamization
of Knowledge Series No. 2 (USA:
New Era Publications, 1986)
Amri Marzali “Antropologi
dan Kebijakan Publik” (Jakarta : Kencana, 2012)
Amri Marzali “Antropologi
dan Pembangunan Indonesia” (Jakarta : Kencana, 2007)
Badri Yatim, Historiografi Islam, cet. I (Jakarta: Wacana Ilmu, 1994)
Bustanuddin Agus. Agama Dalam Kehidupan Manusia:
Pengantar Antropologi Agama.
(Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006)
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Perasada. 2007.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Rineka Cipta. 2013
M. Dawam Raharjo, Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan,
dalam M. Taufik
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas?
(Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar, 2002)
M. Deden Ridwan, “Tradisi Baru Penelitian Agama
Islam Tinjauan Antar Disiplin”
(Bandung: Nuansa Ilmu,
2001)
Sudjangi (Penyunting) Agama dan Masyarakat (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan
Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat, 1991/1992)
Yayasan Obor Indonesia “Pokok-pokok Antropologi Budaya” (Jakarta : 2006)
Yusron Razak &
Ervan Nurtawab. Antropologi Agama.
(Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta
Press, 2007)
Yusuf Qordhowi “Dimana
Kerusakan Umat Islam” (Gema Insani Press : Jakarta 1994)
[1] Achmad Fedyanisaifuddin “Antropologi
Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma” (Jakarta :
Kencana, 2006), hlm.10
[4] Yusron
Razak &
Ervan Nurtawab, Antropologi
Agama.
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2007) hlm. 1-20.
[8] M. Deden Ridwan, “Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin” (Bandung: Nuansa Ilmu, 2001) hlm. 184.
[10] Bustanuddin Agus. Agama Dalam Kehidupan Manusia:
Pengantar Antropologi Agama. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 16
[11] Sudjangi (Penyunting) Agama dan Masyarakat (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat, 1991/1992),
hlm.19
[12] M. Dawam Raharjo, Pendekatan
Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan, dalam M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, cet. II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990) hlm. 19
[13] M. Amin Abdullah, Studi
Agama Normativitas atau Historitas? (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 31
[15] Abu al-Futuh Muhammad al-Jawanisi, Abu Rahyan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni, (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’ al-Islamiyah, 1967), hlm. 24.
terniat. sampai kaget sama audionya.
ReplyDeleteterima kasih. semoga kedepannyamasih banyak karya-karya lainnya.
sangat bagus
ReplyDelete