Music

Sunday, 4 December 2016

PENDEKATAN ANTROPOLOGIS DALAM STUDI ISLAM

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Pengertian Antropologi
Kita bisa memahami bahwa Antropologi merupakan ilmu tentang manusia, masa lalu dan kini, yang menjelaskan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga humaniora. Antropologi juga disebut studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata. Objek dari Antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan Antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri. Macam-macam jenis cabang disiplin ilmu anak turunan Antropologi :[1]
1.         Antropologi Fisik
a.    Paleoantrologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
b.    Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
2.         Antropologi Budaya
a.    Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal tulisan.
b.    Etnolinguistik antrologi adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia (bumi).
c.     Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
d.    Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.

3.         Metodologi dalam Antropologi
Banyak metode yang dipergunakan oleh ilmuwan Antropologi untuk mengembangkan aturan konsep, generalisasi, dan teori, tetapi baru beberapa yang telah mempunyai aturan konsep baku, sedangkan yang lainnya lebih bersifat tradisi-tradisi khusus.[2]
a.         Kelangkaan metode yang baku
Antropologi merupakan ilmu yang relatif tabuh di benak kita, sehingga belum berhasil mengembangkan metode-metode penelitian yang jelas dan sistematik. Dalam tulisan-tulisan etnografis dapat dilihat terlalu sedikitnya perhatian para penulis pada metode penelitian.
b.        Participant observation
Apabila seorang ilmuwan Antropologi sedang melakukan penelitian tentang suatu kebudayaan, maka ia hidup bersama orang-orang pemilik kebudayaan tersebut, mempelajari bahasa mereka, ikut aktif ambil bagian dalam kegiatan sehari-hari masyarakat (komunitas) tersebut.
c.         Indepth interview (wawancara mendalam)
Sering disebut wawancara mendalam (indepth interview) sebab biasanya dipergunakan bersama-sama (kombinasi) dengan observasi mendalam dengan objeknya. Wawancara dilakukan secara informal dan non-sistematik. Jika ilmuwan sosiologi memilih secara acak (random) subyek yang diwawancarai, maka ilmuwan Antropologi mewawancarai orang-orang yang telah dikenal baik dan mempercayainya, atau orang-orang yang ia pandang dapat memberikan informasi yang akurat dan rinci tentang berbagai aspek kebudayaan yang diteliti.
d.        Upaya memperkecil kesalahan
Berbagai macam informasi yang diperoleh dari berbagai subyek seringkali berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan. Para ilmuwan Antropologi berusaha meminimalisir kesalahan pada data mereka dengan jalan mengulang-ulang observasi atau wawancara dan dengan melakukan cross-check dengan informan lain apabila mereka menemukan informasi yang bertentangan.
e.         Kecenderungan menggunakan metode tradisional
Biasanya, ilmuwan Antropologi hanya sedikit menggunakan kuesioner tertulis terutama disebabkan oleh sebagian besar subjek mereka buta aksara. Walaupun para ilmuwan Antropologi semakin banyak mempelajari kelompok-kelompok masyarakat modern, tetapi mereka cenderung tetap menggunakan metode-metode Antropologi tradisional, sehingga terbingkai pada sebuah konsep Antropologi.
4.         Konsep-konsep dalam Antropologi
a.     Kebudayaan (culture)
Format konsep paling penting dalam Antropologi adalah konsep kebudayaan. Setiap disiplin ilmu sosial terdapat konsep kebudayaan, yang didefenisikan menurut versi yang berbeda-beda. Kebudayaan adalah konsep yang paling esensial dalam Antropologi budaya dan semua konsep-konsep yang lain dalam Antropologi budaya pasti berkaitan dengan kebudayaan. Oleh karena itu konsep kebudayaan perlu mendapat perhatian khusus.[3]
b.    Unsur kebudayaan
Satuan terkecil dalam suatu kebudayaan disebut unsur kebudayaan atau trait”. Unsur-unsur kebudayaan mungkin terdiri dari pola tingkah laku atau artefak. Tiap kebudayaan mungkin terdiri dari gabungan antara unsur-unsur yang dipinjam dari masyarakat lain dan yang ditemukan sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan.
c.     Kompleks kebudayaan
Seperangkat unsur kebudayaan yang mempunyai keterkaitan fungsional satu dengan lainnya disebut kompleks kebudayaan. Sistem perkawinan pada masyarakat Indonesia adalah sebuah contoh kompleks kebudayaan.
d.    Enkultrasi
Adalah proses dimana individu belajar untuk berperan serta dalam kebudayaan masyarakatnya sendiri.
e.     Daerah kebudayaan (culture area)
Adalah suatu wilayah geografis yang penduduknya berbagi (sharing) unsur-unsur dan kompleks-kompleks kebudayaan tertentu yang sama.
f.        Difusi kebudayaan
Adalah proses tersebarnya unsur-unsur kebudayaan dari suatu daerah kebudayaan ke daerah kebudayaan lain.
g.      Akulturasi
Adalah pertukaran unsur-unsur kebudayaan yang terjadi selama dua kebudayaan yang berbeda saling kontak secara terus –menerus dalam waktu yang panjang.
h.      Etnosentrisme
Adalah sikap suatu kelompok masyarakat yang cenderung beranggapan bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul dari pada semua kebudayaan yang lain.
i.        Tradisi
Pada tiap masyarakat selalu terdapat sejumlah tingkah laku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan ddalam kurun waktu yang panjang disebut dengan tradisi
j.        Relativitas kebudayaan
Tiap kebudayaan mempunyai ciri-ciri yang unik, yang tidak terdapat pada kebudayaan lainnya, maka apa yang dipandang sebagai tingkah laku normal dalam kebudayaan mungkin dipandang abnormal dalam kebudayaan yang lain.
k.      Ras dan kelompok etnik
Ras dan etnik adalah dua konsep yang berbeda, tetapi sering dikacaukan penggunaannya. Ras adalah sekelompok orang yang kesamaan dalam unsur biologis atau suatu populasi yang memiliki kesamaan unsur-unsur fisikal yang khas yang disebabkan oleh keturunan (genetyc) sedangkan etnik adalah sekumpulan individu yang merasa sebagai satu kelompok karena kesamaan identitas, nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama, pola tingkah laku yang sama, dan unsur-unsur budaya lainnya yang secara nyata berbeda dibandingkan kelompok-kelompok lainnya.




BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Antropologi Agama
Secara terminologi Antropologi agama yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau disebut juga Antropologi Religi.[4] Secara etimologi, istilah Antropologi berasal dari bahasa Yunani, asal kata anthropos berarti manusia, dan logos berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah Antropologi berarti ilmu tentang manusia.[5] Pengertian agama berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca.[6]
Antropologi agama bisa dikatakan sebagai salah satu cabang ilmu yang banyak mendapatkan perhatian para pakar ilmu sosial. Cabang ilmu Antropologi agama ini diyakini oleh banyak pakar sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam melihat reaksi antara agama, budaya, dan lingkungan sekitar sebuah masyarakat. Antropologi agama mengarah kepada suatu penghubung yang unik atas moralitas, hasrat, dan kekuatan dengan dikendalikan dan kemerdekaan, dengan duniawi dan asketisme (ajaran-ajaran yang mengendalikan latihan rohani dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa sehingga tercapai kebijakan-kebijakan rohani) dengan idealis dan kekerasan, dengan imajinasi dan penjelmaan, dengan imanensi (paham yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subjektif) dan transendensi (cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang terlihat, yang dapat ditemukan di alam semesta) yang merupakan sisi dunia manusia yang berbeda dengan makhluk lain. Tradisi ilmu Antropologi memahami dunia-dunia agama tidak sepenuhnya sebagai fenomena objektif dan juga tidak sepenuhnya sebagai fenomena subjektif, namun sebagai sesuatu yang berimbang dalam memediasikan ruangan sosial atau budaya dan sebagai yang terlibat dalam suatu dialektika (komunikasi dua arah) yang memberikan objektivitas sekaligus juga subjektivitas. Perhatian ahli Antropologi dalam meneliti agama ditunjukan untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan, dan lain sebagainya, terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan, upacara, organisasi keagamaan tertentu.
B.     Pendekatan Antropologis
Pembelajaran kebudayaan merupakan hal yang utama dalam Antropologi. Bidang kajian utama Antropologi adalah kebudayaan dan dipelajari melalui pendekatan. Berikut tiga jenis pendekatan utama yang biasa dipergunakan oleh para ilmuwan Antropologi :
1.         Pendekatan holistik
Jika kita amati, sifat kebudayaan dipandang secara utuh (holistic). Pendekatan ini digunakan oleh para pakar Antropologi apabila mereka sedang mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan dipandang sebagai suatu keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin dipahami dalam keadaan terpisah dari keutuhan tersebut. Para pakar Antropologi mengumpulkan semua aspek, termasuk sejarah, geografi, ekonomi, teknologi, dan bahasa. Untuk memperoleh generalisasi (simpulan) tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan dalam suatu masyarakat, para pakar Antropologi merasa bahwa mereka harus memahami dengan baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat yang bersangkutan.[7]
2.         Pendekatan komparatif
Kegiatan pada kebudayaan masyarakat pra-aksara. Pendekatan komparatif juga merupakan pendekatan yang unik dalam Antropologi untuk mempelajari kebudayaan masyarakat yang belum mengenal baca-tulis (pra-aksara). Para ilmuwan Antropologi paling sering mempelajari masyarakat pra-aksara karena dua alasan utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap generalisasi dan teori harus diuji pada populasi-populasi di sebanyak mungkin daerah kebudayaan sebelum dapat diverifikasi. Kedua, mereka lebih mudah mempelajari keseluruhan kebudayaan masyarakat-masyarakat kecil yang relatif homogen dari pada masyarakat-masyarakat modern yang kompleks. Masyarakat-masyarakat pra-aksara yang hidup di daerah-daerah terpencil merupakan laboratorium bagi para ilmuwan Antropologi.
3.         Pendekatan Historis
Hal yang paling penting yaitu asal-usul unsur kebudayaan. Pendekatan dan unsur-unsur historis mempunyai arti yang sangat penting dalam Antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam kelompok ilmu tingkah laku manusia. Para ilmuwan Antropologi tertarik pertama-tama pada asal-usul historis dari unsur-unsur kebudayaan, dan setelah itu tertarik pada unsur-unsur kebudayaan yang unik dan khusus.

C.    Aplikasi pendekatan Antropologis dalam mengkaji islam dan umat islam
Berkaitan dengan paparan di atas, penting kiranya untuk memahami arti dari istilah pendekatan” atau metodologi” yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.”[8] Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat didalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.[9] Dengan demikian pendekatan Antropologis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sudut pandang atau cara melihat (paradigma) memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan dalam melihat, memperlakukan dan melitinya. Pendekatan Antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologi saat melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Asal muasal agama secara universal dapat dilihat dari karakteristik ajaran dan umat beragama yang sangat banyak dan sangat berbeda satu sama lain. Berdasarkan pendapat tentang asal-usul agama kepada data keagamaan masyarakat primitif sungguh tidak representatif, bahkan salah kaprah karena agama-agama besar dunia sangat berbeda dengan agama masyarakat primitif. Kemudian penelusuran secara ilmiah terhadap kepercayaan beragama, menuntut bukti yang rasional empiris, dan berikutnya menuntut kesimpulan yang bernalar. Mengatakan agama dari Tuhan tentu tidak empiris. Karena itu, Emile Durkheim mengatakan bahwa asal-usul agama adalah masyarakat itu sendiri.[10] M.T Preusz, seorang etnografer Jerman yang ahli tentang suku Indian di Meksiko, berpendapat bahwa wujud religi tertua merupakan tindakan-tindakan manusia untuk mewujudkan keperluan hidupnya yang tidak dapat dicapai dengan akal dan kemampuan biasa. Dia menegaskan bahwa pusat dari tiap sistem religi adalah ritual dan upacara. Melalui tindakan terhadap kekuatan gaib yang berperan dalam kehidupan, manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan dan tujuan hidupnya. R.R. Marett berpendapat bahwa kepercayaan beragama berasal dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib luar biasa yang menjadi penyebab dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa.
Dari sisi lain, asal usul agama tidak lah sesuai dengan apa yang ada dalam keyakinan dan pikiran umat beragama, karena menurut mereka agama adalah ajaran Tuhan. Walaupun kemudian disampaikan dan diolah atau diijtihadkan oleh pemuka agama, asal bahan yang diolah dan diijtihadkan itu tetap dari wahyu Tuhan. Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada manusia melalui wahyu, dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu bersifat mutlak, benar dan tidak berubah-ubah oleh perkembangan zaman.[11]
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mengidentifikasi manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya Antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan Antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Secara Antropologis ungkapan ini berarti bahwa, sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian realitas ketuhanan. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian Antropologi, menjadi sangat penting. Dalam pandangan Dawam Raharjo, Antropologi dalam hal ini penelitiannya lebih menggunakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Dawam menambahkan penelitian Antropologis yang induktif dan gronded (membumi), yakni turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya berupaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model matematis, banyak juga memberikan sumbangan kepada penelitian historis.[12] Dalam aplikasinya, berbagai penelitian Antropologi agama dapat dikemukakan hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin yang lain, pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran itu menguntungkan pihaknya.[13] Penelitian bidang Antropologi agama juga dilakukan oleh Clifford Geertz yang hasil penelitiannya telah dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul The Religion of Java. Arti penting dari karya Geertz ini adalah sumbangan pemikirannya dengan simbol-simbol yaitu bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu.
Menurut Geertz dalam penelitiannya di Mojokerto kebudayaan Jawa memiliki struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial itu adalah Abangan
(berpusat di pedesaan), Santri (berpusat di perdagangan atau pasar), dan Priyai (berpusat di kantor Pemerintahan, di kota). Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi didalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama khususnya Islam dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasarkan religion kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa kedalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa kedalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan. Dalam melakukan penelitiannya, Geertz menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan (survey) dan penelitian Grounded research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Dengan demikian si peneliti tidak berangkat dari suatu teori atau hipotesa tertentu yang ingin diuji kebenarannya di lapangan. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya dianalisa atau diinterpretasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu.[14]
D.    Penulis dan karya utama dalam kajian Antropologis tentang islam
Perspektif Antropologi tentang Islam telah banyak ditulis dari Barat maupun ditulis muslim itu sendiri. Diantaranya adalah Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java yang ditulis pada awal tahun 1960-an. Tulisannya ini sangat memberikan kontribusi yang luar biasa. Dari segi metodologi banyak manfaatnya yang bisa diambil. Sebenarnya masih banyak lagi karya Geertz yang lain seperti Tafsir Kebudayaan, After of the Fact, Politik Kebudayaan Islam serta karya-karya Geertz yang lainnya.
Menurut Akbar. S. Ahmad tokoh-tokoh dalam dunia Islam telah tumbuh dengan pesat jauh sebelum Antropologi Barat muncul, seperti seorang tokoh muslim Abu Rahyan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi lahir di Khawarizmi Turkeminia, Dzulhijjah 362 H/September 973 M wafat pada tahun 1048 M. Ia menguasai Ilmu Sejarah, Matematika, Fisika, Ilmu Falak, Kedokteran, Ilmu Bahasa, Geografi, dan Filsafat. Dia adalah seorang yang terkenal banyak mengarang dan menerjemahkan karya-karya tentang kebudayaan India kedalam bahasa Arab.[15] Al-Biruni mendapat julukan ahli Antropologi yang pertama dengan bukunya yang terkenal Kitab al-Hind. Ia melakukan penelitian selama 13 tahun (1017 – 1031). Metode yang digunakan al-Biruni mengambil bahan dari sumber Hindu, ia memahami bahasa Sansekerta disamping sumber-sumber sekunder yakni karya-karya terjemahan cendekiawan Arab dan Persia. Ia menyajikan gambaran-gambaran peradaban India sebagaimana yang dilukiskan orang India sendiri, sehingga karyanya dapat memenuhi standar dan untuk masa itu dinilai sebagai kajian yang terbaik mengenai agama Hindu, sains, dan adat istiadat India pada abad pertengahan.[16] Kemudian Ibn Batutah (1304-1337) dengan karyanya Tuhfah an-Nuzzarfi Qara’ib al-Amsar wa ’Ajaib al-Asfar, al-Mas’udi dan Waliyuddin. Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn al-Hasan Ibn Khaldun dengan karyanya yang terkenal yaitu Muqaddimah.[17] Tokoh Antropologi seperti Akbar. S. Ahmed sendiri, ia seorang antropolog dan pakar media massa muslim serta komentator tentang masalah keislaman, ia mengarang buku antara lain Toward Islamic Antropology Defenition, Dogma, Direction (1988), buku ini merupakan inspirasi untuk serial televisi Living Islam dan buku yang berjudul The Future of Antropology (1990) bersama Chris Sorne. Dia menjadi orang Pakistan pertama terpilih sebagai anggota Council of Royal Antropological Institut dan telah dianugerahi Star or Excelence sebagai kehormatan akademis oleh pemerintah Pakistan.[18]
E.     Gagasan Islamisasi Antropologi
Sebetulnya usaha untuk mengislamisasikan Antropologi ini telah banyak dilakukan oleh para analis. Misalnya saja Dawam Rahardjo. Menurutnya untuk melakukan Islamisasi pada disiplin Antropologi ini dikemukakannya dalam tiga tahap.[19] Pertama, teori-teori Antropologi itu harus dikembangkan melalui ajaran Islam itu sendiri. Teori ini bisa bersifat teori dasar atau grand theory, dengan mengembangkan teori jangka menengah, sehingga berbagai hipotesis dapat dirumuskan. Dalam Alquran dinyatakan bahwa Allah SWT mengharapkan munculnya umat yang menjadi “Syuhada ’alaan-Naas” (saksi atas manusia). Fungsinya antara lain dapat diwujudkan melalui penelitian-penelitian empiris. Dalam hal ini perlu dikembangkan penelitian Antropologis yang menyangkut keadilan, musyawarah, takwa, ta’awun, amal soleh dan sebagainya.[20] Kedua, untuk mampu merumuskan teori-teori dasar tersebut, sangat dibutuhkan ketajaman pandangan dan daya kritis yang tinggi. Teori kritis tidak hanya menjadikan alat sebagai rekayasa sosial dan alat legitimasi terhadap sistem sosial yang berlaku, analisa kritis merupakan jalan menemukan teori besar. Ketiga, perlu membangun suatu wadah warisan pengetahuan budaya yang dibentuk melalui pengalaman teori dan praktek. Untuk pengalaman itu bisa diciptakan melalui penerapan warisan sosial dari ilmu-ilmu sosial yang ada.
F.     Signifikansi dan kontribusi pendekatan Antropologis dalam studi islam
Jika kita dapat mengamati pendekatan Antropologis dalam studi Islam terutama kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan suatu masyarakat dan para warganya, kegunaan yang berkelanjutan ini adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan-keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar, tanpa menimbulkan gejolak dan pertentangan antar sesama warga masyarakat. Selanjutnya melalui pendekatan Antropologis ini dalam studi Islam, diharapkan pemeluk agama Islam dapat lebih toleran terhadap berbagai aspek perbedaan budaya-budaya lokal dengan ajaran agama itu sendiri. Melalui pendekatan Antropologis sebagaimana tersebut diatas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan dapat difungsikan dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. Pendekatan Antropologis seperti itu sangat diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan Antropologis. Sumber utama ajaran Islam adalah alquran misalnya kita peroleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Dimana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan dimana kira-kira gua itu dan bagaimana pula bisa terjadi hal-hal yang menakjubkan itu, ataukah hal yang demikian itu merupakan kisah fiktif, dan masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.[21] Dengan demikian pendekatan Antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan dengan bantuan ilmu Antropologi dan cabang-cabangnya. Jika kembali pada persoalan kajian Antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat kontribusinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan Antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empiris, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek sosial konteks yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia agar dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol dengan itu pula manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi Antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti pada ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning). Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci yang sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai sumber kepercayaan dan juga realitas kehidupannya. Clifford Geertz mengartikan ethos (sumber kepercayaan) sebagai “karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estetika mereka.” Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasarkan pada pengertian ini agama sebagai ethos (sumber kepercayaan) telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia. Kedua, kajian Antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture (lintas budaya) akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai “international morality” berdasarkan pada kekayaan budaya dunia. Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia, karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, Antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan Islam guna menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia. Antropologi yang melihat langsung secara rinci hubungan antara agama dan masyarakat dalam tataran grassroot (rakyat) memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi Antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan. Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana pos-modernisme yang berkembang belakangan ini.








BAB 3
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Antropologi memberikan gambaran konkret tentang “struktur dan proses perkembangan keagamaan” di masyarakat. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas individu yang menyangkut perihal ibadah agama islam mampu diidentifikasi dan dimaknai dalam perspektif Antropologi.
Pertumbuhan islamisasi menjadi tolak ukur bagi umat islam untuk mempelajari Antropologi lebih jauh, sebab kandungan yang termasuk didalamnya adalah pendekatan studi islam dan keummatan. Sehingga perlu disadari atau tidak, dewasa ini mengharuskan agar senantiasa mempraktikkan ilmu keagamaan di masyarakat dalam percaturan budaya global serta mewaspadai proses dan pengaruh penyebaran agama lain yang tidak sejalan dengan nilai-nilai agama Islam.
B.       Saran
Dalam pandangan wajah islam, penting kiranya untuk mendalami ilmu Antropologi guna menambah wawasan dan keberagaman ilmu di tengah masyarakat, apalagi terkait dengan pemahaman realitas kemanusiaan yang mengandung banyak unsur dan komponen di masyarakat.









DAFTAR PUSTAKA

Abdullah dan Karim, Metodologi Penelitian Agama Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989)
Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, cet. II (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990)
Abu al-Futuh Muhammad al-Jawanisi, Abu Rahyan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni,
(Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’ al-Islamiyah, 1967)
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta : Rajawali Press, 1998)
Achmad Fedyanisaifuddin, Ph.D “Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma” (Jakarta : Kencana, 2006)
Akbar. S. Ahmed, Living Islam, terj. Pangestu Ningsih (Bandung: Mizan, 1997)
Akbar. S. Ahmed, Toward Islamic Antropology Defenition, Dogma, Direction : Islamization
of Knowledge Series No. 2 (USA: New Era Publications, 1986)
Amri Marzali “Antropologi dan Kebijakan Publik” (Jakarta : Kencana, 2012)
Amri Marzali “Antropologi dan Pembangunan Indonesia” (Jakarta : Kencana, 2007)
Badri Yatim, Historiografi Islam, cet. I (Jakarta: Wacana Ilmu, 1994)
Bustanuddin Agus. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama.
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006)
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo Perasada. 2007.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2013
M. Dawam Raharjo, Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan, dalam M. Taufik
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas? (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002)
M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin
(Bandung: Nuansa Ilmu, 2001)
Sudjangi (Penyunting) Agama dan Masyarakat (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan
Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, 1991/1992)
Yayasan Obor Indonesia “Pokok-pokok Antropologi Budaya” (Jakarta : 2006)
Yusron Razak & Ervan Nurtawab. Antropologi Agama. (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2007)
Yusuf Qordhowi “Dimana Kerusakan Umat Islam” (Gema Insani Press : Jakarta 1994)



[1] Achmad Fedyanisaifuddin “Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma” (Jakarta : Kencana, 2006), hlm.10
[2] Amri Marzali “Antropologi dan Kebijakan Publik” (Jakarta : Kencana, 2012), hlm.23
[3] Yayasan Obor Indonesia “Pokok-pokok Antropologi Budaya” (Jakarta : 2006), hlm. 56
[4] Yusron Razak & Ervan Nurtawab,  Antropologi Agama. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2007) hlm. 1-20.
[5] Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2013
[6] Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo Perasada. 2007.
[7] Amri Marzali “Antropologi dan Pembangunan Indonesia” (Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 22
[8] M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin (Bandung: Nuansa Ilmu, 2001) hlm. 184.
[9] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 1998) hlm. 35
[10] Bustanuddin Agus. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 16
[11] Sudjangi (Penyunting) Agama dan Masyarakat (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, 1991/1992), hlm.19
[12] M. Dawam Raharjo, Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan, dalam M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, cet. II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990) hlm. 19
[13] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 31
[14] Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 1998), hlm. 39.
[15] Abu al-Futuh Muhammad al-Jawanisi, Abu Rahyan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni, (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’ al-Islamiyah, 1967),  hlm. 24.
[16] Badri Yatim, Historiografi Islam, cet. I (Jakarta: Wacana Ilmu, 1994), hlm. 13.
[17] Ahmed, Toward Islamic Antropology Defenition, Dogma, Direction, hlm. 54.
[18] Akbar. S. Ahmed, Living Islam, terj. Pangestu Ningsih (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 5.
[19] Abdullah dan Karim, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989) hlm. 26-28.
[20] Yusuf Qordhowi “Dimana Kerusakan Umat Islam” (Gema Insani Press : Jakarta 1994), hlm.14
[21] Nata, Metodologi Studi Islam,  (Jakarta : Rajawali Press, 1998), hlm. 38.

2 komentar:

  1. terniat. sampai kaget sama audionya.
    terima kasih. semoga kedepannyamasih banyak karya-karya lainnya.

    ReplyDelete