BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Allah kepada setiap hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita untuk mengerti hakikat dan kedudukan tauhid.
Selama ini, kita seakan telah bertauhid mengesakan Allah swt. Tetapi apakah pentauhidan itu benar-benar mengakar dalam praktik kerja kehidupan kita? Masih susah memastikannya. Dari makalah inilah terlihat, bahwa sebenarnya, telah terjadi pemisahan besar, antara pengesaan kita terhadap Allah swt pada level aqidah ketuhanan (tauhid uluhiyah), dengan penauhidan kita terhadap Allah swt dalam susah-senang kehidupan (tauhid Rububiyah). Keduanya ternyata saling mensyaratkan; keyakinan kita kepada Allah swt sebagai Tuhan, harus dibarengi dengan keyakinan bahwa Allah SWT-lah yang mengatur, mengurusi, dan membimbing segenap praktik hidup, mulai dari soal rezeki, karir, jodoh, nasib, cita-cita, dsb. Jadi, menurut hikmah ini, seorang muslim belum bertauhid, selama ia masih meyakini bahwa kerjanya itulah (bukan Allah swt) yang memberi rezeki.
Penuhanan Allah swt pada level batin dan ibadah ritual, haruslah dibuktikan dengan penuhanan Allah swt, melalui jalan hidup yang sesuai dengan syari’at-Nya.
BAB II
PEMBAHASAN
I. TAUHID
A. Pengertian Ilmu Tauhid
Ditinjau dari sudut bahasa (ethimologi) kata tauhid adalah merupakan bentuk kata mashdar dari asal kata kerja lampau yaitu: Wahhada yuwahhidu wahdah yang memiliki arti mengesakan atau menunggalkan. Dan kemudian ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah bahwa kata tauhid mengandung makna Keesaan Tuhan. Maka dari pengertian ethimologi tersebut dapat diketahui bahwa tauhid mengandung makna meyakinkan (mengi’tikatkan) bahwa Allah adalah “satu” tidak ada syarikat bagi-Nya.[1]
Dari sudut istilah (therminologi) telah dipahami bersama bahwa setiap cabang ilmu pengetahuan itu telah mempunyai objek dan tujuan tertentu. Demikian juga halnya pada kajian ilmu tauhid yang telah dita’rifkan oleh para ahli sebagai berikut:
Ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah dan sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya, dan sifat yang boleh ada pada-Nya dan sifat yang tidak harus ada pada-Nya (Mustahil), ia juga membahas tentang para rosul untuk menegaskan tugas dan risalahnya, sifat-sifat yang wajib ada padanya yang boleh ada padanya (jaiz) dan yang tidak boleh ada padanya (Mustahil).[2]
2. Syech Husain Affandi al-Jisr al-Tharablusy meta’rifkan sebagai berikut:
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas atau membicarakan bagaimana menetapkan aqidah (agama Islam) dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.
Dari kedua ta’rif Ilmu Tauhid tersebut itu dapat diambil suatu pengertian bahwa pada ta’rif pertama (Syech Muhammad Abduh) lebih menitik beratkan pada obyek formal ilmu tauhid, yakni pembahasan tentang wujud Allah dengan segala sifat dan perbuatan-Nya serta membahas tentang para Rasul-Nya, sifat dengan segala perbuatannya. Sedangkan pada ta’rif kedua (Syech Husain al-Jisr) menekankan pada metode pembahasannya, yakni dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan, dan yang dimaksud di sini adalah dalil naqli maupun dalil aqli.
B. Objek Kajian Ilmu Tauhid
Objek pembahasan atau yang menjadi lapangan pembahasan ilmu tauhid pada garis besarnya dibagi kepada tiga bagian utama yaitu:
· Tauhid Ilahiyah
· Tauhid Nubuwwah
· Tauhid Sam’iyyat
1. Tauhid Ilahiyah
Tauhid Ilahiyah yaitu bagian Ilmu Tauhid yang membahas masalah ke-Tuhanan. Hal ini terdiri dari:
a. Tauhid Uluhiyah
Yaitu Tauhid yang membahas tentang ke-Esaan Allah dalam dzat-Nya tidak terdiri dari beberapa unsur atau oknum. Dia (Allah) sebagai Dzat yang wajib disembah dan dipuja dengan ikhlas, semua pengabdian hamba-Nya semata-mata untuk-Nya seperti berdo’a, nahr (kurban), raja’ (harap), khauf (takut), tawakal (berserah diri), inabah ( pendekatan diri) dan lin-lain. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
b. Tauhid Rubbubiyah
Yaitu pembahasan tentang Allah sebagai Arrabbu, yaitu Esa dalam penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan semua makhluk-Nya. Sebagaimana firman Allah yang menjelaskan siapakah yang memberi rizki pada manusia? Dalam surat Yunus ayat 31.
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
c. Tauhid Dzat (Asma’ wa Sifat)
Yaitu pembahasan tentang sifat-sifat dan nama-nama yang disebut sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat dan nama-nama-Nya adalah agung dan sempurna. Kita tidak boleh memberikan nama dan sifat yang dapat mengurangi keagungan dan kesempurnaan-Nya, atau menyesuaikan nama-nama dan sifat-sifat itu dengan yang lain seperti membagaimanakan, menggambarkan, mentasybihkan, menta’wilkan, mentahrifka atau menta’tilkannya sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 180.
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
2. Tauhid Nubuwwah
Yaitu bagaimana ilmu tauhid yang membahas masalah kenabian, kedudukan dan peran serta sifat-sifat dan keistimewaannya. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat an-Nahl : 43 yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui.”
3. Tauhid Sam’iyyat
Yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah-masalah yang didengar dari dalil-dalil naqli seperti datangnya hari akhir, hari kebangkitan dari kubur, siksa kubur, mizan, dan lain-lain. Disebutkan dalam firman Allah dalam surat Az-Zumar 60 yang artinya, “Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat Dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.”
II. MOTIVASI
Dalam setiap aktivitasnya, setiap orang pasti di pengaruhi oleh sebuah motifasi. Motifasi merupakan daya pendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu terlepas dari apakah sesuatu tersebut dapat berhasil secara maksimal atau tidak. Disadari atau tidak motifasi itu berpengaruh besar terhadap model kerja atau aktifitas yang dilakukan.
Islam ternyata memiliki konsep tentang motivasi. Sudah menjadi hal yang umum, kebanyakan orang menggunakan kata “Motif” untuk menunjukkan mengapa seseorang berbuat sesuatu. Missal seseorang mengatakan,” Apa motif dibalik kerja kerasnya” atau “Apa motif kerjanya terpengaruh orang yang dekat dengannya? Dengan demikiann apa sebenarnya motif Itu?
Pengertian motivasi menurut kamus bahasa indonesia adalah dorongan yang timbul dalam diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan tindakan, tujuan tertentu. Menurut E. Kusmana Fachrudin (2000:44) motivasi dibedakan atas dua golongan yaitu :
1. Motivasi Asli. Motivasi asli adalah motivasi untuk berbuat sesuatu atau dorongan untuk melakukan sesuatu yang muncul secara kodrati pada diri manusia.
2. Motivasi Buatan. Motivasi buatan adalah motivasi yang masuk pada diri seseorang baik usaha yang disengaja maupun secara kebetulan. Sejalan dengan pendapat Irianto (1997:247), motivasi eksternal adalah setiap pengaruh dengan maksud menimbulkan, menyalurkan atau memelihara perilaku manusia. Dipertegas oleh Mulia Nasution (2000:11), motivasi dari luar adalah pembangkit, penguat, dan penggerak seseorang yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Dari beberapa pendapat diatas maka, jelas motivasi merupakan faktor yang berarti dalam mendorong seseorang untuk menggerakkan segala potensi yang ada, menciptakan keinginan yang tinggi serta meningkatkan semangat sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Motifasi dalam kamus bahasa Indonesia yang berarti dorongan dalam sokongan moril dengan tujuan tindakan. Motifasi akan terstimulasi, karena ada tujuan. Dalam hal ini motivasi merupakan respon dari suatu aksi, yaitu tujuan. Memang motivasi muncul dalam diri manusia, akan tetapi kemunculanya disebabkan munculnya rangsangan dari unsure lain, yaitu tujuan, tujuan ini menyangkut kebutuhan.[3]
Seiring dengan persepsi, kepribadian, sikap, dan bekerja, motivasi adalah unsur yang sangat penting perilaku. Namun demikian, motivasi bukanlah satu-satunya penjelasan tentang perilaku. Berinteraksi dengan dan bertindak dalam hubungannya dengan kognitif lain.
Luthans menegaskan bahwa motivasi adalah proses yang membangkitkan, menyemangati, mengarahkan dan menopang perilaku dan kinerja.itu adalah proses merangsang orang untuk tindakan dan untuk melaksanakan suatu tugas yang diinginkan. Salah satu cara untuk merangsang orang adalah untuk mempekerjakan efektif motivation, yang membuat pekerja lebih puas dengan dan komitmen untuk pekerjaan mereka. Uang bukan hanya motivator. Ada insentif lain yang juga dapat berfungsi sebagai motivator.
Lalu bagaimana Kerja Keras Menurut Pandangan agama Islam, sedikit saya coba bahas betapa pentingnya kerja keras menurut Islam. Dalam Islam, Istilah motivasi sudah dikenal tetapi dalam wujud bahasa yang berbeda. Akan tetapi secara subtansi memiliki kesamaan arti atau maksud. Dalam khazanah bahasa Arab, kita mengenal kata ghiirah yang berarti semangat atau dorongan dari dalam diri yang menjadi alasan mengapa seseorang melakukan sesuatu.
Bila kita melihat pengertian motifasi secara umum yang dipaparkan oleh beberapa pakar diatas, akan jumpai adanya sesamaan maksud dengan istilah yang biasa digunakan dalam islam (baca: Bahasa Arab). Yakni usaha seseorang untuk melakukan sesuatu yang muncul dri dalam dirinya untuk mencapai keinginan yang menjadi tujuan.
III. KESUKSESAN HIDUP
Ukuran sukses hidup seseorang sebenarnya bisa sangat relatif. Bagi orang yang tidak percaya Tuhan dan hidup setelah kematian, standar sukses hanya diukur di dunia; harta, tahta, atau wanita. Tapi sebagai orang beriman, standar hidup sukses tidak terlepas dari keyakinan terhadap ajaran agama. Ajaran agama Islam berpedoman Al-Qur`an dan Sunnah. Bagaimana sukses menurut Al-Qur`an dan Sunnah?
Sementara arti kata "sukses" jika dirujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya berhasil, beruntung. Dalam bahasa Arab ada tiga kata yang semakna dengan kata sukses dalam arti berhasil atau beruntung, yaitu falah, fauz, dan najah. Ketiga terma inilah yang sering diulang-ulang dalam Al Qur`an. Bedanya, sukses menurut Al-Qur`an tidaklah bebas makna, tetapi terikat dengan prasyarat yang harus dilakukan seseorang untuk dapat meraihnya. Hal ini seperti yang terekam pada surah Al-Baqarah ayat 2-5.
Di rangkaian ayat tersebut, ternyata orang-orang yang beruntung (muflih dari kata falah), adalah yang diberi petunjuk dengan mengimani Al-Qur`an dan kitab-kitab sebelumnya tanpa ada keraguan, mendirikan shalat, menafkahkan rezki, dan beriman kepada kehidupan akhirat. Sepadan dengan orang yang muflih (beruntung) di ayat lain disebutkan, adalah orang yang selalu mengajak kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar (QS. Ali Imran: 104). Kata muflihun yang berarti jamak (orang-orang yang beruntung) juga disebut di surah Al-Mujadilah ayat 22. Bahkan melengkapi dan menjelaskan balasan orang-orang yang beruntung menurut kriteria Al-Quran ini. Berikut arti ayatnya:
"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung."
Kata kedua dalam bahasa Arab sukses adalah fauz. Ayat yang merekam orang yang fauz ini adalah surah An-Nuur ayat 52:
"Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan." Tidak hanya sukses (fauz) biasa, tetapi juga di ayat 70-71 di surah Al-Ahzab, Allah swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." Ada juga kata faizun (dari kata fauz) untuk kelompok yang beruntung dengan balasan surga dan kekal di dalamnya terdapat dalam surah Al-Hasyr ayat 20 dan Al-Fath ayat 5.
Dari ayat-ayat yang disebut di atas, jelas bahwa kesuksesan seseorang itu ukurannya tidak hanya duniawi, tetapi justru setelah hidup di dunia ini. Di sinilah pentingnya kita memahami tauhid agar tergolong dalam kelompok yang dijanjikan oleh Allah swt dalam ayat-ayat Al-Qur`an di atas. Prasyarat seperti iman, bermuara kepada tauhid. Firman Allah swt: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am: 83). Dalam hadits Shahih Bukhari, diceritakan bahwa ketika ayat ini turun, para sahabat merasa sedih bukan kepalang, karena mereka merasa belum terbebas sama sekali dari kezhaliman. Maka Nabi saw menjelaskan bahwa kezhaliman di sini bukanlah sembarang kezhaliman, namun maksudnya adalah kezhaliman terbesar alias syirik, sebagaimana perkataan Luqman Al-Hakim taktala menasehati anaknya: "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman: 13). [4]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai seorang Muslim yang ingin sukses dalam kehidupan dunianya,tentunya kita harus menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman kerja keras dalam hal kebaikan karena kerja dalam Islam adalah ibadah,kerja taqwa atau amal shalih,memandang kerja sebagai kodrat hidup. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menegaskan bahwa hidup ini adalah untuk ibadah (Q.S Adz-Dzariat: 56). Makan, kerja dengan sendirinya mempunyai makna ibadah,dan ibadah hanya dapat direalisasikan atau diwujudkan dengan kerja dalam segala manifestasinya (Q.S Al-Hajj: 77-78,Al-Baqarah:177).
Lalu jika telah sadar tentang hakikat kerja adalah ibadah maka kita jangan sampai lupa tentang syarat menuju ibadah itu sendiri yakni Syarat pokok agar setiap aktivitas kita atau apa apa yang kita lakukan seperti ngeblog ini misalnya, bisa bernilai ibadah, syaratnya ada dua yaitu:
Yang Pertama adalah Ikhlas, yakni kita mempunyai motivasi yang benar yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan tujuan akhir agar kita bisa meraih mardhatillah atau Keridhaan Allah SWT (Q.S Al-Baqarah: 207 dan 265).
Yang Kedua adalah shawab Atau Benar yaitu apa yang kita lakukan harus sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah SAW untuk pekerjaan Ubudiyah atau ibadah khusus,dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat atau ibadah umum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran & Terjemah, Toha Putra, Semarang, 2002
Dr.Sholih Bin Fauzan Bin Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid, Universitas Islam Indonesia: Jogjakarta,2001.
http://industri10rudini.blog.mercubuana.ac.id/2011/11/03/methode-hidup-sukses-dalam-islam/
http://rere-comp.blogspot.com/2011/02/tauhid-dan-motivasi-kerja.html
Ibnu Khaldun, Muqaddimah,Cetakan Pertama, Putaka Firdaus: Jakarta,1986.
Fauzan, Kitab
[1] Syech Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terjemah KH. Firdaus, AN-PN Bulan Bintang, Jakarta Cetakan Pertama, 1963, hal. 33
[2] Ibid.
[3] Mulia Nasution, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Balai Pustaka. Jakarta . 2000 hal 465
[4] http://industri10rudini.blog.mercubuana.ac.id/2011/11/03/methode-hidup-sukses-dalam-islam/
0 komentar:
Post a Comment