Music

Sunday, 15 December 2013

Etika Bisnis Serta Urgensinya Dalam Kehidupan Manusia


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan realiti, bisnis baik sebagai aktivitas maupun sebagai entitas, telah ada dalam sistem dan strukturnya yang “baku”. Bisnis berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Sementara itu, etika telah dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan karenanya terpisah dari bisnis. Etika adalah ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar atau yang salah, yang baik atau buruk, yang bermanfaat atau tidak. Dalam kenyataan itu bisnis dan etika dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak ada kaitannya. Jika pun ada malah dipandang sebagai hubungan negatif dimana, praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan mencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas. Sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap dapat mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis. Dengan demikian hubunan antara bisnis dan etika telah melahirkan hal yang problematis.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah
1.        Apakah yang dimaksud dengan etika, bisnis, etika bisnis dan etika bisnis dalam Islam ?
2.        Bagaimana kehidupan bisnis kontemporer?
3.        Bagaimana peranan etika?
4.        Bagaimana contoh kehidupan bisnis yang beretika dan bisnis yang tidak beretika dan apa dampaknya?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
1.        Untuk mengetahui  yang dimaksud dengan etika, bisnis, etika bisnis dan etika bisnis dalam Islam.
2.        Untuk mengetahui bagaimana kehidupan bisnis kontemporer.
3.        Untuk mengetahui bagaimana peranan etika.
4.        Untuk mengetahui bagaimana contoh kehidupan bisnis yang beretika dan bisnis yang tidak beretika dan apa dampaknya.








BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Etika dan Bisnis
a.        Etika
            Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk kata tunggal kata tersebut mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Dan artinya adalah adat kebiasaan dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filosof Yunani Besar, Aristoteles (384-322SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral[1].
Dalam kamus Inggris, etika (ethic) mengandung empat pengertian. Pertama, etika adalah prinsip tingkah laku yang baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu. Kedua, etika merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral. Ketiga, dalam kata-kata “ethics” yaitu “ethic” dengan tambahan “s” tapi dalam penggunaan mufrad atau singular, diartikan sebagai kajian tentang hakikat umum moral. Keempat, “ethics” yaitu “ethic” dengan tambahan mufrad (tunggal) dan jamak (plural), ialah ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang mengatur tingkah laku para anggota suatu profesi[2].
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika dijelaskan dengan arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika juga diartikan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Serta diartikan  nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat[3].

b.        Bisnis
            Bisnis termasuk kata yang sering digunakan orang, namun tidak semuanya memahami kata bisnis secara tepat dan proporsional. Hughes dan Kapoor seperti dikutip oleh Buchari Alma menjelaskan bahwa bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat[4].
Lebih ringkas dari itu Brown dan Petrello menyebut bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pengertian yang sederhana bisnis adalah lembaga yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang lain[5]. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bisnis ialah usaha komersial di dunia perdagangan, bidang usaha, usaha dagang[6].

B.                Etika Bisnis dan Etika Bisnis Islam
a.        Etika Bisnis
Etika bisnis adalah cara-cara atau perilaku etik dalam bisnis yang dilakukan oleh manajer/kru. Semua ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness),  sesuai dengan hukum yang berlaku tidak bergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat. Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis sering kali kita temukan area abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum[7].
            Menurut Bertens etika bisnis adalah studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis. Etika ini dapat dipraktikkan dalam tiga taraf. Pertama,  taraf makro, etika bisnis akan berbicara tentang aspek-aspek bisnis secara keseluruhan, seperti persoalan keadilan. Kedua, taraf meso (madya), etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi seperti serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain. Ketiga, taraf mikro, yang memfokuskan pada individu dalam hubungannya dalam kegiatan bisnis seperti tanggung jawab etis karyawan dan majikan, manajer, produsen dan konsumen[8].
Berbicara tentang bisnis,  maka kajian yang dibahas tak jauh mengenai kajian ekonomi. M. Abdul Mannan menjelaskan dalam buku Teori dan Praktek Ekonomi Islam, bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu tentang manusia, bukan sebagai individu yang terisolasi, tetapi mengenai individu sosial yang meyakini nilai-nilai hidup Islam.[9] Hal ini menjelaskan bahwa nilai-nilai hidup (etika) berperan penting dalam dunia bisnis.

b.        Etika Bisnis Islam
            Pemikiran etika bisnis Islam muncul ke permukaan dengan landasan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Ia merupakan kumpulan aturan-aturan ajaran dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia dalam kehidupannya menuju tujuan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Etika bisnis Islam tak jauh berbeda dengan pengejawantahan hukum dalam fiqih muamalah. Dengan kondisi demikian maka pengembangan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika sebagai landasan filosofisnya merupakan agenda yang signifikan untuk dikembangkan[10].
            Secara normatif meurut Quraish Shihab, al-Qur’an relatif lebih banyak memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada kerangka penanganan bisnis sebagai pelaku ekonomi dengan tanpa membedakan kelas[11].
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ö@yd ö/ä39ߊr& 4n?tã ;ot»pgÏB /ä3ŠÉfZè? ô`ÏiB A>#xtã 8LìÏ9r& ÇÊÉÈ   tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur tbrßÎg»pgéBur Îû È@Î6y «!$# óOä3Ï9ºuqøBr'Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur 4 ö/ä3Ï9ºsŒ ×Žöyz ö/ä3©9 bÎ) ÷LäêZä. tbqçHs>÷ès? ÇÊÊÈ  
10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Allah berfirman, Wahai orang-orang yang berimanmaukah kamu Aku, yang maha mengetahui ini, menunjukkan kepada kamu suatu perniagaan besar yang bila kamu melakukannya maka ia dapat menyelamatkan kamu atas izin Allah dari siksa yang pedih? Perniagaan itu adalah perjuangan di jalan Allah karena jika kamu mau maka hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni meningkatkan iman kamu dan memperbaharuinya dari saat ke saat, dan juga berjihad, yakni bersungguh-sungguh, dari saat ke saat mencurahkan apa yang kamu miliki berupa tenaga, pikiran, waktu, dan dengan harta-harta dan jiwa-jiwa kamu masing-masing di jalan Allah, yang demikian itu, yakni beriman dan berjihad, yang sungguh tinggi nilainya lagi luhur baik buat kamuJika kamu mengetahui bahwa hal tersebut baik maka tentulah kamu mengerjakannya[12].
Yang dimaksud dengan kata tijarah dalam ayat ini adalah amal-amal saleh. Memang al-Quran sering kali menggunakan kata itu untuk makna tersebut karena motivasi beramal saleh – oleh banyak orang – adalah untuk memperoleh ganjaran persis seperti perniagaan yang dijalankan seseorang guna meraih keuntungan[13].
A. Riawan Amin menjelaskan dalam bukunya “Menggagas Manajemen Syariah” bahwa prinsip-prinsip etika bisnis menurut al-Quran yaitu[14] :
1.        Melarang bisnis yang dilakukan denagn proses kebatilan (QS. 4:29). Bisnis harus didasari pada kerelaan dan keterbukaan antara kedua belah pihak dan tanpa ada pihak yang dirugikan . orang yang berbuat batil termasuk perbuatan aniaya, melanggar hak dan berdosa  besar (QS. 4:30). Sementara orang yang menjauhinya, maka akan selamat dan akan mendapat kemuliaaan (QS. 4:31).
2.        Bisnis tidak boleh mengandung unsur riba (QS. 2:275).

Berdasarkan uraian di atas, kajian ini akan berupaya mencari prinsip-prinsip etika bisnis dalam perspektif al-Quran, yaitu etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai al-Quran. Pernyataan ini pada satu sisi bertujuan menolak anggapan bahwa bisnis hanya merupakan aktifitas keduniaan yang terpisah dari persoalan etika dan pada sisi lain akan mengembangkan prinsip-prinsip etika bisnis al-Qur’an, sebagai upaya konseptualisasi sekaligus mencari landasan persoalan-persoalan praktek mal bisnis.

C.      KEHIDUPAN ETIKA BISNIS KONTEMPORER
Urgensi Etika Bisnis : Islam dan kontemporer
Bisnis Kontemporer, jika dicermati secara saksama nampak sebagai suatu realitas yang teramat kompleks. Kompleksitas bisnis tidak bisa dipahami secara terpisah dari masyarakat yang pada dirinya sendiri juga memliki struktur sangat kompleks. Bagaimanapun perilaku mencerminkan akhlak (etika) seseorang. Atau dengan kata lain, perilaku berelasi dengan etika. Apabila seseorang taat pada etika, berkecendrungan akan menghasilkan perilaku yang baik dalam setiap aktivitas atau tindakannya, tanpa kecuali dalam aktivitas bisnis. Secara konkret bisa diilustrasikan jika seorang pelaku bisnis yang peduli pada etika, bisa diprediksi ia akan bersikap jujur, amanah adil selalu melihat kepentingan orang lain (moral altruistik) dan sebagainya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mempunyai kesadaran akan etika, dimanapun dan kapanpun saja tipe kelompok orang kedua ini akan menampakkan sikap kontra poduktif dengan sifat tipe kelompok orang pertama dalam mengendalikan bisnis.[15]
Menurut Qardhawi,[16] antara ekonomi (bisnis) dan akhlak (etika) tidak pernah terpisah sama sekali, seperti halnya antara ilmu dan akhlak, antara politik dan akhlak,dan antara perang dan akhlak. Akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan islami. Karena risalah islam adalah risalah akhlak. Sebagaimana pula tidak pernah terpisah antara agama dan negara, dan antara materi dan ruhani. Seorang muslim yakin akan kesatuan hidup dan kesatuan kemanusiaan. Sebab itu tidak bisa diterima sama sekali tindakan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama sebagaimana yang terjadi di eropa.
Seorang pengusaha dalam pandangan etika islam bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga keberkahan yaitu kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai oleh Allah Swt. Ini berarti yang harus diraih oleh seorang pedagang dalam melakukan bisnis tidak sebatas keuntungan materi tetapi yang penting lagi adalah keuntungan immateriil (spiritual). Kebendaan yang profan (tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan)[17] baru bermakna apabila diimbangi dengan kepentingan spiritual yang transenden (ukhrawi).
Akan tetapi , perlu disadari bagaimanapun dalam dunia usaha (bisnis) mau tidak mau akan muncul masalah-masalah etis dan masalah-masalah etis itu sudah barang tentu harus dicarikan jalan kluarnya.[18]Terlebih lagi secara realitas, dunia usaha di tanah air masih maemandang etika bisnis sebagai sesuatu yang asing, yang sulit ditempatkan ke dalam dunia bisnis sehari-hari. Maraknya penggunaaan zat tambahan baik untuk penyedap, pengawet, pewarna dan lain sebagainya merupakan nsalah satu contoh kecil yang memperkuat tesis itu. Belum lagi kasus-kasus besar yang menyangkut masalah perusakan lingkungan hidup, kejahatan perbankan, pembalakan hutan dan lain-lain, semakin meyakini betapa penting peran etika bisnis dalam mengantisipasi penyimpangan yang banyak merugikan bangsa itu
Dalam islam, tuntutan bekerja adalah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap muslim agar kebutuhan hidupnya sehari-hari bisa terpenuhi. Salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan itu antara lain  melalui aktifitas bisnis sebagaimana telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw sejak beliau masih usua muda.[19] Hanya saja beliau dalam berbisnis benar-benar menerapkan standar moral yang digariskan dalam al-qur’an. Oleh karena itu, sebagai pelaku bisnis terutama sebagai Muslim, ia harus menyibukkan diri dengan masalah-masalah etis. Dengan kata lain, profesionalitas dalam bisnis dituntut juga adanya kompetensi yang memadai dalam memecahkan tantangan etika bisnis yang sekarang mulai longgar (permissive). Kemampuan untuk menentukan sikap-sikap etis yang tepat, termasuk kompetensi sebagai usahawan atau manajer. Begitu pula sebuah perusahaan hanya akan berhasil dalam waktu panjang apabila berpegang pada standar-standar etis yang berlaku.
Urgensi etika bisnis menurut perspektif etika kontemporer, antara lain bisa dikemukakan pendapat sondang P.Siagian yang menyatakan ada beberapa faktor yang bisa dijadikan alasan relevansi etika dalam dunia modern ini.
“Ternyata kemudian cukup banyak gejala yang menunjukkan bahwa dunia baru dan yang lebih baik itu tampaknya makin jauh dari jangkauan umat manusia. Ketidakpastian makin kuat resonansinya. Ketidaktenangan tampak dimana-mana. Bahkan timbul ketakutan peradaban manusia akan mengalami kemunduran. Jika ditanyakan, mengapa demikian? Jawabannya tidak mudah ditemukan karena tidak ada satu faktorpun yang dampaknya begitu kuat sehingga faktor tesebut menjadi satu-satunya penyebab.”[20]
Cukup banyak faktor yang dikedepankan oleh Sondang, diantaranya :
1.      Faktor perubahan sosial yang terjadi dengan sangat cepat. Jika dalam masyarakat pedesaan gaya hidup sangat diwarnai oleh komunalisme dan kebersamaan, masyarakat industri seperti sekarang ini yang makin banyak bermukim di daerah urban ternyata memiliki tingkat interdependensi yang tinggi tetapi sekaligus sangat “impersonal”.
2.      Umat manusia dengan segala dinamikanya ternyata telah membawa suatu perubahan dalam falsafah hidup kemasyarakatan yang pada gilirannya merupakan tantangan bagi keyakinan sosial yang sifatnya tradisional dengan segala konsekuensinya. Tatanan dunia yang lama diganti oleh tatanan baru.
3.      Siapapun mengakui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat berpengaruh pada tata cara berperilaku, moralitas, dan etika. Sebagai instrumen sosial, dampak perkembangan di bidang teknologi dapat bersifat positif, akan tetapi tidak mustahil juga bersifat negatif. Berbagai dampak negatif yang perlu diwaspadai antara lain ialah efek yang membuat daya pikir manusia menjadi “majal”, memperkuat dan menumbuhkan stimulasi kepentingan dan dorongan yang nonrasional, serta membuat manusia menjadi tidak pernah dewasa. Jika nilai negatif terus berkelanjutan, kemungkinan untk mengabaikan norma-norma moralitas dan etika akan semakin besar.
4.      Terlihat kecendrungan kuat bagi manusia untuk berpikir secara “praktis”. Kecendrungan demikian sering berakibat pada diabaikannya nilai-nilai moral dan etika. Nilai-nilai instrumental sering “mengalahkan” nilai-nilai terminal yang luhur. Salah satu konsekuensinya ialah menempuh “jalan pintas” dalam memperoleh hal-hal yang diinginkan.
5.      Terlihat dengan jelas gejala yang menunjukkan bahwa manusia memberikan interpetasi tentang kehidupan sedemikian rupa sehingga maknanya tidak mendorong penerapan norma-norma moral dan etika yang benar.

Pada tataran ini, etika merupakan penentu keberhasilan suatu bisnis. Namun, bukan karena mau memenangkan kompetisi bisnis, atau juga bukan karena mau berhasil meraup keuntungan yang berlipat ganda seseorang pebisnis harus berperilaku moral. Hal ini berarti dia hanya mau menjadi seorang yang jujur, adil, dan bertanggung jawab kalau dia ingin menjadi kaya. 
            ”Catatan” : sebagai catatan untuk bab ini akan saya paparkan ” nama baik” sebagai salah satu patokan dalam berbisnis secara etis.
            Adalah Marcus Tullius Cicero (106-43sM) yang pertama kali menggaskan hal ini. Menurutnya, “momen est omen” atau nama identik dengan nama  si pemilik. Seluruh kepbribadian si pemilik nama terwakili dalam nama tersebut.
Dalam bisnis kontemporer, para pebisnis dapat dikategorikan berdasarkan kedua gagasan di atas. Dengan demikian, menurut Aristoletes, nama baik atau harga diri merupakan hal yang paling unggul dan paling utama dari seseorang. Keunggulan atau keutamaan harga diri atau nama baik terletak pada sarana – sarana yang dipakai untuk menjaganya. Sarana-sarana yang bernilai karena menghasilkan sesuatu yang berharga dalam diri setiap orang itu tiada lain adalah virtue ethic atau keutamaan – keutamaan moral. Di sini-lah semestinya gagasan tentang berbisnis secara moral itu ditempatkan.[21]

D.                SISTEM  ETIKA KONTEMPORER
Meskipun banyak ahli dari Barat berusaha mengembangkan teori serta kode etika bisnis, mereka belum mampu menyusun kode moral perilaku yang efektif untuk bisnis. Sebagian besar moralitas dan etika merupakan sistem utilitarian dan materialistik. Hal ini mudah dipahami karena konsep sekularisasi dalam kehidupan serta kurangnya sumber petunjuk yang otentik di dunia Barat. Etika kontemporer sebagian besar merupakan buatan manusia yang sifatnya relatif dan situasional serta kurang “legitimate” dukungan otoritas di belakangnya.[22]
Ahli manajemen , Harold koontz mengakui bahwa di Barat, tidak ada sumber standar etika. Dalam bangsa yang mempunyai agama negara, mungkin terdapat pusat sumber kewenangan dalam mengajarkan praktik etika. Di AS, dengan banyaknya budaya etika dan agama, tidak seorang pun yang menilik gereja, pemerintah, institusi pendidikan, asosiasi swasta sebagai pusat tradisi etika.[23] Sehingga yang terjadi, mereka mengembangkan standar etika berdasarkan pengalaman dan perasaan. Wajar jika kurang otentik dan legitimasi. Mereka tidak percaya bahwa ada standar etika permanen myang bisa di ikuti oleh hidup manusia. Di lain pihak mereka percaya bahwa konsep moral, seperti halnya konsep lain, akan selalu berubah seiring waktu.
Perspektif  Barat pada etika bisnis umumnya seperti yang di ungkapkan oleh Drucker berikut ini: Banyak Khotbah yang diajarkan pada etika bisnis dan pebisnis. Kebanyakan tidak ada yang bisa dilakukan terkait bisnis serta sedikit saja terkait etika. Hal ini seperti mempekerjakan gadis panggilan untuk menghibur pelanggan, bukanlah masalah etika melainkan estetika.[24] Bisa disimpulkan bahwa dunia Barat memandang bisnis dan etika merupakan perilaku yang terpisah.

E.                ISU-ISU KONTEMPORER: POTRET BURAM PERILAKU BISNIS DI INDONESIA
Sungguh ironis sekali kedengarannya, Indonesia sebagai sebuah negara Muslim terbesar di dunia dengan sumber daya yang melimpah, tetapi justru mengapa masih banyak masyarakat yang belum terentas dari kemiskinan. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa dewasa ini Bangsa Indonesia kurang mendapat kepercayaan dari orang lain (Internasional) yang menyebabkan betapa sulitnya menarik investor asing menanamkan modalnya di negeri ini. Ini mengindikasikan ada sesuatu yang tidak beres dan salah urus. Selain faktor lain seperti masalah etika dan hukum yang seyogyanya dijunjung tinggi oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama di kalangan pelaku ekonomi maupun pengambil kebijakan. Bukankah disadari bahwa menjunjung tinggi nilai moral dan hukum adalah merupakan bagian ajaran agama apapun secara universal.
Itu berarti, selama ini muslim Indonesia belum sepenuh hati mengaplikasikan nilai-nilai islam sebagai keyakinannya. Secara jujur, nilai-nilai Rabbaniyah (Ilahiyah) belum terimplementasi dalam kehidupan bisnis yang berpotensi bisa merugikan perekonomian bangsa dalam skala makro. Bahkan jika sekiranya implementasi itu justru akan menguntungkan Bangsa Indonesia yang kurang lebih 90 % penduduknya sebagai muslim. Di sinilah relevansi membangun nilai-nilai Rabbaniyah dalam perekonomian Indonesia agar bangsa kita menjadi kuat dan bisa kompetitif dengan bangsa lain di dunia. Dalam realitas justru menunjukkan hal sebaliknya. Banyak ditemukan keganjalan perilaku bisnis yang secara signifikan bisa ikut mempengaruhi perkembangan ekonomi secara makro. Beragam perilaku itu tidak lagi sebagai vaiabel pendukung, tetapi sebaliknya akan menjadi faktor penghambat kemajuan ekonomi bangsa.
Sebagaimana diketahui, pertengahan tahun 1997, Asia dilanda krisis ekonomi, termasuk diantaranya adalah Indonesia. Kejadian ini lebih dikenal dengan istilah krisis moneter. Penyebab utamanya karena liberalisasi ekonomi yang diterapkan pemerintah Orde Baru. Pihak swasta bebas mengambil utang luar negeri tanpa pengawasan pemerintah, di samping utang pemerintah sendiri. Pinjaman jangka pendek, digunakan dalam investasi modal jangka panjang. Akibatnya, pada saat utang jatuh tempo pengusaha karbitan ini tidak mampu membayar kewajibannya. Demikian pula perusahaan Bank meminjam modal luar negeri dengan bunga rendah, 3-4 % setahun. Uang ini mereka pinjamkan lagi dengan tingkat bunga yang cukup tinggi, 18-20% setahun. Dangan praktik tamak ini perbankan akan meraup untung yang sungguh fantastik. Namun demikian, dengan perubahan harga dollar, harga rupiah merosot tajam sehingga pengusaha yang mendapat pinjaman luar negeri sangat kewalahan. Utang mereka dalam rupiah menjadi berlipat ganda jumlahnya sehingga mereka tidak mampu lagi membayar. Keadaan ini diperparah lagi oleh pihak perbankan, karena mereka meminjamkan sebagian besar modalnya kepada industri milik orang bank sendiri.[25]
Akibat yang dirasakan industri nasional mengalami kehancuran karena harga barang impor sangat tinggi (bila dinilai dengan rupiah), harga pokok barang industri menjadi tinggi, harga jual tinggi, akhirnya hasil produksi tidak laku. Di sana sini daya beli menurun karena banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Akibat lebih jauh, nama Indonesia jatuh di mata Internasional.
Tidak hanya itu, dalam bidang perbankan, para nasabah mulai gelisah dan hilang kepercayaan. Mereka secara massif berusaha menarik dana simpanannya dari bank. Akibatnya, bamk kekurangan likuiditas guna memenuhi tuntutan nasabah. Pengusaha perbankan terpaksa minta bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia (BI). Dengan kebijaksanaan pemerintah saat itu, BI diperintahkan untuk membantu bank-bank yang mulai kehabisan dana yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).Namun celakanya lagi, bantuan yang diberikan dengan niat yang baik pemerintah itu disalahgunakan pula oleh pengusaha perbankan. Bantuan itu bukan untuk membayar uang nasabah, tetapi digunakan untuk kepentingan diri sendiri atau dilarikan keluar negeri. Akhirnya muncul lagi krisis jilid kedua, yaitu krisis BLBI.  
Akhirnya bisa dipahami bahwa ekonomi Indonesia yang dinilai tumbuh pesat dengan modal pinjaman luar negeri itu ternyata hanya sebuah fatamorgana di tengah panasnya perekonomian Indonesia. Krisis ini terjadi karena semua pelaku dan sistem yang dianut jauh dari nilai-nilai spiritual yang tidak mengedepankan nilai kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan lain sebagainya. Mereka menilai parameter sukses itu adalah dengan ukuran meteri, atau seberapa besar keuntungan yang bisa dikuasai. Mereka lebih banyak mengejar keuntungan sepihak dan jangka pendek, tidak lagi keuntungan jangka panjang. Karena itu mereka lebih mementingkan kepentingan sendiri daripada kepentingan orang lain. Nilai moral terjauh dari hati mereka, karena orang lain hanya diposisikan sebagai objek pemerasan untuk meraih keuntungan. Inilah wajah sistem kapitalisme yang sangat paradoks dengan nilai-nilai sistem ekonomi yang berbasiskan Rabbaniyah.
Tidak hanya itu, contoh lain yang berkenaan dengan penggunaan obat. Obat yang khasiatnya untuk penyembuhan penyakit, pada masa sekarang semakin dipertanyakan akurasinya yang justru bisa mengancam jiwa si sakit karena semakin banyak obat palsu yang beredar di pasaran. Dalam hal ini, antara lain tebukti  Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Surabaya melekukan operasi obat-obatan palsu di sejumlah kios dan toko obat setempat. Ternyata dalam operasi itu BBPOM berhasil mengamankan puluhan jenis obat-obatan palsu dan itu sunnguh memprihatinkan.
Masih banyak lagi kasus-kasus perilaku bisnis yang jelas menyimpang dari nilai-nilai Rabbaniyah. Misalnya perusakan pelestarian lingkungan yang berupa penggundulan hutan oleh pemegang pengusahaan hutan dan usaha penambangan yang tidak lagi memperhatikan lingkungan. Akibat kecerobohan para pengusaha kedua jenis usaha ini telah banyak mempengaruhi keseimbangan ekosistem yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim, erosi, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya yang merugikan kehidupan masyarakat. Akibat ulah orang yang tidak bertanggung jawab, dengan sendirinya tidak sedikit uang negara yang digunakan untuk memulihkan lingkungan yang stabil dan aman. Anggaran negara yang seharusnya dibelanjakan untuk perbaikan ekonomi akhirnya sebagian tersedot untuk perbaikan lingkungan.   

F.                 PERAN ETIKA DALAM BISNIS
Secara umum, etika adalah ilmu normatif penuntun hidup manusia, yang memberi perintah apa yang seharusnya kita kerjakan. Maka etika mengarahkan manusia menuju aktualisasi kapasitas terbaiknya. Dengan menerapkan etika dan kejujuran dalam berusaha dapat menciptakan baik aset langsung maupun tidak langsung yang akhirnya meningkatkan nilai entitas bisnis itu sendiri. Banyak kasus diberbagai negara yang membuktikan hal tersebut. Apalagi dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi, kepuasan konsumenlah yang menjadi faktor utama agar perusahaan sustainable dan dapat dipercaya dalam jangka panjang. Konsumen cenderung semakin kritis dengan memperhatikan perilaku perusahaan yang memproduksi barang-barang yang akan mereka konsumsi.
Pada dasarnya praktik etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik internal perusahaan maupun dengan eksternal. Perusahaan yang menerapkan etika, dapat meningkatkan motivasi kru dalam bekerja, bahwa bekerja selain dituntut menghasilkan yang terbaik, juga diperoleh dengan cara yang baik pula. Penerapan etika juga melindungi prinsip kebebasan berusaha serta meningkatkan keunggulan bersaing. Selain itu, penerapan etika bisnis juga mencegah agar perusahaan tidak terkena sanksi-sanksi pemerintah karena berperilaku tidak beretika yang dapat digolongkan sebagai pebuatan melawan hukum.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa tanpa suatu etika yang menjadi acuan, para pebisnis akan lepas tidak terkendali, mengupayakan segala cara, mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuannya. Pada umumnya filosofi yang mendomonasi para pebisnis adalah bagaimana cara memaksimalkan keuntungan. Pebisnis seperti ini, sepeti yang dikatakan oleh Charles Diskens : “Semua perhatian, dorongan, harapan, pandangan, dan rekanan mereka meleleh dalam dolar. Manusia dinilai dari dolarnya”. Theodore Levitt mengatakn bahwa para pebisnis ada hanya untuk satu tujuan, yaitu untuk menciptakan dan mengalirkan nilai kepuasan dari suatu keuntungan hanya pada dirinya dan nilai budaya, nilai spiritual dan moral tidak menjadi pertimbangan dalam pekerjaannya. Akibatnya sungguh mengerikan. Mereka dapat menyebabkan perang antarbangsa, antarlembaga, dan antarperusahaan. Mereka menganggap dan membuat bisnis seolah medan perang. Dalam perekonomian yang berjalan berdasarkan prinsip pasar dimana “bisnis adalah bisnis”, kebebasan berusaha adalah yang utama. Namun kebebasan untuk mengejar tujuan bisnis juga mengandung kewajiban untuk memastikan bahwa kebebasan itu diperoleh secara bertanggung jawab.
Perumusan dan penetapan etika bisnis merupakan salah satu dari sekian banyak upaya pemersatu (internal intergration) yang diusahakan oleh pemimpin perusahaan untuk meningkatkan daya tahan bisnisnya. Itu  dilakukan dengan mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik (good corporate gorvemance) sekaligus memenuhi kewajibannya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab (corporate sosial responsibility).[26]
Etika bisnis juga berhubungan dengan nilai merek (brand value). Perilaku bisnis yang beretika berkontribusi pada pembangunan citra dari nilai merek sebuah produk. Salah satu caranya dengan memberikan pelatihan mengenai etika pada kru. Hasilnya sungguh luar biasa. Misalnya, menurunnya biaya, menurunnya pelputasi, anggaran dan perusakan pada merek atau reputasi, dan pada akhirnya menurunnya hukuman akibat melanggar aturan yang telah ditentukan. Sehingga diperlukan kemampuan untuk menghasilkan ‘brand value’ dan reputasi dengan standar integrasi bisnis dan tanggung jawab sosial yang tinggi. CSR tidak hanya sebuah pilihan, CSR merupakan prasarat integral dan mutlak untuk kesuksesan bisnis dalam jangka panjang. Meningkatnya CSR bararti meningkatnya manajemen kualitas.[27]  
   
G.               CONTOH PELANGGARAN ETIKA BISNIS

1.      Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Hukum
Sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak memberikan kompenisasi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan X dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan terhadap hukum.
2.      Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru sekolah menerapkan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Sekolah tidak menginformasikan kepada mereka saat akan mendaftar, sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi
3.      Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Akuntabilitas
Sebuah RS. Swasta melalui pihak pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh pengelola dalam hal ini direktur, sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit
4.      Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Prinsip Pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk biaya administrasi, pengurusan visa, dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
5.      Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Prinsip Kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat izin membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah, karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum ada izin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah, sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak memenuhi hak-hak konsumen (stakeholder) dengan alasan yang tidak masuk akal.
6.      Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Prinsip Kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang
7.      Pelanggaran Etika Bisnis Terhadap Prinsip Empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S.F. 1998.“The Ethical Responsibility of Business: Islamic Principles and Implication”,proceedings of The Seminar on Islamic Principles of Organisational Behaviour IIIT, Herndorn, USA.
Alma,  Buchari. 2003. Dasar-Dasar Etika bisnis Islami. Bandung: Alfabeta.
Amin, A. Riawan. 2010. Menggagas Manaajemen Syariah, Teori dan Praktek The Celestial Management. Jakarta: Salemba Empat.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka..
Djakfar, Muhammad.2008. Etika Bisnis Islami. Malang : UIN malang press.
Drucker , P.F.1979.  Management. London: Pan Books.
Fadhil, Nur Ahmad dan Azhari Akmal. 2001. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Hijri Pustaka Utama.
Koontz. 1980. Management. Auckland: Mc Graw-Hills International Book Company.
Mannan, M. Abdul. 1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj M. Nastangin. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf
Muhammad dan R. Lukman Fauroni. 2002. Visi Al-Quran, Tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah.
P.siagian, Sondang.1996. Etika Bisnis .Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Qardhawi,Yusuf.1995. Dawr al-Qiyam wa al-akhlak fi al-iqtisad al-islami. kairo- mesir: Maktabah Wahbah.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbah.  Jakarta: Lentera Hati.



[1]Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), h.25.
[2] Ibid. h. 25-26.
[3]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), h.309.
[4]Op.cit. Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, h.15.
[5]Ibid,
[6]Op.cit. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, h.157.
[7]A. Riawan Amin, Menggagas Manaajemen Syariah, Teori dan Praktek The Celestial Management, (Jakarta: Salemba Empat. 2010), h. 32.
[8]Op.cit. Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, h.53-53.
[9]M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj M. Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) h. 19.
[10]Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi Al-Quran: Tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 3.
[11]Ibid,
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 31.
[13] Ibid,
[14]Op.cit. A. Riawan Amin, h. 32.
[15] H. Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami. (malang : UIN malang press,2008). Hal 85
[16] Yusuf Qardhawi, Dawr al-Qiyam wa al-akhlak fi al-iqtisad al-islami (kairo- mesir: Maktabah Wahbah, 1995). Hal 57.
[17] Kamus pusat bahasa, KBBI. (jakarta: Balai Pustaka, 2001). Hal 897
[18] Suseno, Etika Bisnis, hal 1.
[19] H. Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika bisnis Islami (Bandung: Alfabeta, 2003). Hal 14.
[20] Sondang p.siagian, Etika Bisnis (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1996). Hal 5-6
[21] www.google.com
[22] S.F ahmad, “The Ethical Responsibility of Business: Islamic Principles and Implication”,proceedings of The Seminar on Islamic Principles of Organisational Behaviour IIIT, Herndorn, USA, 1988, hal 2.
[23] H. Koontz, management, (Auckland: Mc Graw-Hills International Book Company,1980). hal 103.
[24] P.F. Drucker, Management, (London: Pan Books,1979). Hal 294-295.
[25] H.Buchari Alma, Dasar-dasar Etika Bisnis Islami (Bandung: Alfabeta,2003). Hal 43.
[26] A. Riawan Amin. Menggagas Manajemen Syariah ( Jakarta: salemba Empat, 2010). Hal 12.
[27] opcit hal 13