BAB I
PENDAHULUAN
Mengkaji
istilah “perkataan yang baik” menjadi sesuatu yang jarang sekali kita temui
pada hari ini, terlebih dalam output
pendidikan kita yang belum menekankan aspek kedewasaan berbicara dengan
perkataan yang baik. Sebagai bukti, kita bisa survei pada generasi muda yang
saat selepas sekolah akan bergaul dengan temannya sambil nongkrong di sebuah warung, dengan asap rokok yang mengepul dari
mulutnya, mereka tak segan-segan berbicara dengan mengucapkan kata-kata kotor,
sungguh ini adalah realita dilapangan.
Seperti
itu pula tayangan-tayangan televisi yang mengajarkan perilaku negatif dan
kurang mendidik untuk mempersempit pemikiran generasi muda dalam
bersosialisasi. Dalam agama Islam, tidak memperbolehkan hal tersebut bahkan
dilarang sepenuhnya, sebab berkata-kata yang baik dan berusaha untuk mencari
teman yang baik sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dengan begitu, secara
rinci kita akan memahami bagaimana Islam merumuskan pola komunikasi yang baik
dengan sesama manusia dengan tujuan membangun manusia yang beradab serta
konstruksi ideologi berfikir dan berbicara sesuai dengan tata aturan
nilai-nilai Islam.
Adapun
pembahasan yang belum selesai untuk diperbincangkan adalah soal bagaimana
penerapan nilai-nilai Islam tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya
dalam bidang komunikasi Islam. Semua ini saling berkaitan satu sama lain antara
proses berfikir, kondisi hati dan ucapan lisan. Ketika seseorang hendak
mengucapkan kata-kata tentu ia melalui proses berfikir dan dipengaruhi oleh
kondisi hati. Sebagai contoh kasus penistaan agama yang saat tengah merebak
dikalangan umat muslim adalah bentuk proses berfikir yang tidak jernih dan
kondisi hati yang sangat membenci Islam sehingga melahirkan perkataan yang
kurang baik untuk dikonsumsi oleh khalayak.
Disamping
mendasarkan kepada tiga aspek diatas, qaulan
ma’rufan juga dipengaruhi oleh pemahaman situasi dan motivasi (dorongan)
dari si Komunikator yang pada saat bersamaan harus mengenali audiens nya serta
arah pembicaraan yang ingin ia tuju. Problematika komunikasi hari ini yang
masih belum selesai yakni mengenai kemampuan si komunikator untuk mengenali audiens
nya guna pesan-pesan yang ia sampaikan akan diterima dan dimengerti dengan
baik. Sebab perkataan yang baik belum tentu bersifat baik bagi sekelompok audiens
namun bisa jadi sebaliknya. Untuk itu, setiap komunikator dituntut untuk cerdas
dalam menjelaskan maksud dan tujuan ia berbicara dengan fokus tanpa basa-basi,
walaupun tetap berorientasi pada qaulan
ma’rufan.
A.
Pengertian Qaulan Ma’rufan
Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase
ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap
orang-orang miskin atau lemah. qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang
bermamfaat memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan
terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara
material,kita harus dapat membantu psikologi.[1]
Qaulan
Ma’rufan juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat
dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman, perkataan
kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus
selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya.
Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa
mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.
Berikut adalah ayat-ayat yang memuat kata Qaulan
Ma`rufan yang disebutkan Allah dalam QS.
An-Nisa’ : 5
وَلَا تُؤۡتُواْ
ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا
وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٥
Artinya :
“Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik.”
Dalam Tafsir
Al-Maraghi dijelaskan bahwasanya ayat di atas berkisar tentang para wali dan
orang-orang yang diwasiati, yaitu mereka yang dititipi anak-anak yatim, juga
tentang perintah terhadap mereka agar memperlakukan anak yatim dengan baik.
Berbicara kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya yaitu dengan halus,
baik dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan anakku, sayangku dan
sebagainya.[2]
Kemudian juga pada
surah An-Nisa ayat 8, sebagai berikut :
وَإِذَا
حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ
فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٨
Artinya :
“Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik”. (QS. An-Nisa : 8)
Dalam tafsir Al
Misbah, Quraisy Shihab menjelaskan mengenai ayat tersebut apabila sewaktu
pembagian itu hadir kerabat, anak yatim atau orang-orang miskin yang tidak
memiliki hak atas bagian itu, maka berikanlah kepada mereka secukupnya dari
bagian itu sebagai penghargaan atas mereka agar terhindar dari rasa dengki di
hati mereka dan, sebaiknya, pemberian itu disertai dengan ucapan yang baik.[3]
Didalam
surah Al-Baqarah : 235
yang berisi tentang khitbah kepada wanita juga terdapat kata qaulan ma’rufan yang diperuntukkan bagi
lelaki yang ingin melamar wanita.
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوۡ
أَكۡنَنتُمۡ فِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُونَهُنَّ
وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُواْ قَوۡلٗا
مَّعۡرُوفٗاۚ وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ
أَجَلَهُۥۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ
فَٱحۡذَرُوهُۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٞ ٢٣٥
Artinya :
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma´ruf. Dan janganlah kamu berazam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ´iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Selanjutnya di
surah yang sama ayat 263 juga dianjurkan berkata dengan perkataan yang baik
kepada si peminta. Kendatipun tidak memberikan sumbangan maka cukup dengan
perkataan yang baik agar tidak menyakiti perasaannya.
۞قَوۡلٞ مَّعۡرُوفٞ وَمَغۡفِرَةٌ خَيۡرٞ مِّن صَدَقَةٖ
يَتۡبَعُهَآ أَذٗىۗ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٞ ٢٦٣
Artinya :
“Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”
(QS. Al Baqarah : 263)
يَٰنِسَآءَ
ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا
تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا
مَّعۡرُوفٗا ٣٢
Artinya:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab :
32)
Di dalam quran surah Al-Baqarah ayat 235, qaul ma'rufa disebutkan dalam konteks
meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Surah
An-Nisa ayat 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas
harta seorang anak yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan
di Surah al-Ahzab ayat 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri
Nabi Saw.
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul
ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang
diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih); perkataan yang mengandung
penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu; Perkataan yang tidak
menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[4]
B.
Qaulan Ma’rufan Dalam
Perspektif Komunikasi
1.
Komunikasi Antarpersonal
Percakapan itu dibangun, tetapi
tidak diatur terlebih dahulu dengan cara yang sama seperti drama. Sebuah
percakapan lebih mirip sebuah improvisasi yang partisipan yang bergantung pada
ketetapan beberapa peraturan untuk mengatur kelangsungannya. Teori-teori
percakapan membantu kita melihat bagaimana pelaku komunikasi menciptakan aturan
ketika mereka berinteraksi.[5]
Kebanyakan perkataan yang baik
selama ini kita pahami sebagai ungkapan “ada maunya” saat berkomunikasi dengan
seseorang. Akan tetapi jika sudah menjadi kebiasaan si komunikator tentu akan
merefleksikan kondisi fikiran dan hatinya terhadap objek yang menjadi topik
pembicaraannya. Rentetan seperti tidak pernah ada yang mengatur, namun
diciptakan sendiri oleh pihak yang terlibat dalam proses komunikasi
antarpersonal.
Alur komunikasi yang sedang
berlangsung dalam kehidupan kita pada semua tingkatan menciptakan serangkaian
konteks yang memberikan makna terhadap percakapan tertentu. Tidak ada
percakapan yang berdiri sendiri, tetapi selalu berdasarkan sejarah dan menuju
masa depan.[6]
2.
Komunikasi Kelompok
Everett M. Rogers mengatakan
bahwa komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada
suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.[7] Untuk menguji bahwa ucapan
yang baik mampu mengubah tingkah laku pada sebuah kelompok, kita perlu melihat
sejauh mana efektivitas pesan yang disampaikan. Apakah cukup untuk
mendeskripsikan seluruh gagasan dari sumber dan mampu ditranmisikan kepada
komunikan secara maksimal. Komunikasi kelompok cenderung melihat perkataan yang
baik (qaulan ma’rufa) sebagai bentuk
adaptasi kepada anggota kelompok.
3.
Komunikasi Publik atau Retorika
Penyebaran informasi dari satu
orang kepada banyak orang disebut komunikasi publik. Hal ini bukan merupakan
konteks yang baru; berbicara di depan umum telah ada sejak zaman dulu dan terus
ada hingga saat ini. dalam berbicara di depan publik, para pembicara biasanya
memiliki tiga tujuan utama dalam benak mereka; memberi informasi, menghibur dan
membujuk.[8]
Sangat kontras bahwa keinginan
dalam berkomunikasi secara terbuka kepada banyak orang tentu memerlukan koneksi
yang intens terlebih pada penyampaikan kata-kata yang baik sehingga menerima
respon positif dari banyak orang terutama pelaku dakwah yang mentransformasikan
pesan Islam kedalam benak khalayak. Andaikan mungkin hanya sebatas mengharapkan
amplop, tentu pesan kebaikan yang disampaikan tidak mempunyai kekuatan apapun.
Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa
para da’i dan muballigh setidaknya memiliki wawasan pemikiran pengetahuan
berupa; pengetahuan agama, budaya dan sastra, sejarah, humaniora, sains dan
teknologi, dan pengetahuan realita. Kelengahan dalam mempersenjatai diri dengan
enam poin tersebut mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada retorika kita. Orang
awam pun dapat merasakan ketimpangan apalagi kaum terpelajar.[9]
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Komunikasi
Efektif dalam Al-Qur’an
Menurut Onong Uchjana Effendi komunikasi adalah proses
penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau
untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan,
ataupun tidak langsung secara media.[10]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa komunikasi
merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital dalam kehidupan
manusia. Dikatakan mendasar karena setiap manusia baik yang primitif maupun
modern berkeinginan mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai aturan
sosial melalui komunikasi. Dikatakan vital karena setiap individu memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu-individu lainnya yang dengan
demikian dapat menetapkan kredibilitasnya dalam melangsungkan kehidupannya. Manusia sebagai makhluk hidup tidak bisa untuk
tidak berkomunikasi, oleh karena itu,manusia
tidak dapat terhindar dalam interaksi sesamanya. Soal cara (kaifiyah),
dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi
berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah,
prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam. Kaidah,
prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim
dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal
dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam
aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi
Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan
(qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi
Islam, yakni (1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4)
Qaulan Karima, (5) Qaulan Layinan, dan (6) Qaulan Maysura. Namun
demikian, pada makalah ini akan dibahas hanya mengenai Qaulan Ma’rufan.
B.
Penerapan
Konsep Qaulan Ma’rufan dalam Islam
Dalam prinsip ini terdapat konsep tanggungjawab
individu dan kelompok untuk mempersiapkan generasi penerus agar menerima dan
mengamalkan ajaran Islam. Prinsip ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Ali
Imran ayat 104 yang juga mempunyai kata ma’ruf di dalamnya.
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ
أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ
عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
Artinya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali
Imran : 104)
Ayat tersebut
menjelaskan tanggung jawab muslim untuk saling membimbing satu sama lain,
khususnya individu dan lembaga yang memikul tanggungjawab kepemimpinan dan
mengembangkan cita-cita Islam. Ayat ini mengisyaratkan pula bahwa sebuah
komunikasi tidak selamanya berjalan dengan mulus, tetapi pasti ada pihak-pihak
yang merasa kurang senang dan membangkang dari apa yang dikemukakan. Oleh sebab
itu untuk menghadapi sikap seperti itu, hendaknya nasehat dan saran disampaikan
dengan cara yang bijaksana.
C.
Metode Menyampaikan Qaulan Ma’rufan
Ada beberapa cara untuk menyampaikan perkataan yang baik
sesuai dengan pedoman Islam dan merujuk dari alquran. Diantaranya adalah :[11]
1.
Hiwar
Hiwar menurut istilah
umum adalah diskusi yang berlangsung antara dua pihak atau lebih dengan tujuan
untuk meluruskan pandangan, menampilkan hujah,
menetapkan kebenaran, menghilangkan syubhat
(keragu-raguan), dan mengembalikan orang yang salah pemahamannya kepada
kebenaran.
2.
Jidal
Jidal adalah upaya
untuk merajut pendapat-pendapat yang berseberangan seperti merajut
benang-benang yang kusut. Asalnya digunakan untuk orang yang berseberangan
dengan pendapat yang kita yakini agar kembali sesuai dengan yang sebenarnya.
3.
Bayan
Bayan merupakan upaya menjelaskan
tujuan dengan pilihan kata yang paling tepat, dengan kata lain menjelaskan
maksud kepada orang yang mendengar.
4.
Tadzkir
Tadzkir bermakna
memberikan peringatan. Dengan adanya orang yang mengingatkan maka akan ada
orang yang dapat mengambil pelajaran dan akan melahirkan orang-orang yang
selalu zikir.
5.
Tabligh
Tabligh disini
berarti upaya dari seorang pembicara atau pemberi isyarat untuk menyampaikan
pesan atau maksud kepada pendengar atau orang yang diajak berkomunikasi.
6.
Tabsyir
Tabsyir artinya
menyampaikan kabar bahagia dan gembira. Tujuannya adalah memberikan motivasi
kepada orang-orang yang baik agar bertahan dalam kebaikan atau semakin
bersemangat meningkatkan kualitasnya.
7.
Indzar
Indzar berarti
menyampaikan pesan dengan cara mengingatkan yang bertujuan untuk menumbuhkan
rasa takut dan kehati-hatian, baik untuk diri komunikator maupun komunikan.
Indzar selalu berkaitan dengan mengingatkan orang lain untuk tidak melakukan
perbuatan yang merugikan mereka di masa depannya, baik didunia maupun di
akhirat.
8.
Ta’aruf
Ta’aruf bermakna
saling mengetahui atau saling mengenal tanda-tanda atau ciri-ciri orang, baik
lewat nama, cara berbicara, watak dan karakter, dan berbagai aspek lainnya.
9.
Tawashi
Tawashi artinya
bersambung. Seseorang yang memberi wasiat artinya menyambungkan apa yang
diinginkannya kepada orang lain. Orang yang sudah merasa dekat ajalnya biasanya
menyampaikan atau memberikan wasiat kepada orang yang terdekat dengannya.
10. Nasihat
Nasihat menurut
bahasa artinya jernih, murni, bersih tanpa noda. Nasihat merupakan untaian kata
yang diungkapkan buat orang yang diberi nasihat dengan harapan orang yang
diberi nasihat bertambah baik.
11. Irsyad
Irsyad artinya
mencari petunjuk ke jalan yang lurus lawan dari kata sesat. Irsyad merupakan
proses membantu seseorang dalam mengatasi permasalahan pribadinya dengan
mengarahkan dirinya untuk mengatasi masalah dirinya sendiri.
12. Wa’dz atau Mau’idzah
Wa’dz artinya
mengingatkan tentang kebaikan yang membuat hati lembut. Pesan terbaik yang
disampaikan lewat metode wa’dz atau mau’idzah adalah tentang amr (perintah) Allah dan nahy (larangan) Allah. Intinya bagaimana
komunikator mampu meyakinkan kepada komunikan akan pentingnya perintah Allah
dan bahaya menabrak aturan-Nya.
13. Idkhal al-Surur
Idkhal al-Surur
bermakna perintah membahagiakan orang lain, baik dengan kata maupun perbuatan.
Banyak cara membahagiakan sesama, diantaranya dengan mengucapkan selamat atas
kesuksesan yang diraih oleh teman, mengucapkan belasungkawa dan turut berduka
atas musibah yang menimpa saudara kita, atau menebar senyuman dan wajah ceria
saat bertemu, meringankan beban saudara saat kesusahan dan lain-lain.
D.
Qaulan Ma’rufan dalam
Komunikasi Pembangunan Islam
Betapa
pentingnya setiap pembangunan yang terjadi lewat proses inovasi di sebuah
negara berkembang. Dalam dialog kebangsaan sering disebut makna pembangunan
identik dengan kualitas pesan pembangunan yang disampaikan.
Komunikasi
pembangunan (developmental communication)
melintasi perbatasan antara komunikasi massa dan komunikasi antar pribadi.
Komunikasi ini berkaitan dengan perubahan sosial, lazimnya di negara-negara
sedang berkembang.[12]
Bidang humas di pemerintahan sering kali menjadi kaku dan
pasif saat menyampaikan pesan pembangunan dari pemerintah ke masyarakat, hal
itu disebabkan oleh penyampaian kata-kata yang kurang baik (di mengerti)
sehingga menghambat proses pembangunan dan perubahan sosial ke arah yang lebih
baik. Setelah mengkaji qaulan ma’rufan,
perlu disadari makna komunikasi pembangunan Islam tidak berjalan efektif dan
efisien tanpa berlandaskan kaidah dan nilai-nilai qaulan ma’rufan.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
melalui proses berfikir yang panjang, barulah kita mengeluarkan kata-kata yang
menurut kita baik, setidaknya itu hal terkecil yang dapat kita simpulkan saat
ini. Qaulan Ma’rufan mengajarkan
kepada kita untuk saling menghormati dan menjaga perbedaan pendapat yang
dimulai dari perkataan yang baik, proses berfikir dan kondisi hati. Pentingnya
memelihara komunikasi antarpribadi dengan metode qaulan ma’rufan akan membantu perkembangan intelektual dan sosial terhadap sesama manusia, identitas
dan jati diri seseorang akan terbentuk, lalu mampu memahami realitas kehidupan
lingkungan sosial di sekelilingnya serta dapat mempengaruhi kesehatan mental
seseorang.
Komunikasi
merupakan sebuah proses pemindahan gagasan atau informasi dari seseorang ke
orang lain dalam bentuk kata-kata dan juga dalam bentuk ekspresi wajah,
intonasi dan sebagainya. Komunikasi dapat menghubungkan antara bagian yang
berbeda itu yang disebut rantai pertukaran informasi.[13]
Untuk mendapatkan kehidupan bahagia dan selamat syarat
utamanya adalah perkataan yang baik, menjaga komunikasi di lingkungan sosial
serta menerima perbedaan. Siapapun yang menempatkan dirinya untuk senantiasa
berkata dengan perkataan yang baik maka karakter dan perilakunya akan menjadi
baik.
B.
Saran
Dewasa ini sangat dibutuhkan literatur yang memadai dalam
cakupan komunikasi pembangunan Islam khususnya membahas metode penyampaian
pesan komunikasi pembangunan dengan pendekatan nilai-nilai Islam. Semoga
makalah qaulan ma’rufan mampu menjadi
titik awal pengkajian pesan komunikasi pembangunan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Razi, Faqruddin, “At-Tafsir al-Kabir”, (Beirut:
Dar al-Fikr, jilid 9:1995)
Deddy Mulyana “Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar”,
(Remaja Rosdakarya : Bandung,
2013)
Edi Harapan & Syarwani Ahmad,
“Komunikasi Antar Pribadi Perilaku Insani
Dalam
Organisasi Pendidikan” (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014)
Harjani Hefni, “Komunikasi Islam” (Prenadamedia Group :
Jakarta, 2015)
Jalaluddin Rahmat, “Makalah
Seminar : Etika Komunikasi Perspektif Religi”, (Perpustakaan
Nasional : Jakarta, 18 Mei 1996)
Little John,
Stephen W & Karen A. Foss. “Teori Komunikasi (Theories
Of Human
Communication) Edisi 9”.
(Salemba Humanika : Jakarta, 2009)
Maraghi, Mustafa, “Tarjamah Singkat Tafsir Al-Maraghi, terjemahan Noer
Aly, Bahrun Abu
Bakar”, (PT.
Toha Putera : Semarang, 1988)
Onong Uchjana Efendi, “Dinamika Komunikasi” (Cet. II; Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1992)
Richard West, Lynn H.Turner. “Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi
(Buku 1)
(Edisi 3)” (Salemba Humanika : Jakarta, 2008)
Shihab, Quraisy, Tafsir Al-Misbah, Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati,
Jakarta, 2000.
Sumadi Dilla, “Komunikasi Pembangunan Pendekatan Terpadu”,
(Simbiosa Rekatama
Media
: Bandung, 2007)
Yusuf Qaradhawi, “Retorika Islam : Bagaimana Seharusnya
Menampilkan Wajah Islam”
(Pustaka
Al-Kautsar : Jakarta, 2004)
[1] Jalaluddin Rahmat, “Makalah Seminar :
Etika Komunikasi Perspektif Religi”, (Perpustakaan Nasional
:
Jakarta, 18 Mei 1996)
[2] Maraghi, Mustafa, “Tarjamah Singkat Tafsir
Al-Maraghi, terjemahan Noer Aly, Bahrun Abu Bakar”, (PT. Toha Putera : Semarang, 1988) hlm. 347
[3] Shihab, Quraisy, Tafsir
Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2000.
H.332
[5] Little John, Stephen W &
Karen A. Foss. “Teori Komunikasi (Theories Of Human Communication) Edisi 9”. (Salemba Humanika : Jakarta, 2009). hlm.270
[8] Richard West, Lynn
H.Turner. “Pengantar
Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Buku 1) (Edisi 3)”
(Salemba Humanika : Jakarta,
2008), hlm. 40
[9] Yusuf
Qaradhawi, “Retorika Islam : Bagaimana
Seharusnya Menampilkan Wajah Islam” (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta, 2004),
hlm. 33
[10] Onong Uchjana Efendi, “Dinamika Komunikasi”
(Cet. II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 4-5
[12] Sumadi Dilla, “Komunikasi Pembangunan Pendekatan Terpadu”,
(Simbiosa Rekatama Media : Bandung, 2007), hlm.vii
[13] Edi Harapan
& Syarwani Ahmad, “Komunikasi Antar
Pribadi Perilaku Insani Dalam Organisasi Pendidikan” (Raja Grafindo Persada
: Jakarta, 2014), hlm. 42
0 komentar:
Post a Comment