Music

Sunday, 4 December 2016

Makalah Qaulan Ma'rufan

BAB I
PENDAHULUAN

Mengkaji istilah “perkataan yang baik” menjadi sesuatu yang jarang sekali kita temui pada hari ini, terlebih dalam output pendidikan kita yang belum menekankan aspek kedewasaan berbicara dengan perkataan yang baik. Sebagai bukti, kita bisa survei pada generasi muda yang saat selepas sekolah akan bergaul dengan temannya sambil nongkrong di sebuah warung, dengan asap rokok yang mengepul dari mulutnya, mereka tak segan-segan berbicara dengan mengucapkan kata-kata kotor, sungguh ini adalah realita dilapangan.
Seperti itu pula tayangan-tayangan televisi yang mengajarkan perilaku negatif dan kurang mendidik untuk mempersempit pemikiran generasi muda dalam bersosialisasi. Dalam agama Islam, tidak memperbolehkan hal tersebut bahkan dilarang sepenuhnya, sebab berkata-kata yang baik dan berusaha untuk mencari teman yang baik sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dengan begitu, secara rinci kita akan memahami bagaimana Islam merumuskan pola komunikasi yang baik dengan sesama manusia dengan tujuan membangun manusia yang beradab serta konstruksi ideologi berfikir dan berbicara sesuai dengan tata aturan nilai-nilai Islam.
Adapun pembahasan yang belum selesai untuk diperbincangkan adalah soal bagaimana penerapan nilai-nilai Islam tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam bidang komunikasi Islam. Semua ini saling berkaitan satu sama lain antara proses berfikir, kondisi hati dan ucapan lisan. Ketika seseorang hendak mengucapkan kata-kata tentu ia melalui proses berfikir dan dipengaruhi oleh kondisi hati. Sebagai contoh kasus penistaan agama yang saat tengah merebak dikalangan umat muslim adalah bentuk proses berfikir yang tidak jernih dan kondisi hati yang sangat membenci Islam sehingga melahirkan perkataan yang kurang baik untuk dikonsumsi oleh khalayak.
Disamping mendasarkan kepada tiga aspek diatas, qaulan ma’rufan juga dipengaruhi oleh pemahaman situasi dan motivasi (dorongan) dari si Komunikator yang pada saat bersamaan harus mengenali audiens nya serta arah pembicaraan yang ingin ia tuju. Problematika komunikasi hari ini yang masih belum selesai yakni mengenai kemampuan si komunikator untuk mengenali audiens nya guna pesan-pesan yang ia sampaikan akan diterima dan dimengerti dengan baik. Sebab perkataan yang baik belum tentu bersifat baik bagi sekelompok audiens namun bisa jadi sebaliknya. Untuk itu, setiap komunikator dituntut untuk cerdas dalam menjelaskan maksud dan tujuan ia berbicara dengan fokus tanpa basa-basi, walaupun tetap berorientasi pada qaulan ma’rufan.
A.                Pengertian Qaulan Ma’rufan
Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah. qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material,kita harus dapat membantu psikologi.[1]
Qaulan Ma’rufan juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman, perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.
Berikut adalah ayat-ayat yang memuat kata Qaulan Ma`rufan yang disebutkan Allah dalam QS. An-Nisa’ : 5
وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٥
Artinya :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
Dalam Tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwasanya ayat di atas berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati, yaitu mereka yang dititipi anak-anak yatim, juga tentang perintah terhadap mereka agar memperlakukan anak yatim dengan baik. Berbicara kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anaknya yaitu dengan halus, baik dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan anakku, sayangku dan sebagainya.[2]
Kemudian juga pada surah An-Nisa ayat 8, sebagai berikut :
وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٨
Artinya :
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”. (QS. An-Nisa : 8)
Dalam tafsir Al Misbah, Quraisy Shihab menjelaskan mengenai ayat tersebut apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim atau orang-orang miskin yang tidak memiliki hak atas bagian itu, maka berikanlah kepada mereka secukupnya dari bagian itu sebagai penghargaan atas mereka agar terhindar dari rasa dengki di hati mereka dan, sebaiknya, pemberian itu disertai dengan ucapan yang baik.[3]
            Didalam surah Al-Baqarah : 235 yang berisi tentang khitbah kepada wanita juga terdapat kata qaulan ma’rufan yang diperuntukkan bagi lelaki yang ingin melamar wanita.
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوۡ أَكۡنَنتُمۡ فِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُواْ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗاۚ وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ أَجَلَهُۥۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٞ ٢٣٥
Artinya :
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma´ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ´iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Selanjutnya di surah yang sama ayat 263 juga dianjurkan berkata dengan perkataan yang baik kepada si peminta. Kendatipun tidak memberikan sumbangan maka cukup dengan perkataan yang baik agar tidak menyakiti perasaannya.
۞قَوۡلٞ مَّعۡرُوفٞ وَمَغۡفِرَةٌ خَيۡرٞ مِّن صَدَقَةٖ يَتۡبَعُهَآ أَذٗىۗ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٞ ٢٦٣
Artinya :
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Baqarah : 263)
يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٣٢
Artinya:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab : 32)
Di dalam quran surah Al-Baqarah ayat 235, qaul ma'rufa disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Surah An-Nisa ayat 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum me­man­faatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Surah al-Ahzab ayat 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih); perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu; Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[4]
B.                Qaulan Ma’rufan Dalam Perspektif Komunikasi
1.      Komunikasi Antarpersonal
Percakapan itu dibangun, tetapi tidak diatur terlebih dahulu dengan cara yang sama seperti drama. Sebuah percakapan lebih mirip sebuah improvisasi yang partisipan yang bergantung pada ketetapan beberapa peraturan untuk mengatur kelangsungannya. Teori-teori percakapan membantu kita melihat bagaimana pelaku komunikasi menciptakan aturan ketika mereka berinteraksi.[5]
Kebanyakan perkataan yang baik selama ini kita pahami sebagai ungkapan “ada maunya” saat berkomunikasi dengan seseorang. Akan tetapi jika sudah menjadi kebiasaan si komunikator tentu akan merefleksikan kondisi fikiran dan hatinya terhadap objek yang menjadi topik pembicaraannya. Rentetan seperti tidak pernah ada yang mengatur, namun diciptakan sendiri oleh pihak yang terlibat dalam proses komunikasi antarpersonal.
Alur komunikasi yang sedang berlangsung dalam kehidupan kita pada semua tingkatan menciptakan serangkaian konteks yang memberikan makna terhadap percakapan tertentu. Tidak ada percakapan yang berdiri sendiri, tetapi selalu berdasarkan sejarah dan menuju masa depan.[6]
2.      Komunikasi Kelompok
Everett M. Rogers mengatakan bahwa komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.[7] Untuk menguji bahwa ucapan yang baik mampu mengubah tingkah laku pada sebuah kelompok, kita perlu melihat sejauh mana efektivitas pesan yang disampaikan. Apakah cukup untuk mendeskripsikan seluruh gagasan dari sumber dan mampu ditranmisikan kepada komunikan secara maksimal. Komunikasi kelompok cenderung melihat perkataan yang baik (qaulan ma’rufa) sebagai bentuk adaptasi kepada anggota kelompok.
3.      Komunikasi Publik atau Retorika
Penyebaran informasi dari satu orang kepada banyak orang disebut komunikasi publik. Hal ini bukan merupakan konteks yang baru; berbicara di depan umum telah ada sejak zaman dulu dan terus ada hingga saat ini. dalam berbicara di depan publik, para pembicara biasanya memiliki tiga tujuan utama dalam benak mereka; memberi informasi, menghibur dan membujuk.[8]
Sangat kontras bahwa keinginan dalam berkomunikasi secara terbuka kepada banyak orang tentu memerlukan koneksi yang intens terlebih pada penyampaikan kata-kata yang baik sehingga menerima respon positif dari banyak orang terutama pelaku dakwah yang mentransformasikan pesan Islam kedalam benak khalayak. Andaikan mungkin hanya sebatas mengharapkan amplop, tentu pesan kebaikan yang disampaikan tidak mempunyai kekuatan apapun.
Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa para da’i dan muballigh setidaknya memiliki wawasan pemikiran pengetahuan berupa; pengetahuan agama, budaya dan sastra, sejarah, humaniora, sains dan teknologi, dan pengetahuan realita. Kelengahan dalam mempersenjatai diri dengan enam poin tersebut mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada retorika kita. Orang awam pun dapat merasakan ketimpangan apalagi kaum terpelajar.[9]
BAB 2
PEMBAHASAN

A.                Komunikasi Efektif dalam Al-Qur’an
Menurut Onong Uchjana Effendi komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan, ataupun tidak langsung secara media.[10]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia. Dikatakan mendasar karena setiap manusia baik yang primitif maupun modern berkeinginan mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai aturan sosial melalui komunikasi. Dikatakan vital karena setiap individu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu-individu lainnya yang dengan demikian dapat menetapkan kredibilitasnya dalam melangsungkan kehidupannya. Manusia sebagai makhluk hidup tidak bisa untuk tidak berkomunikasi, oleh karena itu,manusia tidak dapat terhindar dalam interaksi sesamanya. Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.  Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni (1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5) Qaulan Layinan, dan (6) Qaulan Maysura. Namun demikian, pada makalah ini akan dibahas hanya mengenai Qaulan Ma’rufan.
B.            Penerapan Konsep Qaulan Ma’rufan dalam Islam
Dalam prinsip ini terdapat konsep tanggungjawab individu dan kelompok untuk mempersiapkan generasi penerus agar menerima dan mengamalkan ajaran Islam. Prinsip ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 104 yang juga mempunyai kata ma’ruf di dalamnya.
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
Artinya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran : 104)
 Ayat tersebut menjelaskan tanggung jawab muslim untuk saling membimbing satu sama lain, khususnya individu dan lembaga yang memikul tanggungjawab kepemimpinan dan mengembangkan cita-cita Islam. Ayat ini mengisyaratkan pula bahwa sebuah komunikasi tidak selamanya berjalan dengan mulus, tetapi pasti ada pihak-pihak yang merasa kurang senang dan membangkang dari apa yang dikemukakan. Oleh sebab itu untuk menghadapi sikap seperti itu, hendaknya nasehat dan saran disampaikan dengan cara yang bijaksana.
C.           Metode Menyampaikan Qaulan Ma’rufan
Ada beberapa cara untuk menyampaikan perkataan yang baik sesuai dengan pedoman Islam dan merujuk dari alquran. Diantaranya adalah :[11]
1.      Hiwar
Hiwar menurut istilah umum adalah diskusi yang berlangsung antara dua pihak atau lebih dengan tujuan untuk meluruskan pandangan, menampilkan hujah, menetapkan kebenaran, menghilangkan syubhat (keragu-raguan), dan mengembalikan orang yang salah pemahamannya kepada kebenaran.
2.      Jidal
Jidal adalah upaya untuk merajut pendapat-pendapat yang berseberangan seperti merajut benang-benang yang kusut. Asalnya digunakan untuk orang yang berseberangan dengan pendapat yang kita yakini agar kembali sesuai dengan yang sebenarnya.
3.      Bayan
Bayan merupakan upaya menjelaskan tujuan dengan pilihan kata yang paling tepat, dengan kata lain menjelaskan maksud kepada orang yang mendengar.



4.      Tadzkir
Tadzkir bermakna memberikan peringatan. Dengan adanya orang yang mengingatkan maka akan ada orang yang dapat mengambil pelajaran dan akan melahirkan orang-orang yang selalu zikir.
5.      Tabligh
Tabligh disini berarti upaya dari seorang pembicara atau pemberi isyarat untuk menyampaikan pesan atau maksud kepada pendengar atau orang yang diajak berkomunikasi.
6.      Tabsyir
Tabsyir artinya menyampaikan kabar bahagia dan gembira. Tujuannya adalah memberikan motivasi kepada orang-orang yang baik agar bertahan dalam kebaikan atau semakin bersemangat meningkatkan kualitasnya.
7.      Indzar
Indzar berarti menyampaikan pesan dengan cara mengingatkan yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa takut dan kehati-hatian, baik untuk diri komunikator maupun komunikan. Indzar selalu berkaitan dengan mengingatkan orang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan mereka di masa depannya, baik didunia maupun di akhirat.
8.      Ta’aruf
Ta’aruf bermakna saling mengetahui atau saling mengenal tanda-tanda atau ciri-ciri orang, baik lewat nama, cara berbicara, watak dan karakter, dan berbagai aspek lainnya.
9.      Tawashi
Tawashi artinya bersambung. Seseorang yang memberi wasiat artinya menyambungkan apa yang diinginkannya kepada orang lain. Orang yang sudah merasa dekat ajalnya biasanya menyampaikan atau memberikan wasiat kepada orang yang terdekat dengannya.
10.  Nasihat
Nasihat menurut bahasa artinya jernih, murni, bersih tanpa noda. Nasihat merupakan untaian kata yang diungkapkan buat orang yang diberi nasihat dengan harapan orang yang diberi nasihat bertambah baik.
11.  Irsyad
Irsyad artinya mencari petunjuk ke jalan yang lurus lawan dari kata sesat. Irsyad merupakan proses membantu seseorang dalam mengatasi permasalahan pribadinya dengan mengarahkan dirinya untuk mengatasi masalah dirinya sendiri.
12.  Wa’dz atau Mau’idzah
Wa’dz artinya mengingatkan tentang kebaikan yang membuat hati lembut. Pesan terbaik yang disampaikan lewat metode wa’dz atau mau’idzah adalah tentang amr (perintah) Allah dan nahy (larangan) Allah. Intinya bagaimana komunikator mampu meyakinkan kepada komunikan akan pentingnya perintah Allah dan bahaya menabrak aturan-Nya.
13.  Idkhal al-Surur
Idkhal al-Surur bermakna perintah membahagiakan orang lain, baik dengan kata maupun perbuatan. Banyak cara membahagiakan sesama, diantaranya dengan mengucapkan selamat atas kesuksesan yang diraih oleh teman, mengucapkan belasungkawa dan turut berduka atas musibah yang menimpa saudara kita, atau menebar senyuman dan wajah ceria saat bertemu, meringankan beban saudara saat kesusahan dan lain-lain.
D.           Qaulan Ma’rufan dalam Komunikasi Pembangunan Islam
Betapa pentingnya setiap pembangunan yang terjadi lewat proses inovasi di sebuah negara berkembang. Dalam dialog kebangsaan sering disebut makna pembangunan identik dengan kualitas pesan pembangunan yang disampaikan.
Komunikasi pembangunan (developmental communication) melintasi perbatasan antara komunikasi massa dan komunikasi antar pribadi. Komunikasi ini berkaitan dengan perubahan sosial, lazimnya di negara-negara sedang berkembang.[12]
Bidang humas di pemerintahan sering kali menjadi kaku dan pasif saat menyampaikan pesan pembangunan dari pemerintah ke masyarakat, hal itu disebabkan oleh penyampaian kata-kata yang kurang baik (di mengerti) sehingga menghambat proses pembangunan dan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Setelah mengkaji qaulan ma’rufan, perlu disadari makna komunikasi pembangunan Islam tidak berjalan efektif dan efisien tanpa berlandaskan kaidah dan nilai-nilai qaulan ma’rufan.
BAB 3
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Setelah melalui proses berfikir yang panjang, barulah kita mengeluarkan kata-kata yang menurut kita baik, setidaknya itu hal terkecil yang dapat kita simpulkan saat ini. Qaulan Ma’rufan mengajarkan kepada kita untuk saling menghormati dan menjaga perbedaan pendapat yang dimulai dari perkataan yang baik, proses berfikir dan kondisi hati. Pentingnya memelihara komunikasi antarpribadi dengan metode qaulan ma’rufan akan membantu perkembangan intelektual  dan sosial terhadap sesama manusia, identitas dan jati diri seseorang akan terbentuk, lalu mampu memahami realitas kehidupan lingkungan sosial di sekelilingnya serta dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang.
Komunikasi merupakan sebuah proses pemindahan gagasan atau informasi dari seseorang ke orang lain dalam bentuk kata-kata dan juga dalam bentuk ekspresi wajah, intonasi dan sebagainya. Komunikasi dapat menghubungkan antara bagian yang berbeda itu yang disebut rantai pertukaran informasi.[13]
Untuk mendapatkan kehidupan bahagia dan selamat syarat utamanya adalah perkataan yang baik, menjaga komunikasi di lingkungan sosial serta menerima perbedaan. Siapapun yang menempatkan dirinya untuk senantiasa berkata dengan perkataan yang baik maka karakter dan perilakunya akan menjadi baik.
B.            Saran
Dewasa ini sangat dibutuhkan literatur yang memadai dalam cakupan komunikasi pembangunan Islam khususnya membahas metode penyampaian pesan komunikasi pembangunan dengan pendekatan nilai-nilai Islam. Semoga makalah qaulan ma’rufan mampu menjadi titik awal pengkajian pesan komunikasi pembangunan dalam Islam.





DAFTAR PUSTAKA
Al-Razi, Faqruddin, “At-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr,  jilid 9:1995)
Deddy Mulyana “Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar”, (Remaja Rosdakarya : Bandung,
2013)
Edi Harapan & Syarwani Ahmad, “Komunikasi Antar Pribadi Perilaku Insani Dalam
Organisasi Pendidikan” (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014)
Harjani Hefni, “Komunikasi Islam” (Prenadamedia Group : Jakarta, 2015)
Jalaluddin Rahmat, “Makalah Seminar : Etika Komunikasi Perspektif Religi”,  (Perpustakaan
Nasional : Jakarta, 18 Mei 1996)
Little John, Stephen W & Karen A. Foss. Teori Komunikasi (Theories Of Human
Communication) Edisi 9. (Salemba Humanika : Jakarta, 2009)
Maraghi, Mustafa, Tarjamah Singkat Tafsir Al-Maraghi, terjemahan Noer Aly, Bahrun Abu
Bakar, (PT. Toha Putera : Semarang, 1988)
Onong Uchjana Efendi, Dinamika Komunikasi (Cet. II; Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1992)
Richard West, Lynn H.Turner. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Buku 1)
(Edisi 3) (Salemba Humanika : Jakarta, 2008)
Shihab, Quraisy, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati,
Jakarta, 2000.
Sumadi Dilla, “Komunikasi Pembangunan Pendekatan Terpadu”, (Simbiosa Rekatama
Media : Bandung, 2007)
Yusuf Qaradhawi, “Retorika Islam : Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam”
(Pustaka Al-Kautsar : Jakarta, 2004)




[1] Jalaluddin Rahmat, “Makalah Seminar : Etika Komunikasi Perspektif Religi”,  (Perpustakaan Nasional : Jakarta, 18 Mei 1996)
[2] Maraghi, Mustafa, Tarjamah Singkat Tafsir Al-Maraghi, terjemahan Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, (PT. Toha Putera : Semarang, 1988) hlm. 347
[3] Shihab, Quraisy, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2000. H.332
[4] Al-Razi, Faqruddin, “At-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr,  jilid 9:1995), hlm. 152.
[5] Little John, Stephen W & Karen A. Foss. Teori Komunikasi (Theories Of Human Communication) Edisi 9. (Salemba Humanika : Jakarta, 2009). hlm.270
[6] Ibid, hlm.271
[7] Deddy Mulyana “Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar”, (Remaja Rosdakarya : Bandung, 2013), hlm.69
[8] Richard West, Lynn H.Turner. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Buku 1) (Edisi 3) (Salemba Humanika : Jakarta, 2008), hlm. 40
[9] Yusuf Qaradhawi, “Retorika Islam : Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam” (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta, 2004), hlm. 33
[10] Onong Uchjana Efendi, Dinamika Komunikasi (Cet. II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 4-5
[11] Harjani Hefni, “Komunikasi Islam” (Prenadamedia Group : Jakarta, 2015), hlm.122-153
[12] Sumadi Dilla, “Komunikasi Pembangunan Pendekatan Terpadu”, (Simbiosa Rekatama Media : Bandung, 2007), hlm.vii
[13] Edi Harapan & Syarwani Ahmad, “Komunikasi Antar Pribadi Perilaku Insani Dalam Organisasi Pendidikan” (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014), hlm. 42

0 komentar:

Post a Comment