BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang
penting.Modal tersebut dapat bersifat material, atau immaterial (skill, trust,
dan sebagainya). Untuk memenuhi kebutuhan modal, seorang pengusaha bisa
menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti bank dengan
akad qardhun. Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan
beberapa syarat, di antaranya kelayakan usaha, adanya kepercayaan (trust),
dan adanya jaminan.
Berkaitan dengan jaminan ini, dapat dibedakan dalam jaminan
perorangan (personal guarantie) dan jaminan kebendaan.Jaminan perorangan
adalah suatu perjanjian antara seorang yang memberikan hutang/kreditor (makful
lahu) dengan seorang pihak ketiga sebagai penjamin (kafil) yang
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang/debitor (makful
‘anhu). Jaminan ini bahkan dapat diadakan di luar atau tanpa sepengetahuan
si berhutang tersebut (debitor). Sedangkan jaminan kebendaan dapat
diadakan antara kreditor (pemberi hutang) dengan debitornya
(Peminjam), tetapi juga dapat diadakan antara kreditor dengan seorang
pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban
-kewajiban si berhutang (debitor).Soal jaminan, sebagaimana tersebut di atas, di dalam ajaran Islam dikenal dengan konsep kafalah yang termasuk juga di dalam jenis dhamman (tanggungan).
-kewajiban si berhutang (debitor).Soal jaminan, sebagaimana tersebut di atas, di dalam ajaran Islam dikenal dengan konsep kafalah yang termasuk juga di dalam jenis dhamman (tanggungan).
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan kafalah?
2. Apa
rukun dan syarat kafalah?
3. Bagaimana
pelaksanaan kafalah?
4. Bagaimana
aplikasi kafalah dalam perbankan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan kafalah
2. Untukmengetahui
apa rukun dan syarat kafalah
3. Untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan kafalah
4. Untuk
mengetahui bagaimana aplikasi kafalah dalam perbankan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Kafalah
Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان (jaminan), الحمالة (beban), dan الزعامة (tanggungan).
Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama
fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah, "Menggabungkan dua
tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain adalah, "Jaminan
yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yaitu pihak
yang memberikan hutang/kreditor(makful lahu) untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau yang
ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Dr Muhammad
Tahir Mansuri menyebutkan defenisi kafalah dalam buku ‘Islamic Law of Contracts
and business Transaction’, “as merging
of one liability with another in respcct of and for performance of an obligation”. [1]
Pada asalnya, kafalah
adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana
tersebut di atas.Namun dalam perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalah
al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman
identik dengan jaminan yang berbentuk barang/harta benda.[2]
Dalam buku “Ekonomi
Syariah Versi Salaf “ Kafalah memilki definisi secara lebih terssusun dan
jelas sebagai kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban orang
lain , kesanggupan untuk mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk
menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang lain . dalam dalam
buku Ekonomi Syariah Versi Salaf itu juga kembali disimpulkan menjadi
tiga bagian, yaitu:
a. Kafalah adalah
akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk menngganti atau menanggung
kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi
kewajibannnya.
b. kafalah sebagai
akad yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk menanggung
hukuman yang seharuasnya diberikan kepada sang terhukum dengan menghadirkan
dirinya atau disebut juga sebagai kafalah An Nafs
c.
kafalah
yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang dalam mengembalikan ‘ain
madhmunah peda orang yang berhak.[3]
B.
Landasan Hukum Kafalah
1.
Al-Qur’an
Penyeru-penyeru itu berkata:
"Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."
(Surah Yusuf : 72 )
Dalam tafsir
Aisarut Tafasir disebutkan bahwa Para
pembantu raja menjawab, "Kami sedang mencari bejana tempat minum raja.
Kami akan memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat
beban unta." Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan
berkata, "Aku menjamin janji ini."[4]
Ibnu Abbas berkata bahwa yang
dimaksud dengan za’im dalam ayat ini adalah kafiil penjamin.[5]
2.
Hadits
Jabir bin Abdullah ra. Berkata:
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا,
فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى,
ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ,
فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ:
اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ
اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ
) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ
اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
|
|
Jabir
Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal
dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya.
Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami
tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa
langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami
menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang
tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi
tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia
menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i.
Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.[6]
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits
ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar.Di dalam
riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ
attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari
Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah,
“Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut
terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu
Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?”
Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.”
Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR
al-Hakim).[7]
C.
Hikmah
Kafalah
( jaminan) merupakan salah satu ajaran Islam. Jaminan pada hakikatnya usaha
untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua orang yang melakukan sebuah
transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah adalah asuaransi. Jaminan atau
asuaransi telah disyariatkan oleh Islam ribuan tahun silam. Ternyata, untuk
masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting, tidak pernah dilepaskan
dalam bentuk transaksi seperti uang apalagi transaksi besar seperti bank dan
sebagainya. Hikmah yang dapat diambil adalah kafalah mendatangkan sikap tolong
menolong, keamanan, kenyamanan, dan kepastian dalam bertransaksi. Wahbah
Zuhaily mencatat hikmah tasry dari kafalah untuk memperkuat hak, merealisasikan
sifat tolong menolong, mempermudah transaksi dalam pembayaran utang, harta dan
pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang
yang dipinjamkan kepada orang lain atau benda yang dipinjam.[8]
D.
Rukun
dan Syarat al-Kafalah
Adapun
rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih
terdiri atas:
- Pihak penjamin/penanggung (kafil, dhamin, za’im), dengan syaratbaligh(dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
- Pihak yang berhutang/yang dijamin(makful 'anhu, 'ashil, madhmun’anhu), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
- Pihak yang berpiutang/yang menerima jaminan (makful lahu, madhmun lahu),dengan syaratdiketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
- Obyek jaminan (makful bih,madhmun bih),merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa utang, benda, orang maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai,jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).
- Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz ijab dan kabul itu berarti menjamin.
- Tidak bertentangan dengan syariat Islam.[9]
E.
Macam-Macam
Kafalah
1.
Kafalah
Bi Al-Mal,
adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk kafalah ini
merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada
para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2.
Kafalah
Bi An-Nafs,
adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat bertindak
sebagai Juridical Personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan
tertentu.[10]
3.
Kafalah
Bi At-Taslim,
adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada
saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh
bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan,
leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan,
dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee kepada nasabah
tersebut.
4.
Kafalah
Al-Munjazah,
adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk tujuan/kepentingan
tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk
performance bond (jaminan prestasi).
5.
Kafalah
Al-Mu’allaqah,
Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana
jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.[11]
F.
Kebolehan
dan Batas Tanggung Jawab Penanggung (Kafil)
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh
apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut
hak manusia).Misalnya menanggung orang yang mendapat hukuman Qishas.
Hukuman itu merupakan tanggung jawab yang hampir sama dengan tanggung jawab
atas harta benda. Maksud menanggung disini adalah, menanggung orangnya agar
tidak melarikan diri menghindari hukuman, bukan menanggung hukuman atas orang
itu.
Menanggung orang yang dihukum, akibat dosa terhadap hak
Allah SWT yaitu hudud tidaklah sah.Hudud adalah sanksi terhadap
suatu kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ guna mencegah
kemaksiyatan yang serupa.Misalnya, dihukum karena berzina, homoseksual, menuduh
berzina, meminum khamar, murtad, pembegal, dan mencuri.Bahkan kita
diperintahkan untuk menghalangi perbuatan-perbuatan tersebut serta
memberantasnya sekuat tenaga. Nabi Saw., bersabda :
“Tidak ada kafalah dalam had” (HR. Al-Baihaqi)[12]
Jika orang yang ditanggung (yang akan dihukum) meninggal
dunia, orang yang menanggung tidak dikenai hukuman hudud , seperti apa
yang sedianya akan dijatuhkan kepada orang yang ditanggung. Ia tidak harus
menggantikannya sebagaimana kalau menanggung harta benda.[13]
G.
Pembayaran
Kafil (Orang Yang Menjamin)
Apabila orang yang menjamin (dhamin/kafil) memenuhi
kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan pembayaran itu atas
perintah/izin makful ‘anhu. Maka ia boleh meminta kembali uang dengan
jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin (makful ‘anhu). Dalam hal
ini keempat imam madzhab bersepakat.
Namun mereka berbeda pendapat, apabila penjamin (kafil)
sudah membayar hutang/beban orang yang ia jamin (makful ‘anhu) tanpa
perintah/izin orang yang dijamin. Menurut as-Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa
membayar hutang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, penjamin (kafil)
tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful
‘anhu). Contohnya seperti kasus Abu Qatadah ra.yang membayar hutang si
mayit. Menurut Mazhab Maliki, penjamin (kafil) berhak menagih kembali
kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu).Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafil/dhamin
tidak berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu)
atas apa yang telah dia bayarkan, baik dengan perintah/izin makful ‘anhu maupun
tidak. Kecuali orang yang dijamin meminta diqardhunkan (aqad hutang ke
penjamin). Dan itu berarti si penjamin boleh menagih kembali atas apa yang dia
bayarkan.[14]
H.
Fatwa DSN
Tentang Kafalah
Ketentuan
hukum dalam fatwa DSN MUI no. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah ini
adalah sebagai berikut :
Pertama : Ketentuan Umum
Kafalah
1.
Pernyataan ijab
dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka
dalam mengadakan kontrak (akad).
2.
Dalam akad
kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3.
Kafalah dengan
imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan
Syarat Kafalah
1.
Pihak Penjamin
(Kafiil)
a.
Baligh (dewasa)
dan berakal sehat.
b.
Berhak penuh
untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan
tanggungan kafalah tersebut.
2.
Pihak Orang
yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.
Sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b.
Dikenal oleh
penjamin.
3.
Pihak Orang
yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a.
Diketahui
identitasnya.
b.
Dapat hadir
pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c.
Berakal sehat.
4.
Obyek
Penjaminan (Makful Bihi)
a.
Merupakan
tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan.
b.
Bisa
dilaksanakan oleh penjamin.
c.
Harus merupakan
piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
d.
Harus jelas
nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e.
Tidak
bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[15]
I.
Penerapan
al-Kafalah dalam Perbankan Syariah
Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah
dapat diaplikasikan dalam bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih dahulu
diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil
analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut.
Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif
baik berupa komitmen maupun kontinjen.
Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan
prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of
credit. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang
terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih amandan terjamin, sehingga
adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank
berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah
wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga
akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka
terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan
kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka.[16]
Bank Garansi
Bank
garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan pernyataan tertulis untuk
mengikatkan diri kepada penerima jaminan (pemilik proyek) apabila di kemudian
hari pihak yang dijamin (pengelola proyek) tidak memenuhi kewajibannya
kepada penerima jaminan (pemilik proyek) sesuai dengan jangka waktu dan
syarat-syarat yang telah ditentukan.Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga
pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah pengelola proyek sebagai yang dijamin atas permintaannya, dan
penerima jaminan (pemilik proyek).
Bank
dalam pemberian garansi ini, biasanya meminta kepada nasabah
pengelola proyek setoran jaminan sejumlah tertentu
(sebagian atau seluruhnya) dari total nilaiobyek
yang dijaminkan. Bank juga dapat mensyaratkan nasabah pengelola proyek untuk
menempatkan sejumlah dananya sebagai rahn.Bank dapat pula menerima dana
tersebut dengan prinsip wadi’ah/titipan.Karena hal tersebut,
bank boleh mendapatkan pengganti biaya gaji karyawan bank dan biaya
administrasi.
Surat garansi yang dikeluarkan oleh bank garansi dapat di
bagi menjadi enam bentuk surat penjaminan garansi yang dikeluarkan oleh bank
penjamin kepada yang dijamin agar proyek usaha atau bisnisnya bisa selesai
berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati dengan pemilik proyek .
1.
Bid
Bond. Secara
umum bid bond penngertiannya sama dengan penjabaran arti dsan makna dari bank
garansi di atas . yakin bank sebagai pihak penjamin mengeluarkan jaminan atas
permintaan nasabah untuk kepentingan pemilik proyek agar pengerjaan proyek tadi
dapat selesai dengan seksama dan sesuai dengan kesepakatan yang telah
ditentukan di awal
2.
Performance
Bond.Hampir
sama dengan bid bond Jaminan yang diberikan oleh bank penjamin atas permintaan
nasabah untuk kepentingan pihak pemilik proyek . hanya saja dalam Permormance
Bond justru dsengaja ditekankan kepada pihak yang mengelola proyek terikat
dengan kontrak dan hal ini juga menyebabkan pihak yang mengelola proyek tyadi
bisa dengan aman dan nyaman serta sungguh-sungguh dalam pengerjaan proyek yang
tentunya pihak pengelola sangat ditekankan tanggung jawabnya kepada kepada
pemilik proyek
3.
Advance
Payment Bond. Hampir
sama dengan dua penjelasan di atas hanya saja yang menjadi perbedaannya antara
bank penjamin , pihak yang dijamin , dan pihak yang terjmain adalah pembayaran
di awal muka atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor
4.
Rentention
Bond.Jaminan
yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabah sebagai madhmun lahu untuk
kepentingan pemilik proyek yang menjadi mitra kerja nasabah . Ia berkaitan
dengan pemeliharaan hasil pekerjaan /proyek sampai batas waktu yang telah
diperjanjikan kontark kerja
5.
Custom
Bond. Berkaitan
erat dengan penangguhan bea masuk atas barang=-barang impor yang dimintakan
penangguhan pembayarannya apanila memnuhi syarat-syarat yang ditetapkan
penangguhan pembayarannnya.
6.
Shipping
Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan
nasabahnya, sehubungan dengan pengeluaran barang-barang impor dari
pelabuhan/maskapai pelayaran, sebelum datangnya dokumen impor yang asli dari
bank yang melakukan negosiasi.[17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (yang menerima
jaminan) (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (pihak yang
dijamin) (makful ‘anhu, ashil). Akad
ini berlandaskan dalil baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan memiliki
rukun-rukun yang harus dipenuhi.
Secara garis besar, kafalah dibagi menjadi dua bagian
yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bin-nafs) dan kafalah dengan
harta (kafalah bil-maal).
Kafalah dapat dilaksanakan dengan lima
bentuk, yaitu, Kafalah Al-Mu’allaqah, Kafalah Al-Munjazah, Kafalah Bi
At-Taslim, Kafalah Bi An-Nafs, Kafalah Bi Al-Mal,
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh
apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut
hak manusia). Tidak menyangkut hak Allah Swt.(hudud).
Jika orang yang menjamin memenuhi kewajibannya dengan
membayar hutang orang yang ia jamin, dan atas perintah/izin yang dijamin, maka
ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia
jamin. Jika tidak atas perintah orang yang dijamin, maka penjamin (kafil)
tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful
‘anhu).
Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin/pengelola
proyek (makful ‘anhu) dapat menyelesaikan proyek dengan ditanggung
pengerjaannya dan bisa selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan
pihak ketiga (bank/kafil) yang menjamin pengerjaannya. Sedangkan dengan
adanya kafalah pihak yang menerima jaminan/pemilik proyek (makful
lahu) menerima jaminan dari penjamin (dalam hal ini bank/kafil )
bahwa proyek yang diselesaikan oleh nasabah pengelola proyek tadi dapat selesai
dengan tepat waktunya dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Al-Hafidh Ibn Hajar. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam. Jeddah:
Al-Harmain.
Al-Husaini, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayatul Akhyar Fi Hal
Ghayatul Ikhtishar Juz I. Semarang:
Toha Putra.
Al Jazairi, Abu
Bakar Jabir. 1993. Asarut Tafasir Jilid 2. Madinah: Darus Sunnah.
Al-Zuhaili, Wahabbah, 2005. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, jilid IV.
Beirut : Darul
Fikri.
Al-Zuhaili, Wahabbah. 2005. Asy-Syamil
Li Adillah Asy-Syar’iyah Wa Al-Ara Al
Madzhabiyah Wa Ahammu Al_Nadhriyat A-Fiqhiyah. Beirut: Darul Fikri.
Antonio,
Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari
Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan.
Jakarta:Tazkia
Institute.
Asyur,
Ahmad Isa. 1995. Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (Terj). Solo: Pustaka
Mantiq.
Hasan, Abdullah Alwi Haji. 2006. Sales and Contracts Early Islamic
Commercial Law. New
Delhi: Kitab Bhayan.
Mansuri, Muhammad Tahir. 2006. Islamic Law of Contracts and business
Transaction. New Delhi: Adam Publishers and Distributors.
Nor, M. Dumairi, dkk. 2008. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan :
Pustaka
Sidogiri.
Suhendi,
Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nyazee, Imran Ahsan Khan. 2006. Islamic Law of Business Organization
Partnertships. New Delhi: Kitab Bhayan.
Zulkifli, Sunarto. 2001. Panduan Praktis Transaksi
Perbankan Syariah. Jakarta:
Gema Insani.
Imron AL-Hushein,
http://alhushein.blogspot.com/2012/01/kafalah-dan-aplikasinya
di-lembaga.html.
Diakses tanggal 30/03/2013 pukul 13:45.
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:fatwa
dsn-mui-no-no-11dsn-muiiv2000-tentang-kafalah-&catid=57:fatwa-dsn-mui
diakses tanggal 29 Maret 2013 pukul 12:21
[1] Muhammad
Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracts and business
Transaction (New Delhi: Adam Publishers
and Distributors. 2006) hal. 289.
[2]Ahmad
Isa Asyur,Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (Terj). (Solo: Pustaka
Mantiq, 1995).Hal. 276.
[3] M. Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan : Pustaka Sidogiri, 2008.) hal. 73
[4] Abu Bakar Jabir
Al Jazairi, Asarut Tafasir Jilid
2 (Madinah: Darus Sunnah. 1993) hal. 631.
[5]Wahabbah Al-Zuhaili, Asy-Syamil Li Adillah Asy-Syar’iyah Wa
Al-Ara Al-Madzhabiyah Wa Ahammu Al_Nadhriyat A-Fiqhiyah (Beirut: Darul
Fikri. 2005) Hal. 4142
[6] Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani,
Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam
(Jeddah: Al-Harmain.)Hal. 186.
[7]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan
(Jakarta:Tazkia Institute.1999) hal. 232.
[8] Wahabbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV
(Beirut : Darul Fikri, 2005) Hal 4143
[9]Hendi
Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2010) hal.
98.
[10] Abdullah
Alwi Haji Hasan, Sales and Contracts Early Islamic Commercial Law (New Delhi: Kitab Bhayan. 2006) hal. 144.
[11]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani. 2001)
Hal. 123.
[12]Op.
Cit, Al-Hafidh
Ibn Hajar Al-Asqalani, hal. 187.
[13] Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fi
Hal Ghayatul Ikhtishar Juz I (Semarang: Toha Putra.) hal. 280.
[14] Imran
Ahsan Khan Nyazee, Islamic Law of Business Organization Partnertships (New Delhi:
Kitab Bhayan. 2006) hal. 61.
[15] http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:fatwa-dsn-mui-no-no-11dsn-muiiv2000-tentang-kafalah-&catid=57:fatwa-dsn-mui diakses tanggal 29 Maret 2013 pukul 12:21
[16] Imron AL Hushein, http://alhushein.blogspot.com/2012/01/kafalah-dan-aplikasinya-di-lembaga.html. Diakses
tanggal 30/03/2013 pukul 13:45
[17] Sunarto
Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah,(Jakarta: Gema
Insani. 2001) hal. 79.