BAB
I
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang
Banyaknya fenomena yang ada sekitar kita dimana salah
satunya yang akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu penitipan barang
(wadi’ah). Seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga penitipan barang dapat
sedikit membantu ketika seorang ingin menitipkan barangnya dalam waktu yang
cukup lama, mereka tidak khawatir dengan keadaan keadaan barang yang
ditinggalkannya itu, sebab dalam lembaga tersebut telah menjamin akan keaslian
barangnya. Namun dengan sedikit mengeluarkan biaya tentunya.
Kita lihat di masyarakat sangatlah tidak asing lagi dalam hal penitipan barang, atau
menitipkan sebuah barang kepada orang lain.
Seseorang berani menitipkan barang kepada orang lain hanya yang biasa di
kenal saja, sungguh belum tentu seorang yang kita kenal tersebut bisa menjaga
barang kita dengan baik, bisa saja terjadi kelalaian atau kerusakan ketika
barang yang dititipkan tersebut dipakai oleh seorang yang diberikan amanah
tersebut, dengan alasan yang banyak dan dengan kedekatannya seorang penitip
kepada
seorang yang diberikan amanah, kemudian seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika terjadi kerusakan pada barang yang dititipkan kepadanya. Dengan alasan apapun bisa di terima si penitip karena si penitip yakin bahwa orang yang dikenal dan dekat denganya tidak mungkin melakukan penipuan terhadap dirinya.
seorang yang diberikan amanah, kemudian seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika terjadi kerusakan pada barang yang dititipkan kepadanya. Dengan alasan apapun bisa di terima si penitip karena si penitip yakin bahwa orang yang dikenal dan dekat denganya tidak mungkin melakukan penipuan terhadap dirinya.
Hal ini yang sering dilalaikan oleh seorang yang
diberikan amanah, menganggap barang yang dititipkan tersebut adalah barang yang
bisa dipakainya juga. Ternyata tidak seperti itu, seorang yang diberikan amanah
hanya berhak menjaga barang yang di titipkan kepadanya. dan ketika si penitip
memperbolehkannya atau memberikan izin memakai barang yang dititipkan tersebut.
Barulah seorang yang diberikan amanah tersebut memakainya dengan ketentuan
selalu menjaga, memperbaiki ketika terjadi kerusakan, dan mengatakan dengan
sebenarnya kepada si penitip ketika barang akan diserahkan kembali kepada si
penitip. Jangan sekali-kali mengharap apapun, baik upah menjaga, dan upah-upah
lainnya kepada si penitip dan menjagalah dengan baik dan ikhlas. Karena belum
tentu serang yang menitipkannya tersebut orang yang memiliki cukup uang untuk
mengganti jasa tersebut. dan kepada seorang yang menitipkan barang kepada orang
lain hendaklah sadar akan jasa orang yang rela riberikan amanah tersebut.
Oleh karena itu, fenomena yang
demikian perlulah diperhatikan oleh seorang yang diberikan amanah dan pemberi
amanah. Mempelajari apa yang harus di kerjakan ketika seorang diberikan atau
memberikan barang titipan(wadi’ah) kepada orang lain. Memilih jalan yang lebih
aman dengan menitipkan barang pada lembaga-lembaga penitipan barang yang ada di
sekitar kita.
Selain itu wadi’ah juga merupakan
salah satu produk yang umumnya ada pada bank-bank syariah, maka oleh karenanya perlu
dicermati bagaimana mekanisme wadi’ah di lembaga-lembaga keuangan yang ada
sekarang.
b. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa permasalah yang akan di bahas
pada bab pembahasan di belakang diantaranya yaitu:
a. Apa
definisi wadi’ah dan dasar hukumnya?
b. Apakah
syarat dan rukun wadi’ah?
c. Berapakah
macam-macam wadi’ah?
d. Apakah
Hukum Menerima Benda titipan (wadi’ah)?
e. Apakah
wadiah yad-amanah dapat berubah menjadi wadiah yad-damannah?
f. Bagaimana
aplikasi wadi’ah dalam perbankan syariah ?
c.
Tujuan
Rumusan
masalah diatas memberikan penulis pemikiran bahwa tujuan dari penulisan makalah
ini yaitu:
a. Agar mengetahu definisi
wadi’ah dan dasar hukumnya
b. Agar mengetahui syarat dan rukun wadi’ah
c. Agar mengetahui macam-macam wadi’ah
d. Agar mengetahui hukum menerima benda
titipan (wadi’ah)
e. Agar mengetahui perubahan wadi’ah
yad-amanah menjadi wadiah yad-dhamanah
f. Agar mengetahuai aplikasi wadiah dalam
perbankan syariah
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Secara Etimologi
Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata
Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti
membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[1]
Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Secara terminologi
Dalam literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum yang
berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam pemberian upah
bagi pihak penerima titipan, transaksi ini dikatagorikan taukil atau sekedar
menitip, barang titipan tersebut harus berupa harta atau tidak.[2]
Secara terminologi wadi’ah menurut
mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan
ulama fiqh :
·
Ulama Hanafiyah :
تسليط الغير على حفظ ماله
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan
yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”
·
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama)
:
توكيل في حفظ مملوك على
وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu”[3]
·
Secara harfiah, Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.[4]
·
Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan
Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau
uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan
barang atau uang.[5]
2.
Landasan Hukum Wadi’ah
Ulama fiqh sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia.
Sebagai landasannya firman allah di dalam al-quran surah an-nisa : 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.Menurut para mufasir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Usman bin Talhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah SWT.
Dalam ayat lain disebutkan:
....فليؤد الذي اؤتمن اما نته ....
“..... Hendaklah orang dipercayai itu menunaikan amanat .... (al-Baqarah: 283).
Di dalam hadits Rasulullah disebutkan:
(اد الأمانة االى من ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى والحاكم
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang
dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan
Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk
Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000,
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan
prinsip Mudharabah dan Wadi’ah[6]
3. Syarat dan Rukun
Wadi’ah
A. Rukun Wadi’ah
Dalam hal ini persyaratan itu
mengikat kepada mawaddi’, waddi’, dan wadi’ah. Mawaddi’ dan waddi’ mempunyai
persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah
disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tantangan
secara nyata.[7]
Menurut
ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab
dan qobul. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga
yaitu:
1. Orang yang berakad
2. Barang titipan
3. Sighah, ijab dan qabul
B. Syarat
1. Orang yang berakad
Orang yang berakad hendaklah orang
yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:
a. Baligh
b. Berakal
c.
Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan
berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang berakad, jadi anak kecil
yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.
2. Barang titipan
Syarat syarat benda yang dititipkan
1. Benda
yang dititipkan diisyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda
tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung diudara atau benda yang jatuh
kedalam air, maka wadiah tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib
diganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama hanafiah.[8]
2. Syafi’iah
dan hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai
nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, walaupun najis. Seperti anjing
yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda
tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka
wadi’ah tidak sah.[9]
3. Sighah
(akad)
Syarat
sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan
(mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’). Dalam perbankan
biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
4. Macam-macam Wadi’ah
a. Wadi’ah yad-amanah
Para
ulama ahli fiqh mengatakan bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah
pihak. Akan tetapi, apakah orang yang tanggung jawab memelihara barang itu
bersifat ganti rugi (dhamaan = الضمان).
Ulama
fiqh sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga
semua kerusakan penitipan tidak menjadi tangggung jawab pihak yang menitipi,
berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai
alasannya adalah sabda Rasulullah:
ليس على المسودع غير المغل ضمان (رواه البيهقى و الدار قطنى(
“orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan
pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi.” (HR. Baihaqi dan Daru-Quthni)
Dalam
riwayat lain dikatakan:
قطنيى الداررواه) مؤتمن على لاضمان)
“tidak ada ganti rugi terhadap
orang yang dipercaya memegang amanat.” (HR. Daru-Quthni”).
Dengan
demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan untuk ganti rugi atas
orang yang dititipi maka akad itu dianggap tidak sah. dan orang yang dititipi
pun juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak menuntut upah (jasa) dari
orang yang menitipkan.
b. Wadi’ah yad-dhamanah
Akad
ini bersifat memberikan kebebasan kepada pihak penerima titipan dengan atau
tanpa seizin pemilik barang dapat memanfaatkan barang dan bertanggung jawab
terhadap kehilangan atau kerusakan pada barang yang dinggunakannya.
5.
Hukum Menerima Wadi’ah
·
Sunnah, bagi
orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga titipan yang
diseerahkan kepadanya.
·
Mubah, hukum
menerima benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang mengatakan
kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si pentitip
yakin dan tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah.
·
Haram, apabila
dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaga barang yang dititipkan sebagaiman
mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya
barang yang dititipkan itu.
·
Wajib, hukum
menerima benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur dan
layak selain dirinya.
·
Makruh, yaitu
bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya boleh
jadi kemudian hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang yang
dititipkan kepadanya.[10]
6. Wadi’ah yad-Amanah
Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan
perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah (ganti
rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1.
Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan demikian
halnya apabila ada orang lain yang akan merusaknya, tetapi dia tidak
mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi (mencegahnya).
2. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh
orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang
titipan seharusnya dipelihara, bukan
dimanfaatkan.
3. Orang yang dititipi mengingkari ada
barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan
jenis varangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga apabila
terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4. Orang yang menerima titipan barang itu,
mencampuradukkan dengan bangan pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak
atau hilang, maka sukar untuk
menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan
itu.
5. Orang yang menerima titipan itu tidak
menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat
penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.[11]
7. Produk-produk Wadi’ah dalam Perbankan Syariah
Seperti
apa yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa akad wadi’ah ada dua, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad
adh-dhamanah. Tentunya praktik wadi’ah dalam perbankan syariah haruslah
terlepas dari unsur-unsur riba (bunga).[12]
Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah “tangan amanah” yang
kemudian dalam perkembangannya memunculkan yad adh-dhamanah “tangan
penanggung”. Akad wadi’ah yad dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam
produk-produk perbankan.
1. Jenis/produk wadi’ah yad adh-dhamanah:
a. Tabungan Wadi’ah
Dalam hal ini, nasabah bertindak
sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau
memanfaatkan uang atau barang titipannya. Disisi lain, bank juga berhak
sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau
barang tersebut. Ketentuan umum tabungan wadi’ah sebagai berikut:
·
Tabungan wadi’ah
merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
·
Keuntungan atau
kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau
tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung
kerugian.
·
Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif
selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.[13]
b. Giro Wadi’ah
Dalam
hal ini bank syariah menggunakan prinsip wadi’ah yad dhomanah. Dengan prinsip
ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan
wadi’ah.[14]
Dana
tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak
atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam
kegiatan kegiatan komersial. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri,
dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana (pemegang
rekening wadi’ah)[15].
Yang dimaksud dengan giro wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad
wadi’ah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya
menghendaki. Ketentuan umum giro wadi’ah sebagai berikut:
·
Dana wadi’ah
dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus
menjamin pembayaran kembali nominal dana wadi’ah tersebut.
·
Keuntungan atau
kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang
pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk
menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.
·
Pemilik dana
wadi’ah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian
atau seluruhnya.[16]
2. Jenis/Produk Wadi’ah Yad Al-Amanah
Bank
menerima titipan amanah (trustee account) berupa dana infaq, shadaqah, dan
zakat, karena bank dapat menjadi perpanjangan tangan dalam baitul mal dalam
menyimpan dan menyalurkan dana umat agar dapat bermanfaat secara optimal.[17]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Yang
dimaksud wadiah secara istilah dapat dikatakan akad dalam hal penitipan barang.
2.
Rukun wadiah
yaitu, orang yang berakad, barang titipan, sighat ijab dan kobul, sedangkan
syarat wadiah diantaranya yaitu: baligh, berakal, kemauan diri sendiri
3.
Ada dua macam
wadiah yaitu wadiah yad-Amanah dan Wadiah yad-Damanah
4.
Hukum menerima
benda titipan dapat berubah menjadi lima hukum yakni, wajib, sunah, makruh,
haram, dan mubah
5. Wadiah
yad-Amanah dapat berubah menjadi wadiah yad-Dhamanah dengan sebab diantaranya
yaitu Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang
dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan
syarat-syarat lainnya.
6. Produk
perbankan syariah yang berprinsip pada wadi’ah ada dua yaitu : tabungan wadi’ah
dan giro wadi’ah
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Amin, Hasan, Al-wadi’ah
al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitssmariha fi al-islam, Jeddah : Dar asy-syuruq, 1983
Abdurrahan al-jaziri, Kitab Al
fiqh `ala Al-madzahib Al arba`ah juz 3,
Beirut ; Dar al Fikr, 1992
Ahmad Mahmud, Economics of Islam,
Delhi : Jayyed Press , 1980
Ali Hasan M. Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam (Fiqh Mu’amalat). Jakarta : Rajawali Pers, 2003
Chapra Umer, Sistem Moneter
Islam, Jakarta : Gema Insani, 2000
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah
, Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007
Hulwati, Ekonomi Islam,
Jakarta: Ciputat Press, 2006
Ibnu Abidin, Hasyisah Radd
Al-mukhtar, Beirut : Dar al-Fikr, 1992
Karim Adiwarman, Bank Islam Analisis
Fiqih Dan Keuangan , Jakarta : Raja
Grafindo Persada 2006
,
Islamic Banking 3rd Edition, Jakarta : Rajawali Press, 2007
Karnaen, dan Syafi’I Antonio, Apa
Dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1992
Kettel Brian, Islamic Bank in a Nutshell : A Guide For Non-Specialists,
United Kingdom : Jhon Wiley & Sons
Ltd, 2010
Rasjid Sulaiman , Fiqh Islam
, Bandung : Sinar Baru, 1994
Timm Holger, The Cultural and
Demographic aspects of the Islamic Financial System and The Potential for Islamic Financial Product in
German Market, Norderstedt German : GRIN Verlag,
2004
www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf
, diakses tanggal 4 april 2013
www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no- 02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui
, diakses tanggal 4 april 2013
Yunus
Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Hidayakarya Agung; Jakarta, 2005
[2]
Hasan Abdullah Amin, al-wadi’ah al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitssmariha fi
al-islam, (Jeddah : dar asy-syuruq, 1983), hal 23-31
[4]
Hulwati, ekonomi islam, (ciputat
press, Jakarta:2006) hal 106
[5] www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf
[6] http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui
[6] http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui
[7]
Umer chapra, system moneter islam (
gema insani, Jakarta ; 2000) hal 200
[8]
Ibnu Abidin, hasyisah radd al-mukhtar, (Beirut;
Dar al-Fikr, 1992) hal 328
[9]
Abdurrahan al-jaziri, kitab al fiqh `ala
al-madzahib al arba`ah juz 3 (Beirut ; dark al fikr) hal 249
[10]
Sulaiman rasjid , fiqh islam (Bandung, Sinar Baru, 1994) hal 330
[11] M. Ali Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat). Rajawali Pers. Jakarta. Hal 249
[12] sheikh Mahmud Ahmad, 1980, Economics of Islam, Jayyed press, delhi,
[12] sheikh Mahmud Ahmad, 1980, Economics of Islam, Jayyed press, delhi,
[13]
Adiwarman A karim, Bank Islam, Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada) 2006 hal 297-298
[14]
Brian Kettel, Islamic Bank in a Nutshell
: A Guide For Non-Specialists, (United Kingdom, Jhon Wiley & Sons Ltd,
2010), hal 232
[15]
Holger Timm, The Cultural and Demographic aspects of the Islamic Financial
System and The Potential for Islamic Financial Product in German Market,
(Norderstedt German : GRIN Verlag, 2004), hal 40
[16]
Adiwarman Karim, Islamic banking 3rd Edition, Jakarta, Rajawali
Press, hal 287
[17]
Karnaen, dan Syafi’I Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana
Bakti Wakaf) 1992 hal 104