Music

Monday 22 April 2013

Wadi'ah


BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang

            Banyaknya fenomena yang ada sekitar kita dimana salah satunya yang akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu penitipan barang (wadi’ah). Seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga penitipan barang dapat sedikit membantu ketika seorang ingin menitipkan barangnya dalam waktu yang cukup lama, mereka tidak khawatir dengan keadaan keadaan barang yang ditinggalkannya itu, sebab dalam lembaga tersebut telah menjamin akan keaslian barangnya. Namun dengan sedikit mengeluarkan biaya tentunya.
            Kita lihat di masyarakat sangatlah tidak  asing lagi dalam hal penitipan barang, atau menitipkan sebuah barang kepada orang lain.  Seseorang berani menitipkan barang kepada orang lain hanya yang biasa di kenal saja, sungguh belum tentu seorang yang kita kenal tersebut bisa menjaga barang kita dengan baik, bisa saja terjadi kelalaian atau kerusakan ketika barang yang dititipkan tersebut dipakai oleh seorang yang diberikan amanah tersebut, dengan alasan yang banyak dan dengan kedekatannya seorang penitip kepada
seorang yang diberikan amanah, kemudian seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika terjadi kerusakan pada barang yang dititipkan kepadanya. Dengan alasan apapun bisa di terima si penitip karena si penitip yakin bahwa orang yang  dikenal dan dekat denganya tidak mungkin melakukan penipuan terhadap dirinya.  
            Hal ini yang sering dilalaikan oleh seorang yang diberikan amanah, menganggap barang yang dititipkan tersebut adalah barang yang bisa dipakainya juga. Ternyata tidak seperti itu, seorang yang diberikan amanah hanya berhak menjaga barang yang di titipkan kepadanya. dan ketika si penitip memperbolehkannya atau memberikan izin memakai barang yang dititipkan tersebut. Barulah seorang yang diberikan amanah tersebut memakainya dengan ketentuan selalu menjaga, memperbaiki ketika terjadi kerusakan, dan mengatakan dengan sebenarnya kepada si penitip ketika barang akan diserahkan kembali kepada si penitip. Jangan sekali-kali mengharap apapun, baik upah menjaga, dan upah-upah lainnya kepada si penitip dan menjagalah dengan baik dan ikhlas. Karena belum tentu serang yang menitipkannya tersebut orang yang memiliki cukup uang untuk mengganti jasa tersebut. dan kepada seorang yang menitipkan barang kepada orang lain hendaklah sadar akan jasa orang yang rela riberikan amanah tersebut.
            Oleh karena itu, fenomena yang demikian perlulah diperhatikan oleh seorang yang diberikan amanah dan pemberi amanah. Mempelajari apa yang harus di kerjakan ketika seorang diberikan atau memberikan barang titipan(wadi’ah) kepada orang lain. Memilih jalan yang lebih aman dengan menitipkan barang pada lembaga-lembaga penitipan barang yang ada di sekitar kita.
            Selain itu wadi’ah juga merupakan salah satu produk yang umumnya ada pada bank-bank syariah, maka oleh karenanya perlu dicermati bagaimana mekanisme wadi’ah di lembaga-lembaga keuangan yang ada sekarang.
b.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa permasalah yang akan di bahas pada bab pembahasan di belakang diantaranya yaitu:
a.       Apa definisi wadi’ah dan dasar hukumnya?
b.      Apakah syarat dan rukun wadi’ah?
c.       Berapakah macam-macam wadi’ah?
d.      Apakah Hukum Menerima Benda titipan (wadi’ah)?
e.       Apakah wadiah yad-amanah dapat berubah menjadi wadiah yad-damannah?
f.       Bagaimana aplikasi wadi’ah dalam perbankan syariah ?

c.   Tujuan
Rumusan masalah diatas memberikan penulis pemikiran bahwa tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
a.       Agar mengetahu  definisi  wadi’ah dan dasar hukumnya
b.      Agar mengetahui syarat dan rukun wadi’ah
c.       Agar mengetahui macam-macam wadi’ah
d.      Agar mengetahui hukum menerima benda titipan (wadi’ah)
e.       Agar mengetahui perubahan wadi’ah yad-amanah menjadi wadiah yad-dhamanah
f.       Agar mengetahuai aplikasi wadiah dalam perbankan syariah


















BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
   Secara Etimologi
            Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[1] Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Secara terminologi
            Dalam literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini dikatagorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus berupa harta atau tidak.[2]
            Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
·         Ulama Hanafiyah :
تسليط الغير على حفظ ماله
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”
·         Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”[3]
·         Secara harfiah, Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.[4]
·         Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.[5]

2. Landasan Hukum Wadi’ah


Ulama fiqh sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia.


Sebagai landasannya firman allah di dalam al-quran surah an-nisa : 58

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا 

58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

Menurut para mufasir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Usman bin Talhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah SWT.

Dalam ayat lain disebutkan:


....فليؤد الذي اؤتمن اما نته .... 


“..... Hendaklah orang dipercayai itu menunaikan amanat .... (al-Baqarah: 283).

Di dalam hadits Rasulullah disebutkan:

(اد الأمانة االى من ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى والحاكم

“Hendaklah amanat orang yang mempercayai anda dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim).
            Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
            Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah[6]

3. Syarat dan Rukun Wadi’ah
A.    Rukun Wadi’ah
            Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada mawaddi’, waddi’, dan wadi’ah. Mawaddi’ dan waddi’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tantangan secara nyata.[7]
            Menurut ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
            1.      Orang yang berakad
            2.      Barang titipan
            3.      Sighah, ijab dan qabul

B.     Syarat
1.      Orang yang berakad
Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:
            a.       Baligh
            b.      Berakal
            c.       Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.
2.      Barang titipan
            Syarat syarat benda yang dititipkan
1.      Benda yang dititipkan diisyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung diudara atau benda yang jatuh kedalam air, maka wadiah tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib diganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama hanafiah.[8]
2.      Syafi’iah dan hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, walaupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.[9]
3.      Sighah (akad)
            Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan (mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’). Dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.

4. Macam-macam Wadi’ah
a.       Wadi’ah yad-amanah
Para ulama ahli fiqh mengatakan bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetapi, apakah orang yang tanggung jawab memelihara barang itu bersifat ganti rugi (dhamaan = الضمان).
Ulama fiqh sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tangggung jawab pihak yang menitipi, berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah sabda Rasulullah:
ليس على المسودع غير المغل ضمان (رواه البيهقى و الدار قطنى(
orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi.” (HR. Baihaqi dan Daru-Quthni)
Dalam riwayat lain dikatakan:
قطنيى الداررواه) مؤتمن على لاضمان)
 tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya memegang amanat.” (HR. Daru-Quthni”).
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan untuk ganti rugi atas orang yang dititipi maka akad itu dianggap tidak sah. dan orang yang dititipi pun juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.
b.      Wadi’ah yad-dhamanah
Akad ini bersifat memberikan kebebasan kepada pihak penerima titipan dengan atau tanpa seizin pemilik barang dapat memanfaatkan barang dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan pada barang yang dinggunakannya.
5. Hukum Menerima Wadi’ah
·         Sunnah, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga titipan yang diseerahkan kepadanya.
·         Mubah, hukum menerima benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang mengatakan kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si pentitip yakin dan tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah.
·         Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaga barang yang dititipkan sebagaiman mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
·         Wajib, hukum menerima benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur dan layak selain dirinya.
·         Makruh, yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya boleh jadi kemudian hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya.[10]



6. Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah
            Kemungkinan perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah (ganti rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
 1.      Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang akan merusaknya, tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi (mencegahnya).
2.      Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang titipan  seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
3.      Orang yang dititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan jenis varangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4.      Orang yang menerima titipan barang itu, mencampuradukkan dengan bangan pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak atau  hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan itu.
5.      Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.[11]

7.  Produk-produk Wadi’ah dalam  Perbankan Syariah
            Seperti apa yang  telah dijelaskan sebelumnya, bahwa akad wadi’ah ada dua, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah. Tentunya praktik wadi’ah dalam perbankan syariah haruslah terlepas dari unsur-unsur riba (bunga).[12] Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah “tangan amanah” yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yad adh-dhamanah “tangan penanggung”. Akad wadi’ah yad dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam produk-produk perbankan.
1.      Jenis/produk wadi’ah yad adh-dhamanah:
a.       Tabungan Wadi’ah
Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya. Disisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut. Ketentuan umum tabungan wadi’ah sebagai berikut:
·         Tabungan wadi’ah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
·         Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
·         Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.[13]

b.      Giro Wadi’ah
            Dalam hal ini bank syariah menggunakan prinsip wadi’ah yad dhomanah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadi’ah.[14] Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan kegiatan komersial. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana (pemegang rekening wadi’ah)[15]. Yang dimaksud dengan giro wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Ketentuan umum giro wadi’ah sebagai berikut:
·         Dana wadi’ah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadi’ah tersebut.
·         Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.
·         Pemilik dana wadi’ah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian atau seluruhnya.[16]

2.      Jenis/Produk Wadi’ah Yad  Al-Amanah
            Bank menerima titipan amanah (trustee account) berupa dana infaq, shadaqah, dan zakat, karena bank dapat menjadi perpanjangan tangan dalam baitul mal dalam menyimpan dan menyalurkan dana umat agar dapat bermanfaat secara optimal.[17]








  

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1.      Yang dimaksud wadiah secara istilah dapat dikatakan akad dalam hal penitipan barang.
2.      Rukun wadiah yaitu, orang yang berakad, barang titipan, sighat ijab dan kobul, sedangkan syarat wadiah diantaranya yaitu: baligh, berakal, kemauan diri sendiri
3.      Ada dua macam wadiah yaitu wadiah yad-Amanah dan Wadiah yad-Damanah
4.      Hukum menerima benda titipan dapat berubah menjadi lima hukum yakni, wajib, sunah, makruh, haram, dan  mubah
5.      Wadiah yad-Amanah dapat berubah menjadi wadiah yad-Dhamanah dengan sebab diantaranya yaitu Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.
6.      Produk perbankan syariah yang berprinsip pada wadi’ah ada dua yaitu : tabungan wadi’ah dan giro wadi’ah












DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Amin, Hasan, Al-wadi’ah al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitssmariha fi al-islam,          Jeddah : Dar asy-syuruq, 1983
Abdurrahan al-jaziri, Kitab Al fiqh `ala Al-madzahib Al arba`ah juz 3,  Beirut ; Dar al Fikr, 1992
Ahmad Mahmud, Economics of Islam, Delhi : Jayyed Press , 1980
Ali Hasan M. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Mu’amalat). Jakarta : Rajawali         Pers, 2003
Chapra Umer, Sistem Moneter Islam,  Jakarta : Gema Insani, 2000
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah , Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007
Hulwati, Ekonomi Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2006
Ibnu Abidin, Hasyisah Radd Al-mukhtar, Beirut : Dar al-Fikr, 1992
Karim Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan , Jakarta :  Raja Grafindo Persada   2006
                               , Islamic Banking 3rd Edition, Jakarta : Rajawali Press, 2007
Karnaen, dan Syafi’I Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bakti            Wakaf, 1992
Kettel Brian, Islamic Bank  in a Nutshell : A Guide For Non-Specialists, United Kingdom : Jhon   Wiley & Sons Ltd, 2010
Rasjid Sulaiman , Fiqh Islam , Bandung : Sinar Baru, 1994
Timm Holger, The Cultural and Demographic aspects of the Islamic Financial System and The      Potential for Islamic Financial Product in German Market, Norderstedt German : GRIN            Verlag, 2004
www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf , diakses tanggal 4 april 2013
www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-           02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui , diakses tanggal 4          april 2013
Yunus Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Hidayakarya Agung; Jakarta, 2005









[1] Kamus Arab-Indonesia, Prof. DR. H.  Mahmud Yunus, 2005, Hidayakarya Agung; Jakarta, Hal. 495
[2] Hasan Abdullah Amin, al-wadi’ah al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitssmariha fi al-islam, (Jeddah : dar asy-syuruq, 1983), hal 23-31
[3] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (2007: Gaya Media Pratama, Jakarta), Hal. 244-245
[4] Hulwati, ekonomi islam, (ciputat press, Jakarta:2006) hal 106
[5] www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf
[6]
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui
[7] Umer chapra, system moneter islam ( gema insani, Jakarta ; 2000) hal 200
[8] Ibnu Abidin, hasyisah radd al-mukhtar, (Beirut; Dar al-Fikr, 1992) hal 328
[9] Abdurrahan al-jaziri, kitab al fiqh `ala al-madzahib al arba`ah juz 3 (Beirut ; dark al fikr) hal 249
[10] Sulaiman rasjid , fiqh islam (Bandung, Sinar Baru, 1994) hal 330
[11] M. Ali Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat). Rajawali Pers. Jakarta. Hal 249
[12] sheikh Mahmud Ahmad, 1980, Economics of Islam, Jayyed press, delhi,
[13] Adiwarman A karim, Bank Islam, Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) 2006 hal 297-298
[14] Brian Kettel, Islamic Bank  in a Nutshell : A Guide For Non-Specialists, (United Kingdom, Jhon Wiley & Sons Ltd, 2010), hal 232
[15] Holger Timm, The Cultural and Demographic aspects of the Islamic Financial System and The Potential for Islamic Financial Product in German Market, (Norderstedt German : GRIN Verlag, 2004), hal 40
[16] Adiwarman Karim, Islamic banking 3rd Edition, Jakarta, Rajawali Press, hal 287
[17] Karnaen, dan Syafi’I Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf) 1992 hal 104