BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi
konvensional, bahwa ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik
sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan
sumber daya yang terbatas guna memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak
terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan)
seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya barang dan
jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.
Ilmu ekonomi
konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Karena
keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni kelangkaan.
Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas
antara keinginan (ragh bah dan syahwat) dan kebutuhan
(hajat), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang
amat besar dalam ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan
kebutuhan (needs), akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam
dengan ilmu ekonomi konvensional.
Menurut Imam
al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu
yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan
dan
pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk
menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan,
kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan
dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa
dibedakan antara keinginan (syahwat) dan
kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum
antara homo economicus dan homo
Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya
nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka
menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan
fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di
sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori
permintaan Islami dan konvensional. Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi
kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada
tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan
binatang ternak yang makan karena lapar saja.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP PENTING DALAM KONSUMSI
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat)
dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak
akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya
sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua
unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan
konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan
sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang
diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk
melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu
sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga
diatur dalam ekonomi Islam.[1]
a) Kebutuhan
(Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai
unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan
antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada
dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan
memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur
tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan
setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur
tubuh".[2]
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa
tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari
seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif
antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu
sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan
pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki
manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras,
memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka
bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah
aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh
potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya,
Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas
penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam
adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong
pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
b) Kegunaan
atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu
dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom
menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika
mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang
konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan
tingkat harga yang berbeda.
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi
yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat
al-Qur’an[3]
mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya
kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna
tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu
waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah
dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa
dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan
cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi
mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.
B.
PERILAKU/ KARAKTERISTIK KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM
Selain berfungsi sebagai penopang
kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengukur
tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Amerika yang selama ini
dianggap sebagai kiblat perekonomian Negara-negara di dunia, ternyata salah
satu penopangnya adalah tingkat konsumsi masyarakatnya yang sangat tinggi jauh
melebihi tabungannya: rata-rata jumlah tabungan mereka hanya 2 persen dari
total pendapatan, (presentase ini adalah terendah di dunia), dan inilah yang
dianggap membuat perekonomian Amerika bergairah.
Namun, apakah dengan cara menggenjot pengeluaran saja Islam memaknai konsumsi?
" Kemaslahatan hakiki yang tercermin dalam sebuah aktifitas
manusia, pada dasarnya hanya bisa diketahui oleh Sang Pencipta-Nya saja.
Manusia hanya mengetahui sebagian kecil tanpa bisa memaknai keseluruhannya, apa
yang tidak terlihat olehnya jauh lebih banyak dari yang bisa dilihatnya, mereka
juga lebih sering terburu-buru dalam mewujudkan kemaslahatan dirinya. Sehingga,
yang terjadi adalah kemafsadahan pada kemasalahatan semu yang membungkusnya.
Karena itu, Allah SWT menurunkan para Rasul guna memberikan peringatan kepada
seluruh umat manusia, agar senantiasa kembali kepada kemaslahatan secara
sempurna (agama)". [4]
Dengan demikian, rasionalisasi konsumsi tidak cukup dimaknai dengan hukum
maupun teori saja, namun juga harus bersandar pada aturan-aturan mendasar yang
terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri.
Di bawah ini adalah beberapa karakteristik konsumsi dalam prespektif ekonomi
Islam, di antaranya adalah:
1) Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa
batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan dan keharaman yang telah
digariskan oleh syara'. Sebagaimana firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ
اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".[5]
2) Konsumen yang rasional (mustahlik
al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada berbagai jenis barang
yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun ruhaninya. Cara seperti ini dapat
mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang menuntut keseimbangan kerja
dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain di luar sisi
ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.
3. Menjaga
keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang
batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam (mustawa
al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang gerak yang
tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Di bawah
mustawa kifayah, seseorang akan terjerembab pada kebakhilan, kekikiran,
kelaparan hingga berujung pada kematian. Sedangkan di atas mustawa al-kifayah
seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf,
tabdzir dan taraf). Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam, sebagaimana
nash al-Qur'an
وَالَّذِينَ إِذَا
أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan,
dan tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di
tengah-tengah kalian".[6]
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ
وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا (الإسراء:29)
"Dan
jangan kau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya (terlalu pemurh). Karena itu mengakibatkan kamu tercela
dan menyesal".
4. Memperhatikan
prioritas konsumsi antara dlaruriyat, hajiyat dan takmiliyat.
"Dlaruriyat adalah komiditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar
konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifdz ad-din),
jiwa (hifdz an-nafs), keturunan (hifdz an-nasl), hak kepemilikan
dan kekayaan (hifdz al-mal), serta akal pikiran (hifdz al-aql).
Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat menghilangkan kesulitan dan juga
relatif berbeda antar satu orang dengan lainnya, seperti luasnya tempat
tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya. Sedangkan takmiliyat adalah komoditi
pelengkap yang dalam penggunaannya tidak boleh melebihi dua prioritas konsumsi
di atas.[7]
Penjelasan lain mengenai Dharuriyah,
Hajiyah dan Tahsiniyah
Ialah
kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang
berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka
mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Maslahat dharuriyat
ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak,
maka akan muncul fitnah dan bencana yang besar.[8]
Yang termasuk
dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya
ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang
paling asasi.
”Memelihara
kelima hal tersebut termasuk kedalam tingkatan dharuriyat. Ia merupakan
tingkatan maslahat yang paling kuat. Diantara contoh-contoh nya, syara’
menetapkan hukuman mati atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain
dan menghukum penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena
hal demikian mengganggu kehidupan masyarakat dalam mengikuti kebenaran agamanya;
memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat
terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum
khamar, karena dengan demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi
taklif; mewajibkan had zina, karena dengan hal itu dapat memelihara nasab
(keturunan); mewajibkan mendera pembongkar kuburan dan pencuri, karena
dengan demikian dapat memelihara harta yang menjadi sumber kehidupan
dimana mereka sangat memerlukannya.” [9]
Secara umum,
menghindari setiap perbuatan yang menggakibatkan tidak terpeliharanya salah
satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury
(prinsip). Syariat Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga
demi mempertahankan nyawa (kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang
(haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu
bagi orang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan
memakan bangkai, daging babi dan minum arak.
3)
Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)
Ialah segala
sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal
pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan,
kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut.
Dalam lapangan
ibadah Islam, mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringganan)
bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif.
Misalnya, Islam memperbolehkan tidak berpuasa dalam perjalankan dalam jarak
tertentu dengan syarat diganti pada hari lain begitu pula untuk orang yang
sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah juga dalam rangka
memenuhi kebutuhan hajiyat ini.
Didalam
lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang
dibutuhkan manusia, seperti akad muzara’ah, salam, murabahab, dan
mudharabah.
Dilapangan ’uqubah
(sanksi hukum), islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi
pembunuhan tidak disengaja.
Perlu
ditegaskan bahwa termasuk dalam katagori hajjiyat adalah memelihara
kebebasan individu dan kebebasan beragama. sebab manusia membutuhkan
kedua kebebasan ini. Akan tetapi terkadang manusia menghadapi kesulitan.
Termasuk hajjiyah dalam keturunan, ialah diharamkan berpelukan.
Sedang hajjiyat dalam hal harta, seperti diharamkan ghasab
dan merampas, keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin
untuk diambil kembali, sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan.
Sedangkan hajjiyat yang berkaitan dengan akal seperti
diharamkannya meminum khamar walau hanya sedikit.
3) Kebutuhan Tahsiniyat
(Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap)
Ialah tingkat
kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu
dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan.
Yang dimaksud
dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan
kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat
diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta
rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya
mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun demikian kemaslahatan seperti ini
dibutuhkan oleh manusia.
Dalam lapangan
ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat seperti
islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan banyak
ibadah sunnah.
Dalam lapangan
muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli dan lain-lain.
Dalam lapangan ’uqubah
islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita dalam peperangan, serta
melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan)
Diantara contoh
tahsinat yang berkaitan dengan memelihara harta adalah
diharamkan menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara
langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya.
Sebab hal ini berlawanan kepentingan dengan keingginan membelanjakan harta
secara terang dan jelas, serta keinginan memperoleh gambaran yang tepat tentang
untung rugi. Jelaslah kiranya hal ini tidak membuat cacat terhadap harta pokok
(ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang lain yang
membelanjakan hartanya.
Contoh tahsinat yang berkenaan
denagan memelihara keturunan adalah diharamkan seorang wanita keluar
rumah dengan menggenakan perhiasan. Dalam firman Allah:
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [10]
Larangan wanita
memakai perhiasan diluar rumah ini termasuk kategori tahsinat, karena
memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan
tersebut sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat
wanita yang pada dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.
Tahsinat dalam kaitan
dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan terhadap dakwah yang
menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul itiqad), dimana
semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah menimbulkan keraguan
terhadap ajaran islam. Demikian pula larangan mempelajari kitab-kitab yang
sumber-sumber ajaran agama lain bagi orang yang tidak mampu melakukan studi
perbandingan secara rasional dan mendalam diantara kebenaran-kebenaran agama.
Sedangkan tahsinat
yang berkaitan dengan memelihara akal, contohnya seperti melarang kafir
dzimmy meminum dan menjual khamar ditengah masyarakat muslim,
walaupun minuman keras tersbut dijual khusus untuk kalangan kafir dzimmi
sendiri.
Empat Pedoman Syariah dalam
Berkonsumsi
1)
azas maslahat dan manfaat membawa
maslahat dan manfaat bagi jasmani dan rohani dan sejalan dengan nilai maqasid
syariah. Termasuk dalam hal ini kaitan konsumsi dengan halaldanthoyyib.
2)
azas kemandirian : ada perencanaan, ada
tabungan, mengutang adalah kehinaan. Nabi SAW menyimpan sebagian pangan untuk
kebutuhan keluarganya selama setahun.[11]
“ Ya Allah jauhkanlah hamba dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan
kemalasan, kebodohan dan kebakhilan, beratnya utang, serta tekanan orang lain.[12]
3)
azas kesederhanaan : bersifat qanaah,
tidak mubazir. “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”[13]
4)
azas Sosial : anjuran berinfaq . “ dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘ apa yang
lebih dari keperluan (al-afwu). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya
kepadamu agar kamu berpikir.[14]
C.
PERBEDAAN
PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DENGAN PERILAKU KONSUMEN KONVENSIONAL
Konsumen Muslim
memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar
memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial
(spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik
mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah
diraihnya itu harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena
kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya
dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang
konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina
Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).
Konsep inilah
yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain itu,
yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu
ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan
individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan
umat Islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan
infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh
yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya[15].
D.
KONSEP MASLAHAH DALAM PRILAKU
KONSUMEN ISLAMI
Imam
Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility
atau kepuasan dalam terminologi ekonomi
konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama.
Menurut Imam
Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari
kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada
lima elemen
dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs),
properti atau harta benda (al mal), keyakinan
(al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa
yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya
kelima elemen tersebut di atas pada setiap
individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
§ Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa
setiap individu menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah suatu
perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda
dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan
sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang
mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun
syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut
menjadi gugur.
§ Maslahah orang per seorang akan konsisten
dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto
Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan
tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan
atau kesejahteraan orang lain.
§ Konsep maslahah mendasari semua aktivitas
ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran
dan distribusi. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis
pilihan:
§ Berapa bagian pendapatannya yang akan
dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis
kedua.
§ Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis
pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan
berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat pendapatan tertentu,
konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat,
akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang
membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa
yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga
tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam
membandingkan konsep 'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung
di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan
hukum syara' yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.
BAB III
KESIMPULAN
Teori perilaku konsumen yang dibangun
berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori
konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori,
motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk
berkonsumsi.
1. Keyakinan akan
adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang
konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan
konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah
merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat),
sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2. Konsep sukses
dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan
dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi
pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah
merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan
prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari
kejahatan.
3. Kedudukan harta
merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk
(sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai
tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar. (QS.2.265)
DAFTAR
PUSTAKA
http://fe.umj.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=157:workshop&catid=42:e-articles&Itemid=94
Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh.
Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum
Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003