Music

Saturday, 29 September 2012

KONSEP KONSUMSI DAN PERILAKU KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.
Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas antara keinginan (ragh bah dan syahwat) dan kebutuhan (hajat), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar dalam ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs), akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvensional.
Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan
pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan,
kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa
dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum
antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.


BAB II
PEMBAHASAN

A.               KONSEP PENTING DALAM KONSUMSI
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.[1]
a)      Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh".[2]
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
b)      Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
            Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
            Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.
            Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an[3] mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
            Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.

B.               PERILAKU/ KARAKTERISTIK KONSUMEN DALAM EKONOMI ISLAM
              Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Amerika yang selama ini dianggap sebagai kiblat perekonomian Negara-negara di dunia, ternyata salah satu penopangnya adalah tingkat konsumsi masyarakatnya yang sangat tinggi jauh melebihi tabungannya: rata-rata jumlah tabungan mereka hanya 2 persen dari total pendapatan, (presentase ini adalah terendah di dunia), dan inilah yang dianggap membuat perekonomian Amerika bergairah.
              Namun, apakah dengan cara menggenjot pengeluaran saja Islam memaknai konsumsi? " Kemaslahatan hakiki yang tercermin dalam sebuah aktifitas manusia, pada dasarnya hanya bisa diketahui oleh Sang Pencipta-Nya saja. Manusia hanya mengetahui sebagian kecil tanpa bisa memaknai keseluruhannya, apa yang tidak terlihat olehnya jauh lebih banyak dari yang bisa dilihatnya, mereka juga lebih sering terburu-buru dalam mewujudkan kemaslahatan dirinya. Sehingga, yang terjadi adalah kemafsadahan pada kemasalahatan semu yang membungkusnya. Karena itu, Allah SWT menurunkan para Rasul guna memberikan peringatan kepada seluruh umat manusia, agar senantiasa kembali kepada kemaslahatan secara sempurna (agama)". [4]
              Dengan demikian, rasionalisasi konsumsi tidak cukup dimaknai dengan hukum maupun teori saja, namun juga harus bersandar pada aturan-aturan mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri.
              Di bawah ini adalah beberapa karakteristik konsumsi dalam prespektif ekonomi Islam, di antaranya adalah:
1)      Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan dan keharaman yang telah digariskan oleh syara'. Sebagaimana firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".[5]
2)      Konsumen yang rasional (mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun ruhaninya. Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang menuntut keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.
3.   Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam (mustawa al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Di bawah mustawa kifayah, seseorang akan terjerembab pada kebakhilan, kekikiran, kelaparan hingga berujung pada kematian. Sedangkan di atas mustawa al-kifayah seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf, tabdzir dan taraf). Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam, sebagaimana nash al-Qur'an
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di tengah-tengah kalian".[6]
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا (الإسراء:29)
"Dan jangan kau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu pemurh). Karena itu mengakibatkan kamu tercela dan menyesal".
4.   Memperhatikan prioritas konsumsi antara dlaruriyat, hajiyat dan takmiliyat. "Dlaruriyat adalah komiditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifdz ad-din), jiwa (hifdz an-nafs), keturunan (hifdz an-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifdz al-mal), serta akal pikiran (hifdz al-aql). Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat menghilangkan kesulitan dan juga relatif berbeda antar satu orang dengan lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya. Sedangkan takmiliyat adalah komoditi pelengkap yang dalam penggunaannya tidak boleh melebihi dua prioritas konsumsi di atas.[7]

Penjelasan lain mengenai Dharuriyah, Hajiyah dan Tahsiniyah
Para pakar maqasid telah memetakan maqasid syariah menjadi beberapa bagian :
1) Kebutuhan Dharuriyat (Primer)
Ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Maslahat dharuriyat ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan muncul fitnah dan bencana yang besar.[8]
Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.
Memelihara kelima hal tersebut termasuk kedalam tingkatan dharuriyat. Ia merupakan tingkatan maslahat yang paling kuat. Diantara contoh-contoh nya, syara’ menetapkan hukuman mati atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan menghukum penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena hal demikian mengganggu kehidupan masyarakat dalam mengikuti kebenaran agamanya; memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum khamar, karena dengan demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi taklif; mewajibkan had zina, karena dengan hal itu dapat memelihara nasab (keturunan); mewajibkan mendera pembongkar kuburan dan pencuri, karena dengan demikian dapat memelihara harta yang menjadi sumber kehidupan dimana mereka sangat memerlukannya.” [9]
Secara umum, menghindari setiap perbuatan yang menggakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury (prinsip). Syariat Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu bagi orang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan minum arak.
3)      Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)
Ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan, kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut.
Dalam lapangan ibadah Islam, mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringganan) bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam memperbolehkan tidak berpuasa dalam perjalankan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari lain begitu pula untuk orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah juga dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.
Didalam lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang dibutuhkan manusia, seperti akad muzara’ah, salam, murabahab, dan mudharabah.
Dilapangan ’uqubah (sanksi hukum), islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak disengaja.
Perlu ditegaskan bahwa termasuk dalam katagori hajjiyat adalah memelihara kebebasan individu dan kebebasan beragama. sebab manusia membutuhkan kedua kebebasan ini. Akan tetapi terkadang manusia menghadapi kesulitan. Termasuk hajjiyah dalam keturunan, ialah diharamkan berpelukan. Sedang hajjiyat dalam hal harta, seperti diharamkan ghasab dan merampas, keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin untuk diambil kembali, sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan hajjiyat yang berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum khamar walau hanya sedikit.

3) Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap)
Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan.
Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia.
Dalam lapangan ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat seperti islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan banyak ibadah sunnah.
Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli dan lain-lain.
Dalam lapangan ’uqubah islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita dalam peperangan, serta melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan)
Diantara contoh tahsinat yang berkaitan dengan memelihara harta adalah diharamkan menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Sebab hal ini berlawanan kepentingan dengan keingginan membelanjakan harta secara terang dan jelas, serta keinginan memperoleh gambaran yang tepat tentang untung rugi. Jelaslah kiranya hal ini tidak membuat cacat terhadap harta pokok (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang lain yang membelanjakan hartanya.
Contoh tahsinat yang berkenaan denagan memelihara keturunan adalah diharamkan seorang wanita keluar rumah dengan menggenakan perhiasan. Dalam firman Allah:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [10]
Larangan wanita memakai perhiasan diluar rumah ini termasuk kategori tahsinat, karena memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan tersebut sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat wanita yang pada dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.
Tahsinat dalam kaitan dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan terhadap dakwah yang menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul itiqad), dimana semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah menimbulkan keraguan terhadap ajaran islam. Demikian pula larangan mempelajari kitab-kitab yang sumber-sumber ajaran agama lain bagi orang yang tidak mampu melakukan studi perbandingan secara rasional dan mendalam diantara kebenaran-kebenaran agama.
Sedangkan tahsinat yang berkaitan dengan memelihara akal, contohnya seperti melarang kafir dzimmy meminum dan menjual khamar ditengah masyarakat muslim, walaupun minuman keras tersbut dijual khusus untuk kalangan kafir dzimmi sendiri.

Empat Pedoman Syariah dalam Berkonsumsi
1)      azas maslahat dan manfaat membawa maslahat dan manfaat bagi jasmani dan rohani dan sejalan dengan nilai maqasid syariah. Termasuk dalam hal ini kaitan konsumsi dengan halaldanthoyyib.

2)      azas kemandirian : ada perencanaan, ada tabungan, mengutang adalah kehinaan. Nabi SAW menyimpan sebagian pangan untuk kebutuhan keluarganya selama setahun.[11] “ Ya Allah jauhkanlah hamba dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan kebakhilan, beratnya utang, serta tekanan orang lain.[12]
3)      azas kesederhanaan : bersifat qanaah, tidak mubazir. “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”[13]
4)      azas Sosial : anjuran berinfaq . “ dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘ apa yang lebih dari keperluan (al-afwu). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu berpikir.[14]

C.                PERBEDAAN PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DENGAN PERILAKU KONSUMEN KONVENSIONAL
Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya[15].

D.                KONSEP MASLAHAH DALAM PRILAKU KONSUMEN ISLAMI
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs),
properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya
kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
§     Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.
§     Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
§     Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
§     Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
§     Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep 'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.


BAB III
KESIMPULAN

Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.

Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar. (QS.2.265)














DAFTAR PUSTAKA
http://fe.umj.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=157:workshop&catid=42:e-articles&Itemid=94
Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003






[1] Situs resmi ponpes darussalam banyuwangi www.blokagung.net
[2] Prof. Dr. Syauqi Muhammad Dunya (Guru Besar Jurusan Ekonomi Islam Universitas King Abdul Aziz Jeddah)
[3] al-A’raf:188, Hud:34, Ghofir:80 dan al-Mu’minun:21
[4] As-Syatibi
[5] QS surat al-Maidah:87
[6] QS al-furqan:67 dan al-Isra':29
[7] Dr.Muhammad Abdul Mun'im Afar
[8] Zakaria al-Biri
[9] Imam al-Ghazali
[10]  QS An-Nur : 31
[11]  H.R Muslim
[12]  H.R Bukhari–Muslim.
[13]QS  Al-Maidah : 87
[14]  QS Al-Baqarah : 219
[15] MuhammadMuflih,M.A