1.
Pengertian Kepemilikan dalam Islam
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa
Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab
"milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau
harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara
hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang
memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut
sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang
lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat
menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya
Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan
dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh
menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Konsep dasar
kepemilikan dalam Islam adalah firman Allah swt ;
لِلَّهِ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ البقرة / 284
Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di
langit dan bumi. QS 2: 284
Para fukoha memberikan batasan-batasan syar'i
"kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang
sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang
mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan
sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan
si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang
menghalanginya.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara
yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara
barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki
oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati
manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak
terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal,
atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa
orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya
untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau
apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau
si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang
kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan
barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang
timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini
dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan
wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
2.
Jenis-jenis Kepemilikan
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep
Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada
sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat
dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada
kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan
yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala
sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya
dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada
hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan"
atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah
SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh
setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus
yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi
kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya
sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada
aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap
umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan
untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi
dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua
jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya
sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya
saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah
kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan
kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya
saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang
berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa,
pinjam-meminjam dan lain-lain.
3.
Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan Sempurna.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan
dalam syariah ada empat macam yaitu:
(1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan,
(2) akad,
(3) penggantian
dan
(4) turunan
dari sesuatu yang dimiliki.
Penjelasan (1) Kepenguasaan terhadap barang-barang
yang diperbolehkan. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di
sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki
oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di
sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di
sungai dan di laut.
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai
berikut :
a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan
kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
b) Proses
kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti
dalam akad.
Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi
praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar
kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu
(i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat
barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,
" Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara
Muslim lainnya, maka barang itu miliknya."
(ii) Orang
yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya,
kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada
sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang
dikandungnya.
Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang
diperbolehkan ini ada empat macam yaitu : a) kepemilikan karena menghidupkan
tanah mati.
b) kepemilikan karena berburu atau memancing
c) rumput atau kayu yang diambil dari padang
penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.
d) kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di
kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi
Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi
Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang,
menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara
kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari
kepemilikan atas tanah.
4. Kepemilikan kurang (naaqishah)
Sedangkan
kepemilikan naaqishah adalah yang hanya memiliki barangnya saja atau manfaatnya
saja
Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai
masalah kepemilikan yang berbeda dengan pandangan kapitalisme dan sosialisme.
Islam tidak mengenal adanya kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap
perilaku manusia harus dalam kerangka syariah termasuk masalah ekonomi. Islam
mengatur cara perolehan dan pemanfaatan kepemilikan. Menurut Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan yaitu :
1.
Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah)
2. Kepemilikan
Umum (Milkiyah ‘Ammah)
3.
Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
Penjelasan
masing-masing jenis kepemilikan adalah sebagai berikut :
a.
Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah)
adalah idzin
syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab
kepemilikan (asbab al-tamalluk) individu yaitu 1) Bekerja (al-’amal), 2)
Warisan (al-irts), 3) Keperluan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian
negara (i’thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah
pertanian, barang dan uang modal, 5) Harta yang diperoleh individu tanpa
berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan
untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah. Kekayaan yang diperoleh
melalui bekerja (al-’amal) meliputi upaya menghidupkan tanah yang mati (ihya’u
al-mawat), mencari bahan tambang, berburu, pialang (makelar), kerjasama
mudharabah, musyaqoh, pegawai negeri atau swasta.
b.
Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah)
adalah idzin
syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang
berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupa sehari-hari
seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan,
barang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau,
lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dsb, dan barang yang menguasai
hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dsb.
c.
Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
adalah idzin
syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan khalifah
sebagai kepala negara. Termasuk dalam kategori ini adalah harta ghanimah
(pampasan perang), fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr,
harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahlli waris dan tanah hak milik
negara.
A. SEBAB SEBAB KEPEMILIKAN
Sebab
sebab adanya kepemilikan yang ditetapkan syara’ ada empat yaitu :
1. Ihrozul mubahat, Yaitu memiliki sesuatu
yang boleh dimiliki.
2. Akad
3. Al-Kholafiyah, Yaitu Pewarisan
4. Turunan dari sesuatu yang dimiliki
B. IHRAZUL MUBAHAT
Ihrozul mubahat adalah memiliki
sesuatu (benda) yang menurut syara’ boleh dimiliki. Yang
dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat
juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak
ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di
padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
C. AQAD / AKAD
Akad berasal dari bahasa arab yang artinya perjanjian
atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan
adanya ikatan antara orang yang berakad.
1. Rukun dan Syarat Akad
·
Aqid (Orang
yang melakukan Akad)
·
Ma'qud
‘Alaih (benda yang menjadi objek transaksi)
·
Shighat,
yaitu Ijab dan Qobul (Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan
atau kesepakatan dua pihak yang melakukan akad)
2. Macam macam Akad
Diantara
macam macam akad adalah
a. Berdasarkan segi sah tidaknya, Akad ada
dua macam :
·
Akad shahih,
akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’.
·
Akad tidak
shahih ( Fasidah), akad yang cacat / tidak sempurna.
b. Berdasarkan segi ditetapkan atau
tidaknya oleh syara’ :
·
Akad musamah
, yaitu akad yang telah ditetapkan syara' dan telah ada hukum-hukumnya,
seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
·
Ghair
musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara' dan belum
ditetapkan
c.
Berdasarkan
zat benda yang diakadkan
·
Benda yang
berwujud
·
Benda tidak
berwujud
d.
Berdasarkan
disyariatkan atau tidaknya akad :
·
Akad
musyara'ah ialah akad-akad yang debenarkan syara' seperti gadai dan jual beli.
·
Akad
mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual anak kambing
dalam perut ibunya
e.
Berdasarkan
sifat benda yang menjadi objek dalam akad
·
Akad
ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang
seperti jual beli.
·
Akad ghair
‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan
barang-barang karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah
f.
Berdasarkan
cara melakukannya
·
Akad yang
harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri
oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
·
Akad
ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena
keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya
g.
Berdasarkan
tukar menukar hak
·
Akad
mu'awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual
beli
·
Akad
tabarru'at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan
seperti akad hibah.
·
Akad yang
tabaru'at pada awalnya namun menjadi akad mu'awadhah pada akhirnya seperti akad
qarad dan kafalah
h.
Berdasarkan
harus diganti dan tidaknya
·
Akad dhaman , yaitu akad
yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima
seperti qarad.
·
Akad amanah , yaitu
tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang
benda, seperti titipan.
·
Akad yang
dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang
lain merupakan amanah, seperti rahn.
i.
Berdasarkan
tujuan akad
·
Tamlik:
seperti jual beli
·
mengadakan
usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah
·
tautsiq
(memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah
·
menyerahkan
kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
·
mengadakan
pemeliharaan seperti ida' atau titipan
j.
Berdasarkan
faur dan istimrar
Ø
Akad
fauriyah , yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama,
pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli.
Ø
Akad
istimrar atau zamaniyah , yaitu hukum akad terus berjalan,
seperti I'arah
k.
Berdasarkan
asliyah dan tabi'iyah
Ø
Akad asliyah
yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain
seperti jual beli dan I'arah.
Ø
Akad
tahi'iyah , yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain,
seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
3. Hikmah Akad
a. Adanya ikatan yang kuat diantara dua orang atau lebih
didalam bertransaksi atau memiliki sesuatu
b. Tidak bisa sembarangan dalam membatalkan sesuatu
ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i
c. Akad merupakan payung hukum didalam kepemilikan
sesuatu, sehingga pihak lain tidak bisa menggugat atau memilikinya.
D. KHALAFIYAH
Khalafiyah
artinya pewarisan. Khalafiyah ada dua macam yaitu :
1. Khalafiyah Syakhsyun ‘an Syakhsyin
(Warisan)
2. Khalafiyah Syaa’in ‘an syaa’iin
(Menjamin kerugian)
E. IHYA’U MAWAT AL-ARDH
1. Pengertian Ihya’u Mawat Al-ardh
Ihya’u
Mawat Al-ardh yaitu membuka lahan baru yang belum dibuka/ dikerjakan dan
dimiliki orang lain.
2. Hukum membuka lahan baru
Membuka
lahan baru yang belum yang belum dimiliki atau dijadikan kahan oleh orang lain
.Hukumnya adalah mubah, sabda rasululllah S.A.W
“siapa yang
menyuburkan tanah gersang,maka tanah itu menjadi miliknya”.