BAB
I
PENDAHULUAN
Kemunculan
agama Islam pada awal abad ke-7 di Mekkah, memperlihatkan
kekuatan kepemimpinan umat Islam berganti dari tangan ke tangan
dengan pemimpinnya yang juga disebut “khalifah”,
atau kadang-kadang “amirul mukminin”,
“sultan”, dan sebagainya.
Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik di kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Bani Utsmaniyyah.
Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik di kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Bani Utsmaniyyah.
Besarnya
kekuasaan kekhalifahan Islam telah menjadikannya salah satu kekuatan politik
yang terkuat dan terbesar di dunia pada saat itu. Timbulnya tempat-tempat
pembelajaran ilmu-ilmu agama, filsafat, sains, dan tata bahasa Arab di berbagai
wilayah dunia Islam telah mewujudkan satu kontinuitas kebudayaan Islam yang
agung. Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan bermunculan dari berbagai
negeri-negeri Islam, terutamanya pada zaman keemasan Islam sekitar abad ke-7
sampai abad ke-13 masehi. Luasnya wilayah penyebaran agama Islam dan
terpecahnya kekuasaan kekhalifahan yang sudah dimulai sejak abad ke-8,
menyebabkan munculnya berbagai otoritas-otoritas kekuasaan terpisah yang
berbentuk
“kesultanan”; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan terkenal di dunia.
Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-kesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka bagian dari kekhalifahan Islam.
“kesultanan”; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan terkenal di dunia.
Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-kesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka bagian dari kekhalifahan Islam.
Pada
kurun waktu ke-18 dan ke-19 masehi, banyak kawasan-kawasan Islam jatuh ke
tangan penjajah Eropa. Kesultanan Utsmaniyyah (Kerajaan Ottoman) yang secara
nominal dianggap sebagai kekhalifahan Islam terakhir, akhirnya tumbang selepas
Perang Dunia I.
Kerajaan Ottoman pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad V, karena dianggap kurang tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh Mustafa Kemal Pasha atau Kemal Attaturk, sistem kerajaan dirombak dan diganti menjadi republik.
Kerajaan Ottoman pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad V, karena dianggap kurang tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh Mustafa Kemal Pasha atau Kemal Attaturk, sistem kerajaan dirombak dan diganti menjadi republik.
Berbicara
mengenai wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang jelas hal ini telah
menginspirasikan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk tampil sebagai pemegang
tampuk kekuasaan islam, yang akhirnya berhasil dan mengubah kekuasaan dengan
sistem dinasti dan diberi nama khilafah Bani Umayyah. Dengan segala kelebihan
dan kekurangannya dinasti yang dibentuk mu’awiyah akhirnya dinasti ini runtuh
pula.
Indikasi keruntuhan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah tercium
sepeninggal khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Kedamaian dan ketentraman yang
dirasakan masyarakat berganti dengan kekacauan dan kerusuhan. Keadaan ini terus
berlanjut hingga pucuk pimpinan dinasti ini dipegang khalifah Hisyam ibn Abdul
Malik dan khalifah-khalifah berikutnya. Di sisi lain kelompok oposisi yang
digalang oleh keturunan Abbas ibn Abdul Muthalib yang mendapatkan dukungan dari
golongan mawali (non-Arab) dan Abu Muslim al-Khurasani
menjelma menjadi momok menakutkan, ditambah lagi khalifah-khalifah yang
menggantikan Hisyam Ibn Abdul Malik begitu lemah dan bermoral buruk. Ketika
Marwan Ibn Muhammad naik tahta, Khalifah yang tercatat sebagai khalifah
terakhir dari Bani Umayyah ini karena adanya kekacauan, dia melarikan diri ke
Mesir dan akhirnya terbunuh di sana. Dan pada saat itulah kekhalifahan
berpindah kepada Bani Abbasiyah.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pertumbuhan
Daulah Bani
Umayah mengambil nama keturunan dari Umayah ibnu Abdu Syams ibnu Abdu Manaf. Ia
adalah salah seorang terkemuka dalam persukuan Quraisy pada zaman jahiliyah,
berganding dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdu Manaf. Antara Umayah dan Hasyim
berganding paling keras dalam memperebutkan kedudukan di kalangan Quraisy.
Namun, Umayah mempunyai sebab-sebab kemenangan yang lebih banyak daripada
Hasyim sebab Umayah adalah saudagar, banyak harta dan banyak pula keturunan.
Padahal harta dan keturunan adalah pengkal kemenangan dalam memperebutkan
pengaruh dalam masyarakat suku-suku Arab. Karena kekurangan keturunan itulah,
Abdul Muthalib ibnu Hasyim pernah bernadzar apabila telah cukup sepuluh orang
anak laki-lakinya, seorang akan dikurbankannya pada berhala. Nyaris saja,
anaknya yang bernama Abdullah (ayah Nabi Muhammad saw.) dikurbankan. Syukurlah,
berhala mau menerima tebusan 100 ekor unta.[1]
Bani Umayah merupakan keturunan Umayah,
yang masih memiliki ikatan persaudaraan dengan para pendahulu Nabi. Naiknya bani
Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, salah
seorang keturunan bani umayah dan salah seorang sahabat Nabi, dan ia menjadi
bagian penting dalam setiap masa pemerintahan para khulafa ar-rasyidun.
Pada masa Utsman, Mu’awiyah diduga memiliki hubungan yang kuat dengan Ustman,
sehingga terjebak dengan praktik nepotisme dengan Mu’awiyah. Bahkan kerusakan pemerintahan Utsman akibat nepotismenya kepada Bani
Umayah, sehingga mendapatkan tantangan dari para pendukung Ali.
Disinilah letak kepekaan nalar politik yang dimiliki Mu’awiyah mulai
bekerja. Mu’awiyah pada dasarnya termasuk politisi ulung yang mampu mengambil
posisi kekuasaan dalam setiap masa pemerintahan. Pada masa Ustman, betapa
Mu’awiyah mampu membangun koalisi nepotis dengan Utsman, sehingga Bani Umayah
tetap menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara pada masa-masa Ali, Mu’awiyah
telah mulai melakukan gerakan politik untuk meraih posisi puncak dalam
kekuasaan. Mu’awiyah mampu memanfaatkan kelemahan dan keluguan kekuasaan Ali.
Pada masa Ali masih berkuasa, Mu’awiyah telah memiliki kekuatan penuh,
sehingga pada saat Ali terbunuh, Mu’awiyah langsung mengambil alih kekuasaan
dengan sangat mudah dan terkordinasi dengan baik. Salah satu kepekaan nalar
politik Mu’awiyah ialah mampu belajar pada pengalaman yang terjadi pada tiga
khalifah sebelumnya, yang berakhir dengan pembunuhan. Pilihan memindahkan
kekuasaan ke luar Jazirah Arab, menunjukkan sikap dan kecerdasan politik
Mu’awiyah dalam menghindari pergolakan antar kubu yang sangat tragis di
kalangan umat Islam di jazirah Arab bahkan sebagai upaya untuk menghindari
tragedi pembunuhan yang dilakukan terhadap tiga khalifah sebelumnya. Akhirnya,
Mu’awiyah dan dinastinya mengendalikan kekuasaannya dari luar jazirah Arab,
mencoba bersebarangan dengan para pendahulu-pendahulunya yang berkonsentrasi di
wilayah jazirah Arab. Menurut H.A.R. Gibb : Mulai tahun 660 M. ibu kota
kerajaan Arab dipindahkan ke Damaskus, tempat kedudukan baru khilafah Bani
Umayah, sedangkan Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam,
pemerintah dan kehidupan umum kerajaan dipengaruhi oleh dapat istiadat Yunani
Romawi Timur.
“Throughout all Syria the
Christians were well treated under the have already learned, Mu'awiyah's wife
was a Christian, as were his poet, physician and secretary of finance. We read
of only one conspicuous exception, that of al-Walid I, who put to death the
chief of the Christian Arab tribe of the banu-Taghlib for refusing to profess
Islam.1 Even in Egypt Copts rose several times against their Moslem overlords
before they finally succumbed in the days of the 'Abbasid al-Ma'miin (813-33)”[2]
B. Sistem Pergantian Khalifah
Pada masa-masa Awal Mu’awiyah menjadi penguasa, kekuasaan masih berjalan secara demokratis, tetapi setelah berjalan dalam
beberapa waktu, Mu’awiyah mengubah model pemerintahnya dengan model
pemerintahan monarchiheredetis (kerajaan turun temurun).[3] yaitu sebagai berikut:
NO
|
NAMA
|
MASA BERKUASA
|
1
|
Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan
|
661-681 M
|
2
|
Yazid ibn Mu’awiyah
|
681-683 M
|
3
|
Mua’wiyah ibnu Yazid
|
683-685 M
|
4
|
Marwan ibnu Hakam
|
684-685M.
|
5
|
Abdul Malik ibn Marwan
|
685-705 M
|
6
|
Al-Walid ibnu Abdul Malik
|
705-715 M
|
7
|
Sulaiman ibnu Abdul Malik
|
715-717 M
|
8
|
Umar ibnu Abdul Aziz
|
717-720 M
|
9
|
Yazid ibnu Abdul Malik
|
720-824 M
|
10
|
Hisyam ibnu Abdul Malik
|
724-743 M
|
11
|
Walid ibn
Yazid
|
734-744 M
|
12
|
Yazid ibn
Walid [ Yazid III]
|
744 M
|
13
|
Ibrahim ibn Malik
|
744 M
|
14
|
Marwan ibn Muhammad
|
745-750 M
|
Sumber : Philip
K. Hitti, “History Of The Arabs : Tenth
Edition” The subjoined tree shows the connection of
the lines of caliphs hlm.184
C. Peradaban yang dicapai
1.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Pemerintahan dinasti Bani
Umayyah yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang
sangat kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para
cendikiawan sebagai tempat mengadu. Bahkan mereka menyediakan dana khusus untuk
para ulama dan filosof.[4]
Penghormatan kepada ulama karena didorong oleh semangat keagamaan mereka. Pada
periode ini belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah
biasanya akan di sekolahkan ke Badiyah (pedesaan), gurun Suriah. Kesanalah
Muawiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya (Yazid).
Di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, para da’i Islam dikirim ke berbagai negara seperti India, Turki, Asia Tengah, Afrika, Andalusia dan sebagainya dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Waktu itu, beliau memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong mempelajari hukum Islam di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Kemudian ia menyuruh golongan cendikiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani dan Latin ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu tersebut dapat dicerna oleh umat Islam.
Di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, para da’i Islam dikirim ke berbagai negara seperti India, Turki, Asia Tengah, Afrika, Andalusia dan sebagainya dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Waktu itu, beliau memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong mempelajari hukum Islam di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Kemudian ia menyuruh golongan cendikiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani dan Latin ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu tersebut dapat dicerna oleh umat Islam.
Dan
di masa Umar bin Abd Aziz inilah beliau menginstruksikan untuk mentadwinkan
(mengumpulkan) kitab-kitab hadits.[5]
Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu pada masa Bani Umayyah masih seperti
zaman Khulafaurrasyidin, yaitu Damaskus, Kuffah, Basrah, Mekkah, Madinah dan
Mesir. Ilmu pengetahuan pada masa itu terbagi menjadi dua yaitu;
a. Al-Adaabul
Hadisah (ilmu-ilmu baru) yang terdiri dari dua bagian, yaitu:
1) Al-Ulumul
Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadits, al-Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah,
at-Tarikh dan al-Jugrafi
2) Al-Ulumul
Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti
Filsafat, dan lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
b. Al-Adaabul
Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliyah dan
di zaman khulafaurrasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah dan
amsaal.[6]
Adapun
tokoh-tokoh ilmu pengetahuan di antaranya Abu al-Aswad al-Du’ali (perintis tata
bahasa), al-Khalil ibn Ahmad (penyusun Kitab al-Ayn), Hasan al-Bashri, Ibn
Syihab al-Zuhri, Amir ibn Syarahil al-Sya’bi, Abu Hanifah, Abid ibn Syaryah dan
Wahb ibn Munabbih.[7]
2.
Bidang Ekonomi
Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah
Baitul-Mal (tempat untuk menyimpan kekayaan Negara) sebagai kas perbendaharaan
Negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Baitul-Mal tersebut
yang dikordinir oleh Diwan al-Kharaj (dewan yang mengurusi pajak tanah). Hasil
bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5% ke pemerintah, sedangkan pajak
untuk setiap transaksi disetor sebesar 10%. Khusus barang dagangan yang
nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan pajak.
Sumber dana lain untuk pengisian
Baitul-Mal adalah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang
daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Dana-dana tersebut digunakan untuk
pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur-sumur di
sepanjang jalan dan pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan
hanya pada suatu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke
daerah-daerah secara adil.[8]
Kemudian kebijakan yang strategis pada masa dinasti Bani Umayyah adalah adanya
sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa khalifah Abdul Malik. Dia
mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang diipakai di daerah-daerah
yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M
dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas
dan perak sebagai lambing kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada
sebelumnya.
3.
Bidang Administrasi
Administrasi pemerintahan Bani Umayyah
telah nampak pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di
Damaskus. Muawiyah dikenal dalam kepemimpinannya karena dalam dirinya terkumpul
sifat seorang politikus dan administrator.Di zaman ini pertama dikenalkan
materai resmi untuk mengirimkan memorandum yang berasal dari Khalifah serta
pertama kali menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan
cepat.
Penambahan administrasi pemerintahan
besar-besaran terjadi pula pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia
melakukan pembenahan administrasi negara dengan memerintahkan para pejabat
negara menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi dalam
pemerintahan. Hal tersebut pertaama kali diterapkan di Syiria dan Irak,
kemudian di Mesir dan Persia.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Khalifah Bani
Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab yang meliputi:
a. Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan
pembesar-pembesar setempat.
b. Katib al-Kharraj yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara.
c. Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
d. Katib asy-Syurthah yaitu sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e. Katib al- Qadhi yaitu sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan
hakim setempat.[9]
Demikianlah kemajuan-kemajuan yang dicapai
dinasti Bani Umayyah yang tentunya membawa sebuah perubahan besar dalam
perkembangan sejarah peradaban Islam. Hal ini setidaknya tercermin pada masa Muawiyah
ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn
Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abd
al-Malik (724-743 M).
d. Kemunduran Bani Umayyah
Selama
berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, penguasa Bani Umayah, sejak Umayah
berkuasa harus diakui telah banyak memberikan sesuatu yang berarti bagi Islam.
Tetapi, kekuasaan yang dibangun dengan cara-cara yang keras dan kasar seperti
yang dilakukan oleh Mu’awiyah seperti pasa saat ia merebut kekkuasaan, dan
ditambah lagi dengan pola suksesi yang bersifat keluargaan telah memunculkan
perlawanan yang keras dari lawan-lawan politik Bani Umaya. Sejak sepeninggal
Hisyam ibnu Abd Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah terus mengalami melemah,
bukan hanya moral tetap juga lemah dalam kekuataan politik. Kelemahn ini tentu saja terus dimanfaatkan dengan baik oleh musuh-musuh
Bani Umayah untuk dihancurkan, dan segera diganti.
Beberapa faktor yang menjadi akar melemah dan hancurnya Bani Umayah, antara
lain :
a. Perselisihan
antar keluarga khalifah.
Perselisihan antar keluarga khalifah, yaitu para putra
mahkota yang menjadikan rapuhnya kekuatan kekhalifaan. Apabila yang pertama
memegang kekuasaan, maka ia berusaha untuk mengasingkan yang lain dan
menggantikannya dengan anaknya sendiri. Hal ini menimbulkan permusuhan dalam
keluarga dan tidak hanya terbatas pada tingkat khalifah dan gebernur saja.
Menurut Philip K.Hitti, sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah
suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas,
pergantian khalifah itu tidak jelas. Ketidakjelasan pergantian ini
mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota
keluarga istana.[10]
b.
Moralitas Khalifah atau gebernur yang jauh
dari konsep Islam
Kekayaan
Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gebernur untuk hidup
berfoya-foya, bersuka ria dalam kemewahan, terutama pada masa Khalifah Yazid II
naik tahta. Ia terpikat pada dua biduanitanya, Sallamah dan Hababah serta suka
minum minuman keras yang berlebihan. Namun gelar peminum terhebat dipegang
anaknya, al-Walid II yang terkenal keras kepala dan suka berfoya-foya. Ia
diriwayatkan terbiasa berendam di kolam anggur, yang biasa ia minum airnya hingga
kedalamannya berkurang. Kemudian para wazir dan panglima Bani Umayyah sudah
mulai korupsi dan mengendalikan negara karena para khalifah pada saat itu
sangat lemah.[11]
c. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd
Thalib yang
mendapatkan dukungan dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali.[12]
d. Akhir kehancuran Dinasti Umayah, dimulai oleh pembunuhan terhadap khalifah
Marwan
yang dilakukan oleh Abul Abbas as-Shaffah, setelah itu ia menjadi khalifah
dalam kekuasaan umata Islam. Kemudian kelompok Abul Abbas, beralih
menghancurkan Yazid bin Umar bin Hubairah, yang merupakan benteng terakhir
kekuasaan dinasti Umayah.[13]
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses berdirinya
kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Usman bin Affan tewas terbunuh
oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu
khalifah Usman Bin Affan dianggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasan Islam. Masyarakat Madinah, khususnya para sahabat besar seperti
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwan mendatangi sahabatnya Ali bin Abi
Thalib untuk menjadi khalifahan pengganti Usman bin Affan. Permintaan itu
dipertimbangkan dengan masa dan akhirnya Ali bin Abi Thalib menerima tawaran
tersebut. Keadaan sosial politik pada awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib sangat
tidak stabil karena Usman bin Affan banyak terjadi pemberontakan dimana-mana.
Pemberontakan- pemberontakan itu tidak dapat diselelesaikan hingga akhir
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali bin Abi Thalib wafat karena
terbunuh oleh ibnu Muljam, salah satu anggota khawarij (661 M), kekhalifahan
dialihkan kepada putranya yaitu Hasan bin Ali. Di tengah- tengah pemerintahan,
Hasan semakin lemah dan Muawiyah semakin kuat. Dan akhirnya Hasan mengadakan
perjanjian damai dengan muawiyah. Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari
Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti
Umayyah di bawah pimpinan khalifah yang pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Gaya dan corak
kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan
masa- masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafadin Rasyidin. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipililh secara demokratis dengan kepemimpinan
karismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara
langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Hereditas,
yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran.
Faktor- faktor itu antara lain:
a. Sistem pergantian
khalifah melalui garis keturunan.
b. Penindasan yang terus menerus
terhadap pengikut Ali bin Abi Thalib pada
khususnya dan Bani Hasyim pada umumnya.
c. Pertentangan
etnis antara Bani Qads dan Bani Kalb yang sudah ada sejak zaman
sebelum Islam, makkin meruncing,
sehingga sulit untuk menggalang persatuan dan kesatuan, serta memandang rendah
kaummuslim bukan arab (Mawali), sehingga mereka tidak diberi kesempatan
pemerintahan.
d. Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah yang disebabkan oleh sikap hidup
mewah di antara para khalifahnya.
e. Adanya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas, yang mendapat
dukungan dari Bani Hasyim dan golongan
syi’ah, serta kaum Mawali yang merasa
dikelas duakan oleh pemerintahan Bani
Umayyah.
B. Saran
Perlu kiranya mengambil intisari dari kisah perjalanan
Bani Umayyah yang diharapkan mampu membuka fikiran kita untuk terus belajar dan
mempedomani kebaikan dari masa lalu
DAFTAR
PUSTAKA
Azizah. “Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah)”, (Nusantara
Press :
Yogyakarta,
2011)
Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas
Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst
Kontemporer
(Bandung, Rosda, 2004)
Badri Yatim, MA, “Sejarah Peradaban Islam” (Jakarta, PT. Grafindo Persada,
1998)
Hamka. “Sejarah
Umat Islam : Pra-Kenabian hingga Islam ke Nusantara” (Gema
Insani : Jakarta, 2016)
Hisyam. “Sejarah Kebudayaan Islam. Cet IV.” (Bulan Bintang : Jakarta, 1993)
Muhammad S. Islam “Pengantar Ilmu Hadis. Cet I.” (Angkasa
: Bandung, 1988)
Philip K. Hitti,
“History Of The Arabs : Tenth Edition” (Macmillan Publisher LTD : London,
1970)
Philip K. Hitti. “History of Arabs. Terjemahan cecep Lukman yasin.” (Serambi Ilmu
Semesta
:
Jakarta, 2005)
Siti Maryam. “Sejarah Peradaban Islam”, (Lesfi : Yogyakarta, 2003)
[1] Prof. Dr. Hamka. “Sejarah Umat Islam : Pra-Kenabian hingga
Islam ke Nusantara” (Gema Insani : Jakarta, 2016), hlm.189
[2] Philip K. Hitti, “History Of The Arabs : Tenth Edition” (Macmillan Publisher LTD :
London, 1970), hlm.233-234
[3] Drs.
Badri Yatim, M.A, “Sejarah
Peradaban Islam” (Jakarta,
PT. Grafindo Persada, 1998), hlm. 42
[4] Hisyam.
“Sejarah Kebudayaan Islam. Cet IV.”
(Bulan Bintang : Jakarta, 1993), hlm. 196
[7] Philip
K. Hitti. “History of Arabs. Terjemahan
cecep Lukman yasin.” (Serambi Ilmu Semesta : Jakarta, 2005), hlm. 302-305
[8] Siti
Maryam. “Sejarah Peradaban Islam”, (Lesfi
: Yogyakarta, 2003), hlm. 81-82
[9] Azizah.
“Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti
Umayyah)”, (Nusantara Press : Yogyakarta, 2011), hlm. 99
[10] Ibid. (History Of The Arabs). Hal 352
[12] Drs.
Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst
Kontemporer (Bandung, Rosda, 2004), hlm. 48-49
[13] Ibid. hlm. 44
0 komentar:
Post a Comment