Music

Sunday, 4 December 2016

BANI UMAYYAH : SEJARAH PERTUMBUHAN PERADABAN YANG DICAPAI DAN KEMUNDURAN

BAB I
PENDAHULUAN

Kemunculan agama Islam pada awal abad ke-7 di Mekkah, memperlihatkan kekuatan kepemimpinan umat Islam berganti dari tangan ke tangan dengan pemimpinnya yang juga disebut “khalifah”, atau kadang-kadang “amirul mukminin”, “sultan”, dan sebagainya.
Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik di kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Bani Utsmaniyyah.
Besarnya kekuasaan kekhalifahan Islam telah menjadikannya salah satu kekuatan politik yang terkuat dan terbesar di dunia pada saat itu. Timbulnya tempat-tempat pembelajaran ilmu-ilmu agama, filsafat, sains, dan tata bahasa Arab di berbagai wilayah dunia Islam telah mewujudkan satu kontinuitas kebudayaan Islam yang agung. Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan bermunculan dari berbagai negeri-negeri Islam, terutamanya pada zaman keemasan Islam sekitar abad ke-7 sampai abad ke-13 masehi. Luasnya wilayah penyebaran agama Islam dan terpecahnya kekuasaan kekhalifahan yang sudah dimulai sejak abad ke-8, menyebabkan munculnya berbagai otoritas-otoritas kekuasaan terpisah yang berbentuk
“kesultanan”; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan terkenal di dunia.
Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-kesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka bagian dari kekhalifahan Islam.
Pada kurun waktu ke-18 dan ke-19 masehi, banyak kawasan-kawasan Islam jatuh ke tangan penjajah Eropa. Kesultanan Utsmaniyyah (Kerajaan Ottoman) yang secara nominal dianggap sebagai kekhalifahan Islam terakhir, akhirnya tumbang selepas Perang Dunia I.
Kerajaan Ottoman pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad V, karena dianggap kurang tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh Mustafa Kemal Pasha atau Kemal Attaturk, sistem kerajaan dirombak dan diganti menjadi republik.
Berbicara mengenai wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang jelas hal ini telah menginspirasikan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk tampil sebagai pemegang tampuk kekuasaan islam, yang akhirnya berhasil dan mengubah kekuasaan dengan sistem dinasti dan diberi nama khilafah Bani Umayyah. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya dinasti yang dibentuk mu’awiyah akhirnya dinasti ini runtuh pula.
Indikasi keruntuhan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah tercium sepeninggal khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Kedamaian dan ketentraman yang dirasakan masyarakat berganti dengan kekacauan dan kerusuhan. Keadaan ini terus berlanjut hingga pucuk pimpinan dinasti ini dipegang khalifah Hisyam ibn Abdul Malik dan khalifah-khalifah berikutnya. Di sisi lain kelompok oposisi yang digalang oleh keturunan Abbas ibn Abdul Muthalib yang mendapatkan dukungan dari golongan mawali (non-Arab) dan Abu Muslim al-Khurasani menjelma menjadi momok menakutkan, ditambah lagi khalifah-khalifah yang menggantikan Hisyam Ibn Abdul Malik begitu lemah dan bermoral buruk. Ketika Marwan Ibn Muhammad naik tahta, Khalifah yang tercatat sebagai khalifah terakhir dari Bani Umayyah ini karena adanya kekacauan, dia melarikan diri ke Mesir dan akhirnya terbunuh di sana. Dan pada saat itulah kekhalifahan berpindah kepada Bani Abbasiyah.























BAB 2
PEMBAHASAN

A.   Sejarah Pertumbuhan
Daulah Bani Umayah mengambil nama keturunan dari Umayah ibnu Abdu Syams ibnu Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang terkemuka dalam persukuan Quraisy pada zaman jahiliyah, berganding dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdu Manaf. Antara Umayah dan Hasyim berganding paling keras dalam memperebutkan kedudukan di kalangan Quraisy. Namun, Umayah mempunyai sebab-sebab kemenangan yang lebih banyak daripada Hasyim sebab Umayah adalah saudagar, banyak harta dan banyak pula keturunan. Padahal harta dan keturunan adalah pengkal kemenangan dalam memperebutkan pengaruh dalam masyarakat suku-suku Arab. Karena kekurangan keturunan itulah, Abdul Muthalib ibnu Hasyim pernah bernadzar apabila telah cukup sepuluh orang anak laki-lakinya, seorang akan dikurbankannya pada berhala. Nyaris saja, anaknya yang bernama Abdullah (ayah Nabi Muhammad saw.) dikurbankan. Syukurlah, berhala mau menerima tebusan 100 ekor unta.[1]
Bani Umayah merupakan keturunan Umayah, yang masih memiliki ikatan persaudaraan dengan para pendahulu Nabi. Naiknya bani Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, salah seorang keturunan bani umayah dan salah seorang sahabat Nabi, dan ia menjadi bagian penting dalam setiap masa pemerintahan para khulafa ar-rasyidun. Pada masa Utsman, Mu’awiyah diduga memiliki hubungan yang kuat dengan Ustman, sehingga terjebak dengan praktik nepotisme dengan Mu’awiyah. Bahkan kerusakan pemerintahan Utsman akibat nepotismenya kepada Bani Umayah, sehingga mendapatkan tantangan dari para pendukung Ali.
Disinilah letak kepekaan nalar politik yang dimiliki Mu’awiyah mulai bekerja. Mu’awiyah pada dasarnya termasuk politisi ulung yang mampu mengambil posisi kekuasaan dalam setiap masa pemerintahan. Pada masa Ustman, betapa Mu’awiyah mampu membangun koalisi nepotis dengan Utsman, sehingga Bani Umayah tetap menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara pada masa-masa Ali, Mu’awiyah telah mulai melakukan gerakan politik untuk meraih posisi puncak dalam kekuasaan. Mu’awiyah mampu memanfaatkan kelemahan dan keluguan kekuasaan Ali.
Pada masa Ali masih berkuasa, Mu’awiyah telah memiliki kekuatan penuh, sehingga pada saat Ali terbunuh, Mu’awiyah langsung mengambil alih kekuasaan dengan sangat mudah dan terkordinasi dengan baik. Salah satu kepekaan nalar politik Mu’awiyah ialah mampu belajar pada pengalaman yang terjadi pada tiga khalifah sebelumnya, yang berakhir dengan pembunuhan. Pilihan memindahkan kekuasaan ke luar Jazirah Arab, menunjukkan sikap dan kecerdasan politik Mu’awiyah dalam menghindari pergolakan antar kubu yang sangat tragis di kalangan umat Islam di jazirah Arab bahkan sebagai upaya untuk menghindari tragedi pembunuhan yang dilakukan terhadap tiga khalifah sebelumnya. Akhirnya, Mu’awiyah dan dinastinya mengendalikan kekuasaannya dari luar jazirah Arab, mencoba bersebarangan dengan para pendahulu-pendahulunya yang berkonsentrasi di wilayah jazirah Arab. Menurut H.A.R. Gibb : Mulai tahun 660 M. ibu kota kerajaan Arab dipindahkan ke Damaskus, tempat kedudukan baru khilafah Bani Umayah, sedangkan Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam, pemerintah dan kehidupan umum kerajaan dipengaruhi oleh dapat istiadat Yunani Romawi Timur.
“Throughout all Syria the Christians were well treated under the have already learned, Mu'awiyah's wife was a Christian, as were his poet, physician and secretary of finance. We read of only one conspicuous exception, that of al-Walid I, who put to death the chief of the Christian Arab tribe of the banu-Taghlib for refusing to profess Islam.1 Even in Egypt Copts rose several times against their Moslem overlords before they finally succumbed in the days of the 'Abbasid al-Ma'miin (813-33)”[2]
B.  Sistem Pergantian Khalifah
Pada masa-masa Awal Mu’awiyah menjadi penguasa, kekuasaan masih berjalan secara demokratis, tetapi setelah berjalan dalam beberapa waktu, Mu’awiyah mengubah model pemerintahnya dengan model pemerintahan monarchiheredetis (kerajaan turun temurun).[3] yaitu sebagai berikut:
NO
NAMA
MASA BERKUASA
1
Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan
661-681 M
2
Yazid ibn Mu’awiyah
681-683 M
3
Mua’wiyah ibnu Yazid
683-685 M
4
Marwan ibnu Hakam
684-685M.
5
Abdul Malik ibn Marwan
685-705 M
6
Al-Walid ibnu Abdul Malik
705-715 M
7
Sulaiman ibnu Abdul Malik
715-717 M
8
Umar ibnu Abdul Aziz
717-720 M
9
Yazid ibnu Abdul Malik
720-824 M
10
Hisyam ibnu Abdul Malik
724-743 M
11
Walid ibn Yazid
734-744 M
12
Yazid ibn Walid [ Yazid III] 
744 M
13
Ibrahim ibn Malik
744 M
14
Marwan ibn Muhammad
745-750 M

 
















Sumber : Philip K. Hitti, “History Of The Arabs : Tenth Edition” The subjoined tree shows the connection of the lines of caliphs hlm.184







C. Peradaban yang dicapai
1.         Bidang Ilmu Pengetahuan
Pemerintahan dinasti Bani Umayyah yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang sangat kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para cendikiawan sebagai tempat mengadu. Bahkan mereka menyediakan dana khusus untuk para ulama dan filosof.[4] Penghormatan kepada ulama karena didorong oleh semangat keagamaan mereka. Pada periode ini belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan di sekolahkan ke Badiyah (pedesaan), gurun Suriah. Kesanalah Muawiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya (Yazid).
Di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, para da’i Islam dikirim ke berbagai negara seperti India, Turki, Asia Tengah, Afrika, Andalusia dan sebagainya dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Waktu itu, beliau memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong mempelajari hukum Islam di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Kemudian ia menyuruh golongan cendikiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani dan Latin ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu tersebut dapat dicerna oleh umat Islam.
Dan di masa Umar bin Abd Aziz inilah beliau menginstruksikan untuk mentadwinkan (mengumpulkan) kitab-kitab hadits.[5] Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu pada masa Bani Umayyah masih seperti zaman Khulafaurrasyidin, yaitu Damaskus, Kuffah, Basrah, Mekkah, Madinah dan Mesir. Ilmu pengetahuan pada masa itu terbagi menjadi dua yaitu; 
a.       Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru) yang terdiri dari dua bagian, yaitu: 
1)      Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadits, al-Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jugrafi
2)      Al-Ulumul Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti Filsafat, dan lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
b.      Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliyah dan di zaman khulafaurrasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah dan amsaal.[6]
Adapun tokoh-tokoh ilmu pengetahuan di antaranya Abu al-Aswad al-Du’ali (perintis tata bahasa), al-Khalil ibn Ahmad (penyusun Kitab al-Ayn), Hasan al-Bashri, Ibn Syihab al-Zuhri, Amir ibn Syarahil al-Sya’bi, Abu Hanifah, Abid ibn Syaryah dan Wahb ibn Munabbih.[7] 
2.      Bidang Ekonomi 
Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah Baitul-Mal (tempat untuk menyimpan kekayaan Negara) sebagai kas perbendaharaan Negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Baitul-Mal tersebut yang dikordinir oleh Diwan al-Kharaj (dewan yang mengurusi pajak tanah). Hasil bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5% ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi disetor sebesar 10%. Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan pajak.
Sumber dana lain untuk pengisian Baitul-Mal adalah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Dana-dana tersebut digunakan untuk pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur-sumur di sepanjang jalan dan pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan hanya pada suatu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke daerah-daerah secara adil.[8] Kemudian kebijakan yang strategis pada masa dinasti Bani Umayyah adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang diipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambing kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya.
3.      Bidang Administrasi 
Administrasi pemerintahan Bani Umayyah telah nampak pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus. Muawiyah dikenal dalam kepemimpinannya karena dalam dirinya terkumpul sifat seorang politikus dan administrator.Di zaman ini pertama dikenalkan materai resmi untuk mengirimkan memorandum yang berasal dari Khalifah serta pertama kali menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan cepat.
Penambahan administrasi pemerintahan besar-besaran terjadi pula pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia melakukan pembenahan administrasi negara dengan memerintahkan para pejabat negara menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi dalam pemerintahan. Hal tersebut pertaama kali diterapkan di Syiria dan Irak, kemudian di Mesir dan Persia. 
Dalam menjalankan pemerintahannya, Khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab yang meliputi:
a.  Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b.  Katib al-Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara.
c. Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
d. Katib asy-Syurthah yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e.  Katib al- Qadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.[9]
Demikianlah kemajuan-kemajuan yang dicapai dinasti Bani Umayyah yang tentunya membawa sebuah perubahan besar dalam perkembangan sejarah peradaban Islam. Hal ini setidaknya tercermin pada masa Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724-743 M). 
d.  Kemunduran Bani Umayyah
Selama berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, penguasa Bani Umayah, sejak Umayah berkuasa harus diakui telah banyak memberikan sesuatu yang berarti bagi Islam. Tetapi, kekuasaan yang dibangun dengan cara-cara yang keras dan kasar seperti yang dilakukan oleh Mu’awiyah seperti pasa saat ia merebut kekkuasaan, dan ditambah lagi dengan pola suksesi yang bersifat keluargaan telah memunculkan perlawanan yang keras dari lawan-lawan politik Bani Umaya. Sejak sepeninggal Hisyam ibnu Abd Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah terus mengalami melemah, bukan hanya moral tetap juga lemah dalam kekuataan politik. Kelemahn ini tentu saja terus dimanfaatkan dengan baik oleh musuh-musuh Bani Umayah untuk dihancurkan, dan segera diganti.
Beberapa faktor yang menjadi akar melemah dan hancurnya Bani Umayah, antara lain :
a.       Perselisihan antar keluarga khalifah.
Perselisihan antar keluarga khalifah, yaitu para putra mahkota yang menjadikan rapuhnya kekuatan kekhalifaan. Apabila yang pertama memegang kekuasaan, maka ia berusaha untuk mengasingkan yang lain dan menggantikannya dengan anaknya sendiri. Hal ini menimbulkan permusuhan dalam keluarga dan tidak hanya terbatas pada tingkat khalifah dan gebernur saja. Menurut Philip K.Hitti, sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas, pergantian khalifah itu tidak jelas. Ketidakjelasan pergantian ini mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.[10]
b.       Moralitas Khalifah atau gebernur yang jauh dari konsep Islam
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gebernur untuk hidup berfoya-foya, bersuka ria dalam kemewahan, terutama pada masa Khalifah Yazid II naik tahta. Ia terpikat pada dua biduanitanya, Sallamah dan Hababah serta suka minum minuman keras yang berlebihan. Namun gelar peminum terhebat dipegang anaknya, al-Walid II yang terkenal keras kepala dan suka berfoya-foya. Ia diriwayatkan terbiasa berendam di kolam anggur, yang biasa ia minum airnya hingga kedalamannya berkurang. Kemudian para wazir dan panglima Bani Umayyah sudah mulai korupsi dan mengendalikan negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.[11]
c.       Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd Thalib yang
mendapatkan dukungan dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali.[12]
d.       Akhir kehancuran Dinasti Umayah, dimulai oleh pembunuhan terhadap khalifah Marwan
yang dilakukan oleh Abul Abbas as-Shaffah, setelah itu ia menjadi khalifah dalam kekuasaan umata Islam. Kemudian kelompok Abul Abbas, beralih menghancurkan Yazid bin Umar bin Hubairah, yang merupakan benteng terakhir kekuasaan dinasti Umayah.[13]



BAB 3
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Proses berdirinya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Usman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Usman Bin Affan dianggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasan Islam. Masyarakat Madinah, khususnya para sahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwan mendatangi sahabatnya Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifahan pengganti Usman bin Affan. Permintaan itu dipertimbangkan dengan masa dan akhirnya Ali bin Abi Thalib menerima tawaran tersebut. Keadaan sosial politik pada awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib sangat tidak stabil karena Usman bin Affan banyak terjadi pemberontakan dimana-mana. Pemberontakan- pemberontakan itu tidak dapat diselelesaikan hingga akhir kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali bin Abi Thalib wafat karena terbunuh oleh ibnu Muljam, salah satu anggota khawarij (661 M), kekhalifahan dialihkan kepada putranya yaitu Hasan bin Ali. Di tengah- tengah pemerintahan, Hasan semakin lemah dan Muawiyah semakin kuat. Dan akhirnya Hasan mengadakan perjanjian damai dengan muawiyah. Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah yang pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa- masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafadin Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipililh secara demokratis dengan kepemimpinan karismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Hereditas, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran. Faktor- faktor itu antara lain:
a. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan.
b. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali bin Abi Thalib pada
    khususnya dan Bani Hasyim pada umumnya.
c. Pertentangan etnis antara Bani Qads dan Bani Kalb yang sudah ada sejak zaman
sebelum Islam, makkin meruncing, sehingga sulit untuk menggalang persatuan dan kesatuan, serta memandang rendah kaummuslim bukan arab (Mawali), sehingga mereka tidak diberi kesempatan pemerintahan.
d. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah yang disebabkan oleh sikap hidup
    mewah di antara para khalifahnya.
e. Adanya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas, yang mendapat
    dukungan dari Bani Hasyim dan golongan syi’ah, serta kaum Mawali yang merasa
    dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
B.     Saran
Perlu kiranya mengambil intisari dari kisah perjalanan Bani Umayyah yang diharapkan mampu membuka fikiran kita untuk terus belajar dan mempedomani kebaikan dari masa lalu






















DAFTAR PUSTAKA

Azizah. “Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah)”, (Nusantara Press :
Yogyakarta, 2011)
Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst
Kontemporer (Bandung, Rosda, 2004)
Badri Yatim, MA, “Sejarah Peradaban Islam” (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1998)
Hamka. “Sejarah Umat Islam : Pra-Kenabian hingga Islam ke Nusantara” (Gema
Insani : Jakarta, 2016)
Hisyam. “Sejarah Kebudayaan Islam. Cet IV.” (Bulan Bintang : Jakarta, 1993)
Muhammad S. Islam “Pengantar Ilmu Hadis. Cet I.” (Angkasa : Bandung, 1988)
Philip K. Hitti, “History Of The Arabs : Tenth Edition” (Macmillan Publisher LTD : London,
1970)
Philip K. Hitti. “History of Arabs. Terjemahan cecep Lukman yasin.” (Serambi Ilmu Semesta
: Jakarta, 2005)
Siti Maryam. “Sejarah Peradaban Islam”, (Lesfi : Yogyakarta, 2003)




[1] Prof. Dr. Hamka. “Sejarah Umat Islam : Pra-Kenabian hingga Islam ke Nusantara” (Gema Insani : Jakarta, 2016), hlm.189
[2] Philip K. Hitti, “History Of The Arabs : Tenth Edition” (Macmillan Publisher LTD : London, 1970), hlm.233-234
[3] Drs. Badri Yatim, M.A, “Sejarah Peradaban Islam” (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1998), hlm. 42
[4] Hisyam. “Sejarah Kebudayaan Islam. Cet IV.” (Bulan Bintang : Jakarta, 1993), hlm. 196 
[5] Islam, Muhammad S. “Pengantar Ilmu Hadis. Cet I.” (Angkasa : Bandung, 1988), hlm 15. 
[6] Ibid, (Sejarah Kebudayaan Islam) hlm. 183
[7] Philip K. Hitti. “History of Arabs. Terjemahan cecep Lukman yasin.” (Serambi Ilmu Semesta : Jakarta, 2005), hlm. 302-305 
[8] Siti Maryam. “Sejarah Peradaban Islam”, (Lesfi : Yogyakarta, 2003), hlm. 81-82
[9] Azizah. “Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah)”, (Nusantara Press : Yogyakarta, 2011), hlm. 99 
[10] Ibid. (History Of The Arabs). Hal 352 
[11] Ibid. (Sejarah peradaban Islam). Hal 45 
[12] Drs. Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst Kontemporer (Bandung, Rosda, 2004), hlm. 48-49
[13] Ibid. hlm. 44

0 komentar:

Post a Comment