Pemikiran
Ibnu Taimiyah banya diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain
Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa
ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah fi al-Islam.
1. Harga yang Adil, Mekanisme Pasar dan
Regulasi Harga
a.
Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada
hakekatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Alquran sendiri
sangat menekankan kedilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia.oleh karena
itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar,
khususnya harga. Barkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw menggolongkan riba
sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga yang adil
juga telah disebutkan dalam bebarapa hadits nabi dalam konteks kompensasi
seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan
budaknya. Sekalipun penggunaan istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran
islam, Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus
terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan
dengan harga, ia sering kali menggunakan dua istilah, yaitu kompensasi yang
setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ia menyatakan,
“kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir
oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs Al-adl)
ditempat lain, ia membedakan antara dua jenis
harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan
disukai. Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang adil.
Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara bergantian.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang
setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl).persoalan
tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika
mengupas persoalan kewajiban moral dan hokum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini
terkandung dalam beberapa kasus berikut.
(a). ketika seseorang harus bertanggung
jawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta atau keuntungan.
(b). ketika seseorang mempunyai kewajiban
untuk membayar kembali sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau
membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian oran g.
prinsip
umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran, kompensasi dan kewajiban
finansial lainnya. Misalnya:
(a). hadiah yang diberikan oleh Gubernur
kepada orang-orang muslim, anak-anak yatim dan wakaf.
(b). kompensasi oleh agen bisnis yang
menjadi wakil unuk melakukan pembayaran kompensasi.
Dalam
mendefinisikan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl), Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dari
objek khusus dimaksud, dalam pemakaian yang umum(urf). Hal ini juga terkait
dengan tingkat harga (si’r) dan kebiasaan (‘adah), lebih jauh, ia mengemukakan
bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi
dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara.
Ibnu
Taimiyah membedakan antara legal-etik dengan aspek ekonomi dari suatu harga
yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari
sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Ia
menyatakan .
“sering kali terjadi ambiguitas dikalangan
para fuquha dan mereka saling berdebat tentang karakteristikdari suatu harga
yang setara, terutama yang berkaitan dengan jenis (jins) dan kuantitas
(miqdar).
Tentang
perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang adil, ia menjelaskan,
“Jumlah yang tertera dalam suatu akad ada
dua macam. Pertama,jumlah yang telah dikenal baik dikalangan masyarakat. Jenis
ini telah dapat diterima secara umum.kedua, jenis yang tidak lazim sebagai
akibat dari adanya peningkatan atau penurunan kemauan(righbah) atau faktor
lainnya. Hal ini dinyatakan sebagai harga yang setara.
Tampak
jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa
kompensasi yang setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat
bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu
bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi
oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Berbeda halnya dengan konsep kompensasi
yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga yang
sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang. Dalam mendefinisikan hal ini, ia
menyatakan :
“Harga yang setara adalah harga standar
yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang dagangnnya dan secara umum
dapat diterima sebagai sesuatu yang setara barang-barang tersebut atau barang-barang
yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.
Ibnu
Taimiya menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harya yang dibentuk oleh
kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan
permintaan dengan penawaran. Ia menggambarkan perubahan harga sebagai barikut :
“Jika penduduk menjual barang-barangnya
secara normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil
kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang (yakni
penurunan supply)atau karena peningkatan jumlah penduduk (yakni peningkatan
demand) kenaikan harga-harga tersebut merupakan kehendak Allah swt, dalam kasus
ini, memaksa penjual untuk menjual barang-barang mereka pada harga
tertentu adalah pemakasaan yang salah
(ikrah bi ghairi haq)
Konsep Upah yang Adil
Pada
abad pertengahan, konsep upah yang adai dimaksudkan sebagai tingkat upah yang
wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak
ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu
pada tingakat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan
menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl). Seperti halnya harga,
prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah
adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah,
ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan
dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan
spekulasi.
Tentang
bagaimana upah yang setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“upah yang setara akan ditentuakan oleh
upah yang telah diketahui (musamma’) jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi
kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jua dan sewa, harga yang telah
diketahui (tsaman musamma’) akan diperlakuan sebagai harga yang setara.
Konsep laba yang adil
Menurutnya,
para pedagang barhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat
diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan
para pelanggannya.
Berdasarkan
definisi tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah medefinisikan laba yang adil
sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu,
tenpa merugikan orang lai. Ia menentang tingkat keuntungan yang tidak lazim,
bersifat eksplotif dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terhadap
kondisi pasar yang ada. Ia menjelaskan,
“seseorang yang memperoleh barang untuk
mendapatkan pemasukan dan memperdagangkannya dikemudian hari diizinkan
melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak boleh mengenakan keuntungan terhadap
orang-orang miskin yang lebih tinggi daripada yang sedang berlaku dan
seharusnya tidak menaikan harga terhadap mereka yang sedang sangat membutuhkan
.
Ibnu Taimiyah memandang laba sebagai
penciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Oleh karena itu, pemilik
kedua faktor produksi tersebut berhak memperoleh bagian keuntungan. Dalam hal
tejadi suatu perselisihan, ia menyatakan bahwa keuntungan dibagi menurut cara
yang dapat diterima secara umum oleh kedua belah pihak, yakni pihak yang
menginvestasikan tenaganya dan pihak yang menginvestasikan uangnya. Ia
menyatakan,.
“karena keuntungan merupakan tambahan yang
dihasilkan oleh tenaga disatu pihak dan harta dipihak lain, maka pembagian
keuntungan dilakuan dengan cara yang sama sebagai tambahan yang diciptakan oleh
kedua faktor tersebut.
Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang
Adil Bagi Masyarakat
Dalam
pandangan Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan
mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilangkan
keuntungan normal mereka. Menurutnua
“setiap individu mempunyai hak pada apa
yang mereka miliki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya, baik sebagian
maupun seluruhya, tanpa izin dan persetujuan mereka.
Penggunaan dan implikasi dari konsep upah
yang adil adalah sama halnya dengan konsep harga yang adil. Tujuan dasar dari
harga yang adil adalah untuk melindungi kepentingan pekerja dan majikan serta
melindungi mereka dari aksi saling mengeksploitasi. Dalam hal ini, Ibnu
Taimiyah menyatakan,
“apabila seorang
majiakan memperkerjakan seseorang secara zalim dengan membayar pada tingkat
upah yang lebih rendah daripada upah yang adil,yang secara normal tidak ada
seorangpun menerimany, pekerja berhak meminta upah yang adil.
b. Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah
pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga
ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ia menyatakan,
“naik dan turunnya
harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang,
hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor
barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan
penawaran turun, harga-harga naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang
meningkat dsan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun,kelangkaan atau
kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa
jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau tenkadang,
ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hai ini adalah kemahakuasaan Allah yang
telah menciptakan keinginan dihati manusia.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa
faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu:
1.
Keinginan
masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu
berubah-ubah. Perubahan ini sesuai dengan langka atau tidaknya barang-barang
yagn dimint. Semakin sedikit jumlah suatu barang yang tersedia akan semakin
diminati oleh masyarakat.
2.
Jumlah
para peminat terhadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat yang menginginkan
suatu barang semakin banyak, harga barang tersebut akan semakin meningkat, dan
begitu pula sebaliknya.
3.
lemah
atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat
dan ukuran kebutuhan. Apabila kebutuhan besar dan kuat, harga akan naik.
Sebaliknya, jika kebutuhan kecil dan lemah, harga akan turun.
4.
kualitas
pembeli. Jika pembeli adalah seseorang yang kaya dan terpercaya dalam membayar
utang, harga yang diberikan lebih rendah. Sebaliknya, harga yang diberikan
lebih tinggi jika pembeli adalah seorang yang sedang bangkrut, suka
mengulur-ulur pembayaran utang serta mengingkari utang.
5.
jenis
uang yang digunakan dalam transaksi. Harga akan lebih rendah jika pembayaran
dilakukan dengan menggunakan uang yang umum dipakai daripada uang yang jarang
dipakai.
6.
tujuan
transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal diantara kedua belah
pihak. Harga suatu barang yang telah tersedia dipasaran lebih rendah daripada
harga suatu barang yagn belum ada dipasaran. Begitu pula halnya harga akan
lebih rendah jika pembayaran dilakukan secara tunai daripada pembayaran
dilakukan secara angsuran.
7.
besar
kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual. Semakin besar
biaya yang dibutuhkan oleh produsen atau penjual untuk menghasilkan atau
memperoleh barang akan semakin tinggi pula harga yang diberikan, dan begitu
pula sebaliknya.
b. Regulasi
Harga
Tujuan
regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni
penetapan harga yang tidak adil dan
cacar hokum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hokum. Penerapan
harga yang tidak adil dan cacat hokum adalah penetapan harga yang dilakukan
pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni
kelangkaan supply atau kenaikan demand.
2. Uang dan
Kebijakan Moneter
a. Karakteristik dan Fungsi Uang
secara
khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur
nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan,
“Atsaman dimaksudkan sebagai pengukur nilai
barang-barang dapat diketahui dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri
mereka sendiri.
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah
menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti
mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya.
b. Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu
Taimiyah menentang keras terjadinya penerunan nilai mata uang dan pencetakan
mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan,
“penguasa seharusnya mencetak fulus sesuai dengan
nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan
kezaliman terhadap mereka.
c. Mata Uang yang Buruk akan Menyingkirkan Mata
Uang yang baik
Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata
uang yang berkualitas baik dari peredaraan. Ia menggambarkan hal ini sebagai
berikut,
”apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang
tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan
merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama
menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena
menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih dari pada itu,
apabila nilai intristik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah
sumber keuntungan bagi penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan
menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya
kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk didaerah tersebut
untuk dibawa kembali kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang
masyarakat akan menjadi hancur.
Daftar pustaka
1.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, IIIT, 2002
http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1366&bih=578&q=konsep+pemikiran+ekonomi+ibnu+taimiyah&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=6d1d5e09d1ea4a8f