Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut[1].Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis kealam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada dialam empiris dan historis. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya.
Dalam hubungan ini kuntowijiyo telah melakukan studi yang
mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam, menurut pendekatan sejarah.
Ketika dia mempelajari Al-Quran ia sampai kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya
kandungan Al-Quran itu menjadi dua bagian . bagian pertama berisi kosep-konsep,
dan bagian yang kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan. dalam bagian pertama ini kita mengenal banyak
sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkrit konsep tentang Allah,
tentang Malaikat, tentang Akhirat, tentang Makruf dan sebagainya bersifat
Abstrak sedangkan konsep yang konkrit
dan dapat diamati, misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhuafa
(orang lemah) mustakbirun atau penguasa[2].
Seseorang yang ingin memahami al-Qur'an secara benar misalnya, yang bersangkutan terus mempelajari sejarah turunnya al-Qur'an yang selanjutnya disebut sebagai ilmu Asbab Al- nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya al-Qur'an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur'an. Dengan ilmu asbab al-Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memlihara syari'at dari kekeliruan memahaminya.
Seseorang yang ingin memahami al-Qur'an secara benar misalnya, yang bersangkutan terus mempelajari sejarah turunnya al-Qur'an yang selanjutnya disebut sebagai ilmu Asbab Al- nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya al-Qur'an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur'an. Dengan ilmu asbab al-Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memlihara syari'at dari kekeliruan memahaminya.
Pendekatan Kebudayaan
Dalam kamus umum bahasa Indonesia kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan[3]. sementara itu, Sutan takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat[4].Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan menyerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Didalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kebudayaan dapat juga digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tatanan empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang terjadi dimasyarakat. Pengamalan agama yang terdapat dimasyarakat tersebut diperoses oleh penganutnyadari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran, misalnya kita membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash al-Qur'an maupun hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi ditengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang dimasyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
Kebudayaan dapat kita jumpai dengan contoh berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengamalan agama, sebaliknya tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita jumpai kaum priyayi ketika menikah mengenakan baju ala arab, sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju ala China. Disitu terlihat produk budaya yang berbeda yang dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.
Pendekatan Psikologis.
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya, menurut Zakiah Darajdat prilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat[5], tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang, misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sbagai orang yang saleh, orang yang berbaut baik, orang yang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama. Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingakatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menamakannya, misalnya dapat mengetahui pengaruh dari sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya melalui ilmu jiwa.
Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun
langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menamakan ajaran agama.
Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang[6].
Dari uraian tersebut kita melaihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Denagn pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiologi, antropologi, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normative belaka, melainkanagama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
Dari uraian tersebut kita melaihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Denagn pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiologi, antropologi, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normative belaka, melainkanagama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
Pada kajian ini secara
spesifik akan dibahas satu pendekatan dalam studi agama, yaitu psikologi.
Beberapa pandangan para ahli sangat beragam dalam hal ini, misalnya saja ada
yang menyatakan bahwa tekanan terhadap seorang pribadi yang kemudian melahirkan
pengalaman individu yang mempunyai keterkaitan kepada yang transenden (Tuhan),
pendapat lain ada yang beroposisi dengan pendapat ini yang menyatakan bahwa,
tekanan atau pengalaman seorang individu merupakan persoalan murni psikologi.
Secara khusus ada beberapa pemikir yang menempatkan persolaan psikologi
tersebut sebagai bagian yang mempunyai hubungan dengan yang transenden atau
bagian dari kesadaran religius. Beberapa tokoh yang berada pada kubu ini
menggabungkan keduanya antara persoalan psikologi dan persoalan transenden
terdapat adanya saling keterkaitan. Jung, Campbel dan Eliade adalah tokoh yang
menyandarkan agama pada sebuah ketidaksadaran kolektif yang merupakan bagian
dari gejala psikologi universal. Kemudian Freud juga berpendapat bahwa agama
secara esensial mempunyai gejala-gejala yang cukup unik yang
perlu disingkap dan dikembangkan.
Secara garis besar kajian ini akan lebih dikonsentrasikan pada dua hal, yang pertama, pengujian teori agama sebagai sebuah keutuhan. Tekanannya adalah, pada sisi psikologi yang berkaitan pada agama dan perseorangan yang di dalamnya juga dikaitkan pada struktur keagamaan. Kemudian pada konsentrais yang kedua akan difokuskan pada pencarian platform atau landasan teoritis dalam mendekati dan memetakan kajian kegamaan sebagai sebuah disiplin ilmu yang terus menjadi bahan diskusi sepanjang zaman.
Beberapa pendapat para tokoh yang akan penulis uraikan secara singkat adalah sebagai berikut :
1.Willian James
Sebagai pembuka dari kajian ini, William James ditempatkan sebagai tokoh pertama yang akan dijadikan bahan diskusi dalam kajian ini. Selayaknya para pendahulunya, William James mengembangkan teori keagamaan berlandaskan pengalaman pribadinya. Pengalamannya dengan pendekatan psikologi dan subyektivitas yang diusungnya menjadi pondasi bagi agama sebagai sebuah fenomena dan sebuah lembaga sosial. Dalam hal ini walau tidak secara vulgar, William menempatkan agama sebagai fenomena dan institusi sosial yang memungkinkan untuk didekati secara psikologi. William mendiksusikan agama sebagai sesutau yang muncul dari bagian terluas pengalaman manusia. Karenanya, dia menyatakan bahwa, perasaan keagamaan adalah hal yang serupa dengan perasaaan-perasaan yang lain. Dengan demikian maka agama merupakan bagian ekspresi dari pengalaman
Secara garis besar kajian ini akan lebih dikonsentrasikan pada dua hal, yang pertama, pengujian teori agama sebagai sebuah keutuhan. Tekanannya adalah, pada sisi psikologi yang berkaitan pada agama dan perseorangan yang di dalamnya juga dikaitkan pada struktur keagamaan. Kemudian pada konsentrais yang kedua akan difokuskan pada pencarian platform atau landasan teoritis dalam mendekati dan memetakan kajian kegamaan sebagai sebuah disiplin ilmu yang terus menjadi bahan diskusi sepanjang zaman.
Beberapa pendapat para tokoh yang akan penulis uraikan secara singkat adalah sebagai berikut :
1.Willian James
Sebagai pembuka dari kajian ini, William James ditempatkan sebagai tokoh pertama yang akan dijadikan bahan diskusi dalam kajian ini. Selayaknya para pendahulunya, William James mengembangkan teori keagamaan berlandaskan pengalaman pribadinya. Pengalamannya dengan pendekatan psikologi dan subyektivitas yang diusungnya menjadi pondasi bagi agama sebagai sebuah fenomena dan sebuah lembaga sosial. Dalam hal ini walau tidak secara vulgar, William menempatkan agama sebagai fenomena dan institusi sosial yang memungkinkan untuk didekati secara psikologi. William mendiksusikan agama sebagai sesutau yang muncul dari bagian terluas pengalaman manusia. Karenanya, dia menyatakan bahwa, perasaan keagamaan adalah hal yang serupa dengan perasaaan-perasaan yang lain. Dengan demikian maka agama merupakan bagian ekspresi dari pengalaman
psikologi individu.
Definisi agama yang dibangun oleh James juga meliputi beberapa hal yang terkait dengan obyek agama. Definisi yang dibangunnya tidak hanya berkisar pada satu obyek spesifikasi tipe keberagamaan, akan tetapi juga difokuskan pada karakteristik perseorangan atau kelompok dengan penekanan bahwa obyek keberagamaan adalah segala sesuatu yang mempunyai sifat ketuhanan. Definisi ini membuka kemungkinan masuknya ruang luas aktifitas dari mansuia sebagai sebuah agama.
Teori yang diusung James tidak hanya mempertahankan eksistensi dari dunia lain, dia juga tidak menolak keistimewaan umum dari gejala pengalaman keagamaan. Pengalaman tersebut berakar dari gejala psikologi yang kemudian secara tidak sadar terbawa pada obyek eksternal. Secara gamblang agama kemudian ditampilkan sebagai sebuah akumulasi dari gejala-gejala kejiwaan yang dirasakan oleh masing-masing individu lalu kemudian termanefestasikan pada sebuah obyek di luar dunia manusia, berupa keyakinan adanya yang maha Tinggi yaitu, Tuhan[7].
Agama jika dilirik pada bagian-bagiannya mempunyai aturan-aturan yang membentuk sisi-sisi kehidupan manusia atau pengalaman yang bergulir di tengah-tengah kehidupan. Sedangkan agama itu sendiri menjadikan sesuatu yang dibutuhkan dengan mudah dan tepat. Bila boleh disederhanakan yang dimaksudkan oleh James disini adalah, agama sebagai bagian dari fenomena psikologi yang dapat memberikan konstribusi kemudahan dan tepat untuk kepentingan manusia. Demikianlah kira-kira pemahaman yang dapat penulis rekam dari uraian rumit James dalam menuturkan definisi agama[8].
James juga berpendapat bahwa ada gejala pengalaman umum religius yang terseret pada konteks pengalaman relegius individu, lalu kemudian dibahasakan dengan pengalaman mistis. Mistis tersebut kemudian terdefinisikan pada empat kategori : (1) pendongengan (pengumpamaan), (2) kesementaraan, (3) pasif, dan (4) pelepasan dari nilai etika. Dari sekian pendapat yang dilontarkan oleh James, kemudian sampailah pada kesimpulan akhir yang menempatkan agama sebagai sebuah perjumpaan dari esensi dan sekian banyak fenomena.
Ternyata, dari sekian pendapat James tidak terlepas dari beberapa kritik terhadapnya. Adapun titik yang menjadi pusat diskusi terhadapnya adalah, teori yang digagasnya hanya sebuah upaya pemberian penjelasan tentang kepercayaan seorang individu, belum sampai pada penjelasan tentang ketekunan keagamaan sebagai institusi sosial manusia secara luas. Banyak hal penjelasannya tidak sinkron dengan komplektisitas obyek dan praktek yang ditemukan dalam struktur keagamaan. Hal itu ditandai dengan terpotongnya makna dan peran agama sebagai hal yang sangat penting sebagai sebuah institusi sosial. Artinya teori James hanya beberapa penjelasan yang sifatnya individual lalu kemudian dicoba untuk diseret pada ruang yang lebih luas tanpa mau tau ada struktur-struktur penting lainnya yang tersisihkan atau terlupakan. Sehingga beberapa penjelasannya tentang agama menjadi tidak akurat dan kurang, dikarenakan agama tidak bisa dia terjemahkan sebagai institusi sosial. Walau kesadaran akan adanya Tuhan sebagai akibat dari pengalaman individu, namun di lain sisi agama tetaplah mempunyai sisi-sisi praktis yang bersinggungan dengan ruang yang lebih luas dari sekadar individu. Dengan demikian signifikansi dari teori James ini lebih tepatnya digunakan pada penelusuran-penulusuran kesalihan individu bukan pada tataran memahami agama secara utuh.
2.Sigmund Freud
Analisis yang dibangun oleh Freud dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama merupakan penilaian agama sebagai sebuah khayalan yang kemudian dikembangkan dalam bukunya yang berjudul The Future of an Ilusion (1961) sedangkan yang kedua adalah, dasar-dasar agama dan ritual yang kemudian dikembangkan juga dalam bukunya yang berjudul Totem and Taboo (1950). Agama yang diseret sebagai sebuah khayalan adalah akibat dari titik pandang yang bertolak dari psikologi, sedangkan yang berkaitan dengan bahasan kedua dari apa yang didiskusikan oleh Freud merupakan dampak dari titik pandang yang bertolak dari fungsi agama bagi persorangan dan masyarakat umum. Maka kemudian jika boleh disedrhanakan apa yang akan digagas Freud disini merupakan pendekatan studi agama lewat psikologi dan fungsi agama itu sendiri.
Mencoba mengenal lebih dekat pada apa yang digagas pertama oleh Freud mengenai agama sebagai sebuah khayalan. Menurutnya agama merupakan bagian gejala psikologi yang berupa penggabungan pengalaman pribadi dengan pengalaman masyarakat. Sebagai sebuah analogi yang dibangunnya adalah, tatkala seorang bayi atau anak bepersepsi tentang pengendali dunia lalu kemudian sang bayi atau anak menisbatkan pengendali tersebut pada ayahnya. Pada tahap berikutnya masyrakat membawa image ini ke ruang yang lebih luas, kemudian akhirnya ayah sebagai seorang Tuhan menjadi kesadaran umum masyarakat yang mengakar kuat. Dari sinilah kemudian agama itu terbentuk, begitulah pengamatan Freud dalam memahami agama.
Definisi agama yang dibangun oleh James juga meliputi beberapa hal yang terkait dengan obyek agama. Definisi yang dibangunnya tidak hanya berkisar pada satu obyek spesifikasi tipe keberagamaan, akan tetapi juga difokuskan pada karakteristik perseorangan atau kelompok dengan penekanan bahwa obyek keberagamaan adalah segala sesuatu yang mempunyai sifat ketuhanan. Definisi ini membuka kemungkinan masuknya ruang luas aktifitas dari mansuia sebagai sebuah agama.
Teori yang diusung James tidak hanya mempertahankan eksistensi dari dunia lain, dia juga tidak menolak keistimewaan umum dari gejala pengalaman keagamaan. Pengalaman tersebut berakar dari gejala psikologi yang kemudian secara tidak sadar terbawa pada obyek eksternal. Secara gamblang agama kemudian ditampilkan sebagai sebuah akumulasi dari gejala-gejala kejiwaan yang dirasakan oleh masing-masing individu lalu kemudian termanefestasikan pada sebuah obyek di luar dunia manusia, berupa keyakinan adanya yang maha Tinggi yaitu, Tuhan[7].
Agama jika dilirik pada bagian-bagiannya mempunyai aturan-aturan yang membentuk sisi-sisi kehidupan manusia atau pengalaman yang bergulir di tengah-tengah kehidupan. Sedangkan agama itu sendiri menjadikan sesuatu yang dibutuhkan dengan mudah dan tepat. Bila boleh disederhanakan yang dimaksudkan oleh James disini adalah, agama sebagai bagian dari fenomena psikologi yang dapat memberikan konstribusi kemudahan dan tepat untuk kepentingan manusia. Demikianlah kira-kira pemahaman yang dapat penulis rekam dari uraian rumit James dalam menuturkan definisi agama[8].
James juga berpendapat bahwa ada gejala pengalaman umum religius yang terseret pada konteks pengalaman relegius individu, lalu kemudian dibahasakan dengan pengalaman mistis. Mistis tersebut kemudian terdefinisikan pada empat kategori : (1) pendongengan (pengumpamaan), (2) kesementaraan, (3) pasif, dan (4) pelepasan dari nilai etika. Dari sekian pendapat yang dilontarkan oleh James, kemudian sampailah pada kesimpulan akhir yang menempatkan agama sebagai sebuah perjumpaan dari esensi dan sekian banyak fenomena.
Ternyata, dari sekian pendapat James tidak terlepas dari beberapa kritik terhadapnya. Adapun titik yang menjadi pusat diskusi terhadapnya adalah, teori yang digagasnya hanya sebuah upaya pemberian penjelasan tentang kepercayaan seorang individu, belum sampai pada penjelasan tentang ketekunan keagamaan sebagai institusi sosial manusia secara luas. Banyak hal penjelasannya tidak sinkron dengan komplektisitas obyek dan praktek yang ditemukan dalam struktur keagamaan. Hal itu ditandai dengan terpotongnya makna dan peran agama sebagai hal yang sangat penting sebagai sebuah institusi sosial. Artinya teori James hanya beberapa penjelasan yang sifatnya individual lalu kemudian dicoba untuk diseret pada ruang yang lebih luas tanpa mau tau ada struktur-struktur penting lainnya yang tersisihkan atau terlupakan. Sehingga beberapa penjelasannya tentang agama menjadi tidak akurat dan kurang, dikarenakan agama tidak bisa dia terjemahkan sebagai institusi sosial. Walau kesadaran akan adanya Tuhan sebagai akibat dari pengalaman individu, namun di lain sisi agama tetaplah mempunyai sisi-sisi praktis yang bersinggungan dengan ruang yang lebih luas dari sekadar individu. Dengan demikian signifikansi dari teori James ini lebih tepatnya digunakan pada penelusuran-penulusuran kesalihan individu bukan pada tataran memahami agama secara utuh.
2.Sigmund Freud
Analisis yang dibangun oleh Freud dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama merupakan penilaian agama sebagai sebuah khayalan yang kemudian dikembangkan dalam bukunya yang berjudul The Future of an Ilusion (1961) sedangkan yang kedua adalah, dasar-dasar agama dan ritual yang kemudian dikembangkan juga dalam bukunya yang berjudul Totem and Taboo (1950). Agama yang diseret sebagai sebuah khayalan adalah akibat dari titik pandang yang bertolak dari psikologi, sedangkan yang berkaitan dengan bahasan kedua dari apa yang didiskusikan oleh Freud merupakan dampak dari titik pandang yang bertolak dari fungsi agama bagi persorangan dan masyarakat umum. Maka kemudian jika boleh disedrhanakan apa yang akan digagas Freud disini merupakan pendekatan studi agama lewat psikologi dan fungsi agama itu sendiri.
Mencoba mengenal lebih dekat pada apa yang digagas pertama oleh Freud mengenai agama sebagai sebuah khayalan. Menurutnya agama merupakan bagian gejala psikologi yang berupa penggabungan pengalaman pribadi dengan pengalaman masyarakat. Sebagai sebuah analogi yang dibangunnya adalah, tatkala seorang bayi atau anak bepersepsi tentang pengendali dunia lalu kemudian sang bayi atau anak menisbatkan pengendali tersebut pada ayahnya. Pada tahap berikutnya masyrakat membawa image ini ke ruang yang lebih luas, kemudian akhirnya ayah sebagai seorang Tuhan menjadi kesadaran umum masyarakat yang mengakar kuat. Dari sinilah kemudian agama itu terbentuk, begitulah pengamatan Freud dalam memahami agama.
Secara prinsip garis besar
teori yang digagas oleh Freud berikisar pada model perkembangan budaya yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat yang progresif. Sebagai misal, apa yang ada
pada kebudayaan Eropa yang tergolong sebagai bentuk budaya yang tinggi. Pada
sisi ini Freud melihat peran agama yang bermain di tengah-tengah manusia dan masyarakat,
kemudian juga tidak luput dari perhatiannya yaitu agama sebagai sebuah institusi.
Freud menyatakan yang dimaksud dengan khayalan bukanlah sesuatu yang janggal, akan tetapi sebagai bentuk kepercayaan yang dipegang untuk mengharap ketenangan dari berbagai bentuk pandangan yang saling bertubrukan. Banyak hal yang dipertentangkan oleh manusia, termasuk masalah pencipta dunia ini. Untuk menjadikan diri seseorang tenang maka kemudian seorang individu berilusinasi sebagai jawaban atas kegalauannya yang bergelimang dalam dirinya, hal tersebut dilakukan untuk menyingkirkan banyaknya argumen yang saling bertubrukan tadi. Hal ini juga merupakan upaya agar kehidupan seseorang tadi dapat berlanjut dan dapat berdampingan dengan Tuhan yang dicarinya.
Dari penjelasan di atas maka agama secara tidak sadar akan memberikan peran pada kehidupan manusia. Namun diperkirakan oleh Freud peran-peran agama di masa yang akan datang akan diambil alih oleh science. Pada perkembangan berikutnya manusia dengan secara sadar tidak akan menyediakan tempat untuk agama. Walau ini hanya berupa teori, tetapi juga sangat terkesan janggal, karena ilusi yang dibangun oleh Freud mengenai ilusi masa depan sangat memojokkan umat beragama.
Satu hal yang mengundang kontroversi dari uraian Freud mengenai pembunuhan dan perzinahan sedarah yang dilakukan oleh seorang anak yang membunuh ayahnya kemudian menzinahi ibunya. Menurutnya kejadian ini merupakan salah satu yang kemudian melahirkan pelarangan-pelarangan hukum terhadap perbuatan tercela tersebut yang terkemas dengan sebutan aturan agama. Menurutnya seluruh agama berkembang dan terbentuk lewat prilaku keras dan kesalahan. Secara lebih sederhana Freud menganggap agama merupakan sebuah kesadaran yang terbentuk lewat pengalaman kesalahan masa lalu yang kemudian memunculkan rumusan-rumusan aturan untuk menangani kejanggalan yang terjadi. Kisah ini memang terlalu mengejutkan bagi kalangan tertentu dengan contoh vulgar yang diangkatnya. Akan tetapi, hal itu merupakan cara Freud memberikan pemahaman bagi para pembaca idenya, agar apa yang digagasnya benar-benar dapat dipahami dengan baik. Menyisihkan kisah yang kontroversinya, terdapat pesan yang menyatakan bahwa agama merupakan sebuah kesadaran yang bermula dari prilaku asusila.
Terdapat juga kegamangan dalam teori yang digulirkan oleh Freud dikarenakan saking terlalu intimnya terhadap persolan perkembangan budaya dan individu, sehingga pada prakteknya sangat dekat dengan etnografi. Teori yang diwariskan Freud mengenai perkembangan budaya yang menyatakan bahwa semua budaya akan maju melewati satu jalan perkembangan saja tidak sejalan dengan data-data etnografi yang menyatakan setiap kelompok masyarakat berkembang dengan jalan dan pilihannya sendiri yang mengambil atau menolak dari kelompok masyarakat yang lain. Artinya, setiap masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri mengenai kemajuan dan perkembangannya, bisa saja pada satu sisi sama dengan kelompok masyarakat lainnya tapi juga bisa terdapat sisi yang berlawanan.
3.Carl Gustav Jung
Jung melihat bahwa agama merupakan landasan positif yang mengayomi aspek psikologi. Pandangannya yang lebih luas menyatakan bahwa, agama merupakan sebuah institusi yang tercipta dari pengalaman keagamaan. Adapun pengalaman keagamaan itu merupakan sekumpulan perasaan yang datang dari luar dunia manusia yang melewati perorangan ataupun kesadaran kelompok masyarakat tertentu. Apa yang ingin dikatakan Jung secara lebih sederhana adalah, agama secara institusi pada posisinya dalam kerangka kehidupan sosial merupakan suatu kesadaran yang datang dari luar dunia manusia lewat pengalaman-pengalaman individu ataupun kelompok yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah institusi yang dapat mewadahi persoalan psikologi manusia itu sendiri.
Pada waktu yang lain, Jung menyatakan bahwa agama merupakan wadah yang menyimpan warisan spiritual yang kemudian menjangkiti kelompok masyarakat tertentu setelah melewati berbagai macam transmisi. Akhirnya, secara tidak sadar kelompok-kelompok tersebut menerima warisan spiritual tersebut tanpa memperhitungkan rasinolitasnya. Untuk itu kemudian Jung menempatkan agama sebagai sesuatu yang berkembang pada kehidupan manusia tanpa melewati titik tekan rasionalitas. Secara komunal manusia menerima warisan spiritual itu dengan berlandaskan hati, sehingga kemudian Jung berkesimpulan bahwa hati merupakan landasan dari agama. Dengan demikian, manusia secara kolektif menerima agama tanpa pertimbangan rasio, lalu kemudian Jung membahasakan proses ini sebagai teori ketidaksadaran kolektif (collective unconscious).
Freud menyatakan yang dimaksud dengan khayalan bukanlah sesuatu yang janggal, akan tetapi sebagai bentuk kepercayaan yang dipegang untuk mengharap ketenangan dari berbagai bentuk pandangan yang saling bertubrukan. Banyak hal yang dipertentangkan oleh manusia, termasuk masalah pencipta dunia ini. Untuk menjadikan diri seseorang tenang maka kemudian seorang individu berilusinasi sebagai jawaban atas kegalauannya yang bergelimang dalam dirinya, hal tersebut dilakukan untuk menyingkirkan banyaknya argumen yang saling bertubrukan tadi. Hal ini juga merupakan upaya agar kehidupan seseorang tadi dapat berlanjut dan dapat berdampingan dengan Tuhan yang dicarinya.
Dari penjelasan di atas maka agama secara tidak sadar akan memberikan peran pada kehidupan manusia. Namun diperkirakan oleh Freud peran-peran agama di masa yang akan datang akan diambil alih oleh science. Pada perkembangan berikutnya manusia dengan secara sadar tidak akan menyediakan tempat untuk agama. Walau ini hanya berupa teori, tetapi juga sangat terkesan janggal, karena ilusi yang dibangun oleh Freud mengenai ilusi masa depan sangat memojokkan umat beragama.
Satu hal yang mengundang kontroversi dari uraian Freud mengenai pembunuhan dan perzinahan sedarah yang dilakukan oleh seorang anak yang membunuh ayahnya kemudian menzinahi ibunya. Menurutnya kejadian ini merupakan salah satu yang kemudian melahirkan pelarangan-pelarangan hukum terhadap perbuatan tercela tersebut yang terkemas dengan sebutan aturan agama. Menurutnya seluruh agama berkembang dan terbentuk lewat prilaku keras dan kesalahan. Secara lebih sederhana Freud menganggap agama merupakan sebuah kesadaran yang terbentuk lewat pengalaman kesalahan masa lalu yang kemudian memunculkan rumusan-rumusan aturan untuk menangani kejanggalan yang terjadi. Kisah ini memang terlalu mengejutkan bagi kalangan tertentu dengan contoh vulgar yang diangkatnya. Akan tetapi, hal itu merupakan cara Freud memberikan pemahaman bagi para pembaca idenya, agar apa yang digagasnya benar-benar dapat dipahami dengan baik. Menyisihkan kisah yang kontroversinya, terdapat pesan yang menyatakan bahwa agama merupakan sebuah kesadaran yang bermula dari prilaku asusila.
Terdapat juga kegamangan dalam teori yang digulirkan oleh Freud dikarenakan saking terlalu intimnya terhadap persolan perkembangan budaya dan individu, sehingga pada prakteknya sangat dekat dengan etnografi. Teori yang diwariskan Freud mengenai perkembangan budaya yang menyatakan bahwa semua budaya akan maju melewati satu jalan perkembangan saja tidak sejalan dengan data-data etnografi yang menyatakan setiap kelompok masyarakat berkembang dengan jalan dan pilihannya sendiri yang mengambil atau menolak dari kelompok masyarakat yang lain. Artinya, setiap masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri mengenai kemajuan dan perkembangannya, bisa saja pada satu sisi sama dengan kelompok masyarakat lainnya tapi juga bisa terdapat sisi yang berlawanan.
3.Carl Gustav Jung
Jung melihat bahwa agama merupakan landasan positif yang mengayomi aspek psikologi. Pandangannya yang lebih luas menyatakan bahwa, agama merupakan sebuah institusi yang tercipta dari pengalaman keagamaan. Adapun pengalaman keagamaan itu merupakan sekumpulan perasaan yang datang dari luar dunia manusia yang melewati perorangan ataupun kesadaran kelompok masyarakat tertentu. Apa yang ingin dikatakan Jung secara lebih sederhana adalah, agama secara institusi pada posisinya dalam kerangka kehidupan sosial merupakan suatu kesadaran yang datang dari luar dunia manusia lewat pengalaman-pengalaman individu ataupun kelompok yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah institusi yang dapat mewadahi persoalan psikologi manusia itu sendiri.
Pada waktu yang lain, Jung menyatakan bahwa agama merupakan wadah yang menyimpan warisan spiritual yang kemudian menjangkiti kelompok masyarakat tertentu setelah melewati berbagai macam transmisi. Akhirnya, secara tidak sadar kelompok-kelompok tersebut menerima warisan spiritual tersebut tanpa memperhitungkan rasinolitasnya. Untuk itu kemudian Jung menempatkan agama sebagai sesuatu yang berkembang pada kehidupan manusia tanpa melewati titik tekan rasionalitas. Secara komunal manusia menerima warisan spiritual itu dengan berlandaskan hati, sehingga kemudian Jung berkesimpulan bahwa hati merupakan landasan dari agama. Dengan demikian, manusia secara kolektif menerima agama tanpa pertimbangan rasio, lalu kemudian Jung membahasakan proses ini sebagai teori ketidaksadaran kolektif (collective unconscious).
Teori ketidaksadaran atau
dibawah sadar merupakan pola dasar yang secara signifikan mempersentasikan
Tuhan sebagai basis perhatian obyektif psikologi. Pola dasar ini berkaitan
dengan perkembangan aspek lain kemanusiaan dan kepribadian. Sehingga kemudian
Jung berkesimpulan bahwa dasar dari setiap agama bermula dari ketidaksadaran.
Selain konsep ketidaksadaran konsep lain yang disodorkan Jung adalah mengenai pendongengan.
Yang dimaksud pendongenan disini adalah suatu fantasi yang dibangun dari dalam
dan luar kesadaran manusia yang berbentuk cerita-cerita bijak orang tua kepada
anaknya mengenai Tuhan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agama merupakan
bentuk fantasi atau imajinasi yang dibangun dari dalam dan luar diri manusia
yang dialamatkan kepada Tuhan sebagai obyek fantasi. Lalu secara garis besar
dari seluruh uraian teori yang yang digagas oleh Jung tidak jauh beda dengan
para pendahulunya (Freud) yaitu hanya sebagai bagian sebuah pendekatan mistik semata belum sampai bisa representif sebagai bagian dari pendekat-an ilmiah.
KESIMPULAN
Sejarah atau historis ini
merupakan suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa. Melalui ilmu
ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa itu. Manfaat lain
dari pendekatan sejarah ini adalah mengajak seseorang untuk memasuki keadaan
yang sebenarnya berkenaan dengan suatu peristiwa yang berhububgan dengan
perkara agama.
Sedangkan pendekatan
kebudayaan digunakan untuk memahami agama pada dataran empiriknya atau agama
yang tampil dalam bentuk formal yang
menggejala di masyarakat. Melalui pemahaman kebudayaan tersebut, seseorang akan
dapat mengamalkan ajaran agama.
Dalam ajaran agama, banyak
kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Di
samping itu, pendekatan ilmu jiwa dapat dipergunakan sebagai alat untuk
memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya.
Dengan menggunakan pendekatan
ilmu ini, agama menemukan tempat yang cocok untuk menanamkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1998.
Kuntowijoyo, Paradikma
Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung,
Mizan, 1991.
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1991.
Sutan Takbir
Alisjahbana, Antropologi Baru, Jakarta,
Dian Rakyat, 1986.
Mohammad
Al-Farabi, Metode Studi Islam, Medan, Diktat, 2009.
Taufik Abdullah, Sejarah
dan Masyarakat, Jakarta, Pustaka Firdaus,1987.
[1]
Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1987), hal.105
[2]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi
Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), cet. 1 hal. 328.
[3] W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991) hal. 156
[4]
Sutan Takbir Alisjahbana, Antropologi
baru, ( Jakarta : Dian Rakyat, 1986) cet III, hal. 207
[5]
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1987), cet. I, hal. 76.
[6]
Abuddin Nata, Metodologi studi islam,
( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998) cet I, hal. 51
[7]
Ibid. hal. 53
[8]
Mohammad Al-Farabi, metode Studi Islam,(Medan
: Diktat, 2009), hal. 98.