A. RIWAYAT HIDUP
Al-Syatibi
yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa
bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-S yatibi mraNGerupakan salah seorang
cendikiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Ia
berasal dari suku arab Lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan kedaerah asal
keluarganya, Syatiba (Xatiba atau Jativa), yang terletak dikawasan Spanyol
bagian Timur.
Al-Syatibi
dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr,
Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa
pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan
umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan
berdirinya Universitas Granada.
Suasana
ilmiah yang berkembang dengan baik dikota tersebut sangat menguntungkan bagi
Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya dikemudian hari. Dalam
meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini
mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode)
maupun ‘ulum maqashid (esensi dan
hakikat).
Meskipun
mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, Al-Syatibi lebih berminat mempelajari
bahasa arab dan khususnya, Ushul Fiqih. Ketertarikannya terhadap ilmu Ushul
fiqih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih islam merupakan faktor
yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan
sosial.
Setelah
memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi
keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu
Yahya ibn Asim, Abu bakar Al-Qadidan Abu Abdillah Al-Bayani.
B.
KONSEP
MAQASHID AL-SYARI’AH
Sebagai
sumber utama agama islam, Al Qur’an mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi
kandungan Al Qur’an dalam tiga bagian besar, yaitu akidah, akhlaq, dan syariah.
Akidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlaq berkaitan dengan etika dan
syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal
(perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari’ah), dalam
sistematika hukum islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah)
dan muamalah (habl min al-nas).
Secara
bahasa, Maqashid Al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan
al-syariah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan Al- Syari’ah
berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah
sumber pokok kehidupan.
Dengan
demikian, kewajiban-kewajiban dalam Syariah menyangkut perlindungan Maqashid
Al-Syariah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia.
Al-Syatibi menjelaskan bahwa Syari’ah berurusan dengan perlindungan mushalih,
baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mushalih
syariah, mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mushalih
; maupun dengan preventif.
1. Pembagian
Maqashid Al-Syari’ah
Menurut Al-Syatibi kemaslahatan manusia dapat
terealisasikan apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan
dipelihara yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini Ia
membagi maqashid menjadi tiga tingkatan yaitu dharuriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat.
a.
Dharuriyat
Jenis
maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan
manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam
kehidupan manusia. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan
menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata diakhirat kelak.
Sebagai
contoh, penunaian rukun islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan
mencuri masing-masingmerupakan salah satu bentuk pemeliharaan ekistensi agama
dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistesi harta.
b.
Hajiyat
Jenis
maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan
atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsurv pokok
kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kebolehan
untuk melaksanakan akad mutharabah, musaqat, muzara’ah, dan baisalam, serta
berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan
atau menghilangkan kehidupan manusia di dunia.
c.
Tahsiniyat
Tujuan
jenis maqashid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik
untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak
dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi
hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia.
2. Korelasi
Antara Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam,
Al-Syatibi menyimpulkan korelasi antara ketiganya, sebagai berikut :
a.
Maqashid dharuriyat, merupakan dasar
bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
b.
Kerusakan pada maqashid daruriyat akan
membawa kerusakan pula pada maqashid
hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
c.
Sebaliknya, kerusakan pada maqashid
hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
d.
Kerusakan pada maqashid hajiyat dan
maqashid tashniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid
dharuriyat.
e.
Pemeliharaan maqashid hajiyat dan
maqashid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara
tepat.
Dengan
demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima
unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat
dipisahkan. Tampaknya, bagi Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurna
tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat,
sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
C.
BEBERAPA
PANDANGAN AL-SYATIBI DI BIDANG EKONOMI
1. Objek
Kepemilikan
Pada dasarnya Al-Syatibi mengakui hak milik
individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya
yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah
objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam
hal ini ia membedakan dua macam air yaitu :
Air yang tidak dapat di jadikan sebagai objek
kepemilikan, seperti air sungai dan oase, dan air yang bisa dijadikan sebagai
objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang
tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan
yang dapat di klaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.
2. Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus
di lihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip
pendapat para pedahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, yang
menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara essensial adalah tanggung
jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini,
masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mall serta menyumbangkan sebagai
kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah
dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut
belum pernah dikenal dalam sejarah islam.
D. WAWASAN MODERN TEORI AL-SYATIBI
Dari
pemaparan konsep Maqashid Al-Syariah diatas, terlihat jelas bahwa syaria
menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Al –Syatibi
menggunakan istilah maslahah untuk mnggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata
lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktifitas ekonomi
produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti di
defenisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh
kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh aktifitas ekonomi yang
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).
Bila
ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontenporer, konsep maqashid
al-syariah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Seperti
yang telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan
“mengapa”seseorang berprilaku. Motivasi itu sendiri didefenisikan sebagai
seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam manusia yang di gambarkan
dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan sebagainya. Bila dikaitkan dalam konsep
maqashid al-syariah jelas bahwa dalam pandangan islam, motivasi manusia dalam melakukan
aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhanya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia maupun di
akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
- Karim, Adiwarman
A. 2004. ”Ekonomi Islam Suatu
Kajian Kontemporer”. Gema Insani Press:
Jakarta.
- Chapra, Umar.
2000. ”Islam Dan Tantangan
Ekonomi”. Gema Insani Press: Jakarta.
- Amalia, Euis.
2007. ”Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingg Kontemporer”. Pusaka
Asatruss: Jakarta