Music

Monday, 1 October 2012

PEMIKIRAN EKONOMI AL –SYATIBI (790 H/ 1388 M)




A.    RIWAYAT HIDUP

Al-Syatibi yang  bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-S yatibi mraNGerupakan salah seorang cendikiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Ia berasal dari suku arab Lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan kedaerah asal keluarganya, Syatiba (Xatiba atau Jativa), yang terletak dikawasan Spanyol bagian Timur.
Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol.  Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada.
Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik dikota tersebut sangat menguntungkan bagi Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya dikemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il  (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat).
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, Al-Syatibi lebih berminat mempelajari bahasa arab dan khususnya, Ushul Fiqih. Ketertarikannya terhadap ilmu Ushul fiqih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu bakar Al-Qadidan Abu Abdillah Al-Bayani. 


B.     KONSEP MAQASHID AL-SYARI’AH
Sebagai sumber utama agama islam, Al Qur’an mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Al Qur’an dalam tiga bagian besar, yaitu akidah, akhlaq, dan syariah. Akidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlaq berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari’ah), dalam sistematika hukum islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas).
Secara bahasa, Maqashid Al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syariah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan Al- Syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam Syariah menyangkut perlindungan Maqashid Al-Syariah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa Syari’ah berurusan dengan perlindungan mushalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mushalih syariah, mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mushalih ; maupun dengan preventif.
1.      Pembagian Maqashid Al-Syari’ah

Menurut Al-Syatibi kemaslahatan manusia dapat terealisasikan apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini Ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.

a.       Dharuriyat

Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata diakhirat kelak.
Sebagai contoh, penunaian rukun islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-masingmerupakan salah satu bentuk pemeliharaan ekistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistesi harta.


b.      Hajiyat

Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsurv pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mutharabah, musaqat, muzara’ah, dan baisalam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kehidupan manusia di dunia.

c.       Tahsiniyat

Tujuan jenis maqashid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia.

2.      Korelasi Antara Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan korelasi antara ketiganya, sebagai berikut :

a.       Maqashid dharuriyat, merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
b.      Kerusakan pada maqashid daruriyat akan membawa kerusakan pula pada  maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
c.       Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
d.      Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tashniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
e.       Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara tepat.

Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya, bagi Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.

C.    BEBERAPA PANDANGAN AL-SYATIBI  DI BIDANG EKONOMI

1.      Objek Kepemilikan

Pada dasarnya Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini ia membedakan dua macam air yaitu :
Air yang tidak dapat di jadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase, dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat di klaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.

2.      Pajak

Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus di lihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pedahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, yang menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara essensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mall serta menyumbangkan sebagai kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah islam.

D.    WAWASAN MODERN TEORI AL-SYATIBI
Dari pemaparan konsep Maqashid Al-Syariah diatas, terlihat jelas bahwa syaria menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Al –Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk mnggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktifitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti di defenisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, seluruh aktifitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).
Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontenporer, konsep maqashid al-syariah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Seperti yang telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa”seseorang berprilaku. Motivasi itu sendiri didefenisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam manusia yang di gambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan sebagainya. Bila dikaitkan dalam konsep maqashid al-syariah jelas bahwa dalam pandangan islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhanya dalam arti memperoleh  kemaslahatan hidup di dunia maupun di akhirat.


DAFTAR PUSTAKA
  • Karim, Adiwarman A. 2004. ”Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer”. Gema Insani Press: Jakarta.
  • Chapra, Umar. 2000. ”Islam Dan Tantangan Ekonomi”. Gema Insani Press: Jakarta.
  • Amalia, Euis. 2007. ”Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingg Kontemporer”. Pusaka Asatruss: Jakarta