Music

Sunday 4 December 2016

Populasi dan Sampel

BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Pengertian Populasi dan Sampel
Tak ada seorang pun yang dapat berbicara dengan tertib tanpa proses berfikir tertib. Tak ada pula orang yang bisa menulis secara sistematis tanpa fikiran sistematis. Orang yang ujarannya kacau dapat dipastikan fikirannya kacau. Demikian pula orang yang tulisannya tidak menentu didasari oleh fikiran yang kacau dan tidak menentu. Untuk menjadi tertib dan sistematis, ujaran dan tulisan membutuhkan fikiran yang tertib dan sistematis.[1]
Penentuan populasi dan sampel tentulah membutuhkan proses berfikir yang tertib dan sistematis untuk mencapai tujuan penelitian yang diinginkan. Bagaimanapun peneliti telah berupaya agar kelak hasil penelitian dan kesimpulannya dapat dimanfaatkan oleh khalayak. Lebih mendalam, peneliti harus cerdas memilih dan menetukan siapa yang berhak dijadikan sampel serta siapa yang tidak. Interaksi peneliti dengan objek yang ditelitinya diuraikan berdasarkan populasi yang telah matang, dalam artian populasi tersebut mampu menjadi dasar kekuatan data yang valid untuk dipertanggungjawabkan dikemudian hari.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Populasi bukan hanya orang, melainkan juga benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek-subjek yang dipelajari, melainkan seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek itu. Dalam bidang komunikasi, populasi tersebut sangat bergantung kepada bentuk komunikasi dan teori komunikasi yang digunakan. Misalnya apabila bentuk komunikasi yang digunakan memakai teori komunikasi massa, maka populasi yang bisa menjadi sasaran atau khalayak media massa (penonton, pendengar dan pembaca).[2]
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Umumnya populasi tersebut jumlahnya besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu, sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).[3]
B.       Manfaat Sampel
Secara potensial timbul ketegangan antara “kenyataan” dan “keharusan”, antara yang aktual dan yang ideal. Mungkin terdapat ketegangan antara apa yang dilakukan setiap orang dengan apa yang menurut kita harus dilakukan oleh orang tersebut.[4]
Setiap peneliti, mempunyai keharusan untuk mengikat hubungannya dengan sampel yang dipilih (sampel berupa manusia) agar mendapatkan informasi yang “nyata” sesuai pendapat sampel. Disamping itu, sampel bermanfaat untuk membandingkan antara kenyataan dengan keharusan yang dilakukan si peneliti. Dalam hal ini, informasi yang diperoleh bisa memenuhi tujuan penelitian maka dibutuhkan ketepatan dari data yang dikumpulkan. Agar data yang diambil berguna maka data tersebut haruslah objektif (sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya), representative (mewakili keadaan yang sebenarnya), variasinya kecil, tepat waktu dan relevan untuk menjawab persoalan yang sedang menjadi pokok bahasan.
Salah satu hal yang menakjubkan dalam penelitian ialah kenyataan bahwa kita dapat menduga sifa-sifat suatu kumpulan objek penelitian hanya dengan mempelajari dalam mengamati sebagian dari kumpulan itu. Bagian yang diamati itu disebut sample, sedangkan kumpulan objek penelitian disebut populasi.[5]








BAB 2
PEMBAHASAN

A.      Sampel probabilitas dan non-probabilitas
Sampel probabilitas adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Sedangkan, sampel non-probabilitas merupakan  teknik yang tidak memberikan peluang sama sekali atau tidak ada kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Secara skematis, teknik sampling ditunjukkan pada tabel berikut ini :
Tabel 2.1 Teknik Sampling[6]

Teknik Sampling
Probability sampling
Non-probability sampling
1.      Sample random sampling
2.      Proportionate stratified random sampling
3.      Disproportionate stratified random sampling
4.      Cluster sampling (sampling menurut daerah)
1.      Sampling sistematis
2.      Sampling kuota
3.      Purposive sampling
4.      Convinience sampling
5.      Area sampling
6.      Snowball sampling
7.      Sampling Jenuh

B.       Teknik pengambilan sampel
1.      Pengambilan sampel probabilitas atau acak
 Hal ini merupakan metode pemilihan sampel, setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Metode ini sering disebut metode yang terbaik.
a.       Cara acak sederhana (sample random sampling)
Apapun metode yang digunakan, sampling random sederhana harus memiliki kerangka sampling (sampling frame). Kerangka sampling adalah daftar lengkap semua unsur populasi. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1 Menarik sejumlah orang dari kerangka sampling
Populasi Homogen
Sampel Representatif
Diambil Secara Random
 






Misalnya, peneliti ingin mendapatkan sampel korban bencana alam di kota medan, untuk itu si peneliti akan mengambil secara acak dari populasi korban bencana yang representatif (memenuhi kriteria korban bencana).
b.      Proportionate stratified random sampling
Cara ini dipakai jika populasi mempunyai anggota atau unsur berstrata. Sampling berstrata melibatkan pembagian populasi ke dalam kelas, kategori, atau kelompok yang disebut strata. Karakteristik strata boleh jadi kota, daerah, suku bangsa, jenis kelamin, status, usia, dan sebagainya. Ada dua jenis sampel strata : proporsional dan disproporsional. Dalam sampel strata proporsional, dari setiap strata diambil sampel yang sebanding dengan besar setiap strata. Jika disproporsional yakni tidak sebagian strata yang jumlahnya teralalu kecil atau sebagian lagi terlalu besar.
Misalnya, jika ada 10.000 korban bencana alam di Indonesia, lalu peneliti ingin mencari daerah mana yang mewakili dalam sampel proporsi 10% dalam populasi. Metode ini dapat diikuti pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Sampel Berstrata Proporsional
Pulau Bencana
Ukuran Populasi
% dalam Populasi
Pecahan Sampling
N Sampel
% dalam Sampel
Sumatera
10.000
40%
0,10
1.000
40%
Jawa
8.000
32%
0,10
800
32%
Kalimantan
5.000
20%
0,10
500
20%
Sulawesi
2.000
8%
0,10
200
8%

25.000
100%

2.500
100%
Keterangan :
1.      Ditentukan jumlah sampel 2.500
2.      Pecahan sampling untuk setiap strata adalah 2500/25000 = 0,10
3.      Setiap suku bangsa diwakili dalam sampel proporsinya dalam populasi.
c.       Disproportionate stratified random sampling
Teknik ini dipakai untuk menentukan jumlah sampel, jika populasi berstrata, tetapi kurang proporsional.
Misalnya, populasi pegawai dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan mempunyai : 3 orang lulusan S3, 4 orang lulusan S2, 90 orang lulusan S1, 800 orang lulusan SMA, 900 orang SMP, makan yang 3 orang lulusan S3 dan 4 orang lulusan S2 itu diambil semuanya sebagai sampel. Hal ini dikarenakan dua kelompok ini terlalu kecil apabila dibandingkan dengan kelompok S1, SMA dan SMP.
d.      Cluster sampling (sampling menurut daerah)
Ketika sebuah penduduk ingin dijadikan atau digunakan sebagai sumber data, maka pengambilan sampelnya berdasarkan daerah populasi yang telah ditetapkan. Pengambilan sampel dengan cara ini mirip dengan cara stratifikasi di atas. Bedanya, jika cara stratifikasi mengakibatkan adanya subpopulasi yang unsur-unsurnya homogen, maka dengan cara kluster, unsur-unsurnya menjadi heterogen. Selanjutnya, menjadi masing-masing kluster dipilih sampel secara random sebanyak yang dibutuhkan. Cluster sampling sering dipakai ketika penyebaran kuesioner di wilayah tertentu yang memang respondennya heterogen.
Misalnya, peneliti ingin meneliti pegawai-pegawai Badan Penanggulangan Bencana. Tidak mungkin kita menghimpun semua pegawai dalam daftar. Selain daftar itu akan menjadi panjang, juga sulit diperoleh. Jika daftar pegawai sulit dibentuk, maka dapat dikelompokkan berdasarkan regional tempat tinggalnya sehingga lebih mudah. Kelompok pegawai itu disebut klaster. Klaster dapat berupa sekolah, kelas, kecamatan, desa, RW, RT, dan sebagainya. Jika klaster itu bersifat geografis, sampling klaster dapat dilakukan satu tahap (single stage). Berdasarkan daftar pegawai Badan Penanggulangan Bencana, peneliti memilih 3 kota besar. Semua pegawai pada 3 kota itu dijadikan sampel. Jika setiap kota dipilih hanya 4 kecamatan secara random, kita telah melakukan sampel klaster banyak tahap (multi stage).
2.      Pengambilan sampel non-probabilitas atau non-acak
 Cara ini memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Dengan cara ini, semua elemen populasi belum tentu memiliki peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Hal ini terjadi karena ada bagian tertentu secara sengaja atau tidak dijadikan sampel suatu populasi.
a.       Sampling sistematis
Biasa teknik ini dikenal dengan pengambilan sampel melalui cara berurutan sebagai dasar anggota populasi yang terdiri dari 100 orang. Dari semua anggota itu diberi nomor urut yaitu 1 hingga 100 orang. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan nomor ganjil saja, atau genap saja, atau kelipatan bilangan tertentu, misalnya kelipatan dari bilangan lima.
Misalnya, peneliti telah mendapatkan 100 orang data pegawai BPDP Kota Medan, kemudian peneliti ingin melakukan sampling sistematis dengan menomori setiap pegawai, lalu mengambil sampel yang hanya bernomor ganjil saja seperi 1, 3, 7, 9 dan seterusnya.
b.      Cara Kuota (quota sampling)
Metode ini biasanya dipakai untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu hingga jumlah (kuota) yang diinginkan. Jika penelitian diarahkan untuk mengkaji suatu fenomena dari beberapa sisi, responden yang akan dipilih adalah orang-orang yang diperkirakan dapat menjawab semua sisi itu.
Misalnya, telah terjadi banjir besar yang telah merusak berbagai fasilitas umum di daerah tembung Kota Medan, kemudian peneliti ingin mencari data melalui sampel yang tahu dan mengerti bagaimana kronologis dan efek dari banjir besar yang melanda daerah tembung. Sehingga orang-orang yang ada di sekitar daerah tembung, hanya dipilih berdasarkan perannya dan pengetahuannya pada kejadian banjir tersebut.
Penelitian seperti itu dapat disebut penelitian fenomenologis yang bertujuan memperoleh uraian lengkap yang merupakan esensi pengalaman. Sang ilmuwan berupaya menemukan struktur pengalaman dengan menafsirkan uraian orisinal dari situasi tempat pengalaman itu berlangsung.[7]

c.       Purposive sampling (cara keputusan atau judgment sampling)
Metode ini hanya dipakai untuk tujuan tertentu saja. Misalnya akan melakukan penelitian tentang disiplin pegawai BPBD Kota Medan, maka sampel yang dipilih adalah orang yang ahli dalam bidang kepegawaian saja. Peneliti akan beranggapan bahwa orang yang ahli lebih banyak tahu daripada pegawai biasa., peneliti telah melakukan pertimbangan. Cara ini lebih cocok digunakan pada saat tahap awal studi eksploratif.
d.      Convinience sampling (sampling aksidental)
Cara seperti ini digunakan peneliti agar memiliki kebebasan untuk memilih siapa saja yang mereka temui. Meskipun tidak handal, cara ini masih bermanfaat sebab berdasarkan kebetulan. Siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, apabila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.
Misalnya, peneliti yang kebetulan berada di dalam kantor BPBD Kota Medan yang ingin mencari data tentang pegawai yang disiplin, namun sampel yang diambil dan dijadikan sumber data berdasarkan keterangan dari satpam kantor yang terbatas pengetahuannya dalam mengamati lalu lintas pegawai di kantor BPBD Kota Medan.
e.       Cara bola salju (snowball sampling)
Teknik ini menentukan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. Ibarat bola salju menggelinding, makin lama makin besar.
Misalnya, peneliti mengajak seksi pencegahan dan kesiapsiagaan di BPBD Kota Medan untuk berpendapat tentang kuantitas hujan di Kota Medan, tidak sampai disitu, seksi pencegahan dan kesiapsiagaan juga mengajak seksi kedaruratan dan logistik serta seksi rehabilitasi dan konstruksi untuk bersama-sama mengomentari hal tersebut. Sehingga jumlah sampel menjadi semakin banyak.
f.        Area sampling
Pada prinsipnya cara ini menggunakan “perwakilan bertingkat”. Populasi dibagi atas beberapa bagian populasi, dimana bagian populasi ini dapat dibagi-bagi lagi. Dari bagian populasi yang paling kecil diambil sampel sebagai wakilnya untuk masuk kepada bagian populasi yang lebih besar. Dari bagian populasi yang lebih besar ini akan diambil lagi sampel yang akan dipakai lagi dan seterusnya.
Misalnya, peneliti membutuhkan perwakilan dari setiap seksi untuk dinilai tingkat kedisiplinannya di Kantor BPBD Kota Medan. Dari sampel yang diambil kemudian dimasukkan pada bagian populasi “kumpulan pegawai disiplin”. Dengan demikian, dapat dilihat secara menyeluruh total pegawai disiplin dan selanjutnya akan diambil lagi sebagai sampel pegawai yang telah lama bekerja. Oleh karena itu, ditemukan bahwa perwakilan pegawai disiplin yang telah bekerja selama 6 tahun lebih. Lalu, dari pegawai yang disipilin selama 6 tahun ini, diambil lagi sampel dan seterusnya, hingga mencukupi berdasarkan sampel representatif.
g.      Sampling jenuh
Jika diamati pada populasi tertentu, maka dapat ditentukan sampel apabila semua anggota populasi digunakan menjadi sampel. Hal ini sering dilakukan jika jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang. Istilah lain dari sampling jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel atau total sampel.
Misalnya, dalam sebuah seksi di kantor BPBD Kota Medan hanya terdapat 10 pegawai saja. Dan peneliti ingin mengetahui sejauh mana seksi tersebut berpengaruh pada kinerja BPBD kota Medan, dengan begitu seluruh populasi di seksi tersebut dijadikan sampel untuk mencari data dan informasi. Hal ini sering disebut sampling jenuh.
C.      Ukuran sampel yang diperlukan
Penentuan ukuran sampel dari suatu populasi ada dua macam cara, yakni untuk ukuran populasi yang diketahui maupun yang tidak diketahui (atau terlalu besar). Berikut ini dijelaskan cara penentuan ukuran sampel.
1.      Rumus Taro Yamane
Keterangan :

N         = Jumlah Populasi
n          = Sampel
d2           = Presisi
 Untuk jumlah populasi yang telah diketahui dapat digunakan rumus Taro Yamane 




 Misalnya, peneliti ingin menduga proporsi (keseimbangan) pembaca surat kabar dari populasi 3.000 orang. Presisi ditetapkan diantara ± 5% dengan tingkat kepercayaan 95%. Berapa besar sampel yang diperlukan?
Jawabannya :
 =
Yamane memberikan tabel khusus sehingga kita tidak perlu menghitung lagi. Syarat penggunaan rumus Yamane, populasi lebih 500.
2.      Rumus Krejcie
 Tabel krejcie merupakan perhitungan sampel yang paling sederhana. Krejcie dalam melakukan perhitungan ukuran sampel didasarkan atas kesalahan 5%. Jadi sampel yang diperoleh itu mempunyai kepercayaan 95% terhadap populasi.
Tabel 2.3 Tabel Krejcie untuk menentukan ukuran sampel dengan tingkat kesalahan 5% dan tingkat kepercayaan 95%









Keterangan : N = Populasi dan S = Sampel[8]

3.      Rumus Slovin
Keterangan :

n          = Ukuran Sampel
N         = Ukuran Populasi
e              = Kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir, misalnya 2%
Untuk menentukan beberapa minimal sampel yang dibutuhkan jika ukuran populasi diketahui, dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin seperti berikut.


Pemakaian rumus diatas mempunyai asumsi bahwa populasi berdistribusi normal. Pemakaian rumus diatas memperlihatkan batas kesalahan yang tidak dapat digunakan pada ukuran populasi seperti tabel berikut ini.
Tabel 2.4 Ukuran Sampel untuk batas-batas kesalahan dan jumlah populasi yang ditetapkan [9]














D.      Kesalahan sampel
Dalam suatu penelitian, menjadi sebuah kewajiban bagi seorang peneliti untuk mencari tahu kebenaran dari sebuah masalah. Untuk itu ada jalan yang dilalui untuk mendapatkan kebenaran itu, sekalipun berpotensi untuk keliru. Sama halnya dengan penentuan sampel, dapat dipastikan akan ada kesalahan dalam pengambilannya sekalipun harus diminimalisir oleh peneliti. Nilai-nilai tertinggi atau kebenaran berasal dari episteme, yaitu keseluruhan pola berfikir dengan sistem wacana yang digunakan. Jadi, kebenaran terjalin secara intrinsik dalam relasi antara wacana yang digunakan manusia untuk mengungkapkan kebenaran itu.[10]
Begitu pula kesalahan pada penyampelan (sampling error) yang sulit dihindari karena data atau sampel pada umumnya merupakan bagian yang jauh lebih kecil daripada populasi yang ingin dipelajari. Selain itu, kekeliruan mungkin juga terjadi  bukan karena penyampelan. Kekeliruan seperti ini disebut kekeliruan non-sampel.
1.      Kekeliruan sampel
 Kekeliruan timbul disebabkan oleh kenyataan bahwa penelitian dilakukan terhadap sampel dan tidak secara lengkap dilakukan terhadap populasi. hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel akan berbeda hasilnya jika prosedur yang sama dilakukan terhadap populasi. perbedaan kedua hasil inilah yang disebut kekeliruan sampel. Para ahli statistika telah melakukan upaya mengukur dan memperhitungkan kekeliruan itu agar dapat dikontrol untuk diperkecil. Memperkecil kekeliruan sampel dapat dilakukan dengan cara memperbesar ukuran sampel acak yang digunakan. Kekeliruan sampel ini dapat diharapkan saling meniadakan dalam periode waktu penyampelan. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kekeliruan sampel, kadang-kadang memperbesar (over estimate), kadang-kadang memperkecil (under estimate) hasil pengukuran.
2.      Kekeliruan Non-sampel
Kesalahan bisa terjadi pada setiap penelitian apakah itu berdasarkan sampel atau berdasarkan sensus. Kekeliruan non-sampel merupakan kekeliruan sistematis yang sulit atau tidak dapat saling meniadakan. Beberapa penyebab terjadinya kekeliruan non-sampel antara lain :

·         Populasi tidak didefinisikan sebagaimana mestinya
·         Angket atau instrumen pengumpulan dan tidak dirumuskan dengan tepat
·         Istilah yang digunakan tidak terdefinisi dengan baik
·         Responden tidak memberikan jawaban akurat, atau tidak memberikan jawaban
·         Pencatatan, tabulasi dan perhitungan  data yang tidak  benar.
·         Kekeliruan semacam ini menimbulkan kesulitan pada peneliti, karenanya perlu dihindarkan.
Kekeliruan sampel dapat dikurangi dengan memperbesar ukuran sampel, sedangkan kekeliruan nonsampel dapat bertambah sejalan dengan membesarnya ukuran sampel. Kekeliruan nonsampel dapat diperkecil dengan melaksanakan seluruh proses penelitian dengan hati-hati dan cermat dalam usaha menghindari terjadinya kekeliruan non sampel.




















BAB 3
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Penelitian apapun yang sedang anda kerjakan, perlu kiranya mempertimbangkan matang-matang pada bagian populasi dan sampel (jika kuantitatif) dan pemilihan informan (jika kualitatif). Keberhasilan seorang peneliti dalam menentukan populasi dan sampel tergantung pada kedekatan dan pemahamannya tentang objek yang diteliti. Terlebih pada aspek pencarian data dan informasi yang diyakini sebagai pondasi dasar dalam merumuskan dan menyimpulkan masalah.
Hubungan populasi dan sampel menjelaskan kepada kita bahwa, metode penelitian sangatlah kompehensif dan koheren atas hal yang ditemukannya, sebab masing-masing sampel telah berargumen atas kehendaknya pribadi dan tanpa paksaan. Oleh karena itu, patut dikesampingkan persoalan kesalahan sampel yang menjadi momok menakutkan bagi peneliti khususnya metode kuantitatif. Semoga penelitian yang akan dilakukan memberikan efek positif bagi peneliti maupun sampel yang ditentukannya.
B.     Saran
Sebaiknya pengambilan peran sampel dari sebuah populasi seharusnya berdasarkan ekspektasi dan sikap peneliti yang tertib serta sistematis dalam memilih, menentukan maupun mencoba.








DAFTAR PUSTAKA
Ardial, “Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi” (Bumi Aksara : Jakarta, 2014)
Deddy Mulyana dan Solatun “Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh Penelitian
Kualitatif dan Pendekatan Praktis” (Rosdakarya : Bandung, 2013)
Edi Harapan dan Syarwani Ahmad, “Komunikasi antar Pribadi ; Perilaku Insani dalam
Organisasi Pendidikan” (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014)
Iswandi Syahputra, “Rezim Media ; Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, Infotainment dalam
Industri Televisi” (Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2013)
Sugiono, “Metode Penelitian Administrasi” (Alfabeta : Bandung, 2000)
Umar Husein, “Metode Riset Komunikasi Organisasi” (Gramedia : Jakarta, 2002)
Zainul Ma’arif, “Logika Komunikasi” (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2015)




[1] Zainul Ma’arif, “Logika Komunikasi” (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2015), hlm.20
[2]  Ardial, “Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi” (Bumi Aksara : Jakarta, 2014), hlm.336
[3] Ibid., hlm.336-337
[4] Edi Harapan dan Syarwani Ahmad, “Komunikasi antar Pribadi ; Perilaku Insani dalam Organisasi Pendidikan” (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014), hlm. 173
[5] Ardial, “Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi” (Bumi Aksara : Jakarta, 2014), hlm.339
[6] Ibid., hlm.341
[7] Deddy Mulyana dan Solatun “Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif dan Pendekatan Praktis” (Rosdakarya : Bandung, 2013) hlm. 11

[8] Sugiono, “Metode Penelitian Administrasi” (Alfabeta : Bandung, 2000), hlm.65
[9] Umar Husein, “Metode Riset Komunikasi Organisasi” (Gramedia : Jakarta, 2002), hlm.57
[10] Iswandi Syahputra, “Rezim Media ; Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, Infotainment dalam Industri Televisi” (Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2013), hlm.181

0 komentar:

Post a Comment