BAB 1
PENDAHULUAN
A. Pengertian Populasi dan Sampel
Tak ada seorang pun
yang dapat berbicara dengan tertib tanpa proses berfikir tertib. Tak ada pula
orang yang bisa menulis secara sistematis tanpa fikiran sistematis. Orang yang
ujarannya kacau dapat dipastikan fikirannya kacau. Demikian pula orang yang tulisannya
tidak menentu didasari oleh fikiran yang kacau dan tidak menentu. Untuk menjadi
tertib dan sistematis, ujaran dan tulisan membutuhkan fikiran yang tertib dan
sistematis.[1]
Penentuan populasi
dan sampel tentulah membutuhkan proses berfikir yang tertib dan sistematis
untuk mencapai tujuan penelitian yang diinginkan. Bagaimanapun peneliti telah
berupaya agar kelak hasil penelitian dan kesimpulannya dapat dimanfaatkan oleh
khalayak. Lebih mendalam, peneliti harus cerdas memilih dan menetukan siapa
yang berhak dijadikan sampel serta siapa yang tidak. Interaksi peneliti dengan
objek yang ditelitinya diuraikan berdasarkan populasi yang telah matang, dalam
artian populasi tersebut mampu menjadi dasar kekuatan data yang valid untuk
dipertanggungjawabkan dikemudian hari.
Populasi adalah
wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Populasi bukan hanya orang,
melainkan juga benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah
yang ada pada objek-subjek yang dipelajari, melainkan seluruh karakteristik
atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek itu. Dalam bidang komunikasi,
populasi tersebut sangat bergantung kepada bentuk komunikasi dan teori
komunikasi yang digunakan. Misalnya apabila bentuk komunikasi yang digunakan
memakai teori komunikasi massa, maka populasi yang bisa menjadi sasaran atau
khalayak media massa (penonton, pendengar dan pembaca).[2]
Sampel adalah
sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.
Umumnya populasi tersebut jumlahnya besar, dan peneliti tidak mungkin
mempelajari semua yang ada pada populasi. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan dana, tenaga dan waktu. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka
peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Yang
dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi.
Untuk itu, sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif
(mewakili).[3]
B. Manfaat Sampel
Secara potensial
timbul ketegangan antara “kenyataan” dan “keharusan”, antara yang aktual dan
yang ideal. Mungkin terdapat ketegangan antara apa yang dilakukan setiap orang
dengan apa yang menurut kita harus dilakukan oleh orang tersebut.[4]
Setiap peneliti,
mempunyai keharusan untuk mengikat hubungannya dengan sampel yang dipilih
(sampel berupa manusia) agar mendapatkan informasi yang “nyata” sesuai pendapat
sampel. Disamping itu, sampel bermanfaat untuk membandingkan antara kenyataan
dengan keharusan yang dilakukan si peneliti. Dalam hal ini,
informasi yang diperoleh bisa memenuhi tujuan penelitian maka
dibutuhkan ketepatan dari data yang dikumpulkan. Agar data yang diambil berguna
maka data tersebut haruslah objektif (sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya),
representative (mewakili keadaan yang
sebenarnya), variasinya kecil, tepat waktu dan relevan untuk menjawab persoalan
yang sedang menjadi pokok bahasan.
Salah satu hal yang
menakjubkan dalam penelitian ialah kenyataan bahwa kita dapat menduga
sifa-sifat suatu kumpulan objek penelitian hanya dengan mempelajari dalam
mengamati sebagian dari kumpulan itu. Bagian yang diamati itu disebut sample,
sedangkan kumpulan objek penelitian disebut populasi.[5]
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sampel probabilitas dan non-probabilitas
Sampel probabilitas
adalah teknik pengambilan sampel
yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk
dipilih menjadi anggota sampel. Sedangkan, sampel non-probabilitas merupakan teknik yang tidak memberikan peluang sama sekali atau tidak ada kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk
dipilih menjadi sampel. Secara skematis, teknik sampling ditunjukkan pada tabel berikut ini :
Tabel 2.1 Teknik Sampling[6]
Teknik Sampling
|
|
Probability sampling
|
Non-probability sampling
|
1.
Sample random
sampling
2.
Proportionate
stratified random sampling
3.
Disproportionate
stratified random sampling
4.
Cluster sampling
(sampling menurut daerah)
|
1.
Sampling sistematis
2.
Sampling kuota
3.
Purposive sampling
4.
Convinience
sampling
5.
Area sampling
6.
Snowball sampling
7.
Sampling Jenuh
|
B. Teknik pengambilan sampel
1.
Pengambilan sampel probabilitas atau acak
Hal ini merupakan metode pemilihan sampel,
setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi
anggota sampel. Metode ini sering disebut metode yang terbaik.
a.
Cara acak sederhana (sample random
sampling)
Apapun
metode yang digunakan, sampling random sederhana harus memiliki kerangka sampling
(sampling frame). Kerangka sampling adalah daftar lengkap semua unsur populasi.
Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1 Menarik sejumlah orang dari kerangka sampling
Populasi Homogen
|
Sampel Representatif
|
Diambil Secara Random
|
Misalnya,
peneliti ingin mendapatkan sampel korban bencana alam di kota medan, untuk itu
si peneliti akan mengambil secara acak dari populasi korban bencana yang
representatif (memenuhi kriteria korban bencana).
b.
Proportionate stratified random sampling
Cara
ini dipakai jika populasi mempunyai anggota atau unsur berstrata. Sampling
berstrata melibatkan pembagian populasi ke dalam kelas, kategori, atau kelompok
yang disebut strata. Karakteristik strata boleh jadi kota, daerah, suku bangsa,
jenis kelamin, status, usia, dan sebagainya. Ada dua jenis sampel strata :
proporsional dan disproporsional. Dalam sampel strata proporsional, dari setiap
strata diambil sampel yang sebanding dengan besar setiap strata. Jika
disproporsional yakni tidak sebagian strata yang jumlahnya teralalu kecil atau
sebagian lagi terlalu besar.
Misalnya,
jika ada 10.000 korban bencana alam di Indonesia, lalu peneliti ingin mencari
daerah mana yang mewakili dalam sampel proporsi 10% dalam populasi. Metode ini
dapat diikuti pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Sampel Berstrata Proporsional
Pulau Bencana
|
Ukuran Populasi
|
% dalam Populasi
|
Pecahan Sampling
|
N Sampel
|
% dalam Sampel
|
Sumatera
|
10.000
|
40%
|
0,10
|
1.000
|
40%
|
Jawa
|
8.000
|
32%
|
0,10
|
800
|
32%
|
Kalimantan
|
5.000
|
20%
|
0,10
|
500
|
20%
|
Sulawesi
|
2.000
|
8%
|
0,10
|
200
|
8%
|
|
25.000
|
100%
|
|
2.500
|
100%
|
Keterangan :
1.
Ditentukan
jumlah sampel 2.500
2.
Pecahan
sampling untuk setiap strata adalah 2500/25000 = 0,10
3.
Setiap suku
bangsa diwakili dalam sampel proporsinya dalam populasi.
c.
Disproportionate stratified random
sampling
Teknik
ini dipakai untuk menentukan jumlah sampel, jika populasi berstrata, tetapi
kurang proporsional.
Misalnya,
populasi pegawai dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Medan mempunyai :
3 orang lulusan S3, 4 orang lulusan S2, 90 orang lulusan S1, 800 orang lulusan
SMA, 900 orang SMP, makan yang 3 orang lulusan S3 dan 4 orang lulusan S2 itu
diambil semuanya sebagai sampel. Hal ini dikarenakan dua kelompok ini terlalu
kecil apabila dibandingkan dengan kelompok S1, SMA dan SMP.
d.
Cluster sampling (sampling
menurut daerah)
Ketika
sebuah penduduk ingin dijadikan atau digunakan sebagai sumber data, maka
pengambilan sampelnya berdasarkan daerah populasi yang telah ditetapkan.
Pengambilan sampel dengan cara ini mirip dengan cara stratifikasi di atas.
Bedanya, jika cara stratifikasi mengakibatkan adanya subpopulasi yang
unsur-unsurnya homogen, maka dengan cara kluster, unsur-unsurnya menjadi
heterogen. Selanjutnya, menjadi masing-masing kluster dipilih sampel secara
random sebanyak yang dibutuhkan. Cluster sampling sering dipakai ketika
penyebaran kuesioner di wilayah tertentu yang memang respondennya heterogen.
Misalnya,
peneliti ingin meneliti pegawai-pegawai Badan Penanggulangan Bencana. Tidak
mungkin kita menghimpun semua pegawai dalam daftar. Selain daftar itu akan
menjadi panjang, juga sulit diperoleh. Jika daftar pegawai sulit dibentuk, maka
dapat dikelompokkan berdasarkan regional tempat tinggalnya sehingga lebih
mudah. Kelompok pegawai itu disebut klaster. Klaster dapat berupa sekolah,
kelas, kecamatan, desa, RW, RT, dan sebagainya. Jika klaster itu bersifat
geografis, sampling klaster dapat dilakukan satu tahap (single stage). Berdasarkan daftar pegawai Badan Penanggulangan
Bencana, peneliti memilih 3 kota besar. Semua pegawai pada 3 kota itu dijadikan
sampel. Jika setiap kota dipilih hanya 4 kecamatan secara random, kita telah
melakukan sampel klaster banyak tahap
(multi stage).
2.
Pengambilan sampel non-probabilitas atau non-acak
Cara ini memberi peluang atau kesempatan sama
bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Dengan
cara ini, semua elemen populasi belum tentu memiliki peluang yang sama untuk
dipilih menjadi anggota sampel. Hal ini terjadi karena ada bagian tertentu
secara sengaja atau tidak dijadikan sampel suatu populasi.
a.
Sampling sistematis
Biasa
teknik ini dikenal dengan pengambilan sampel melalui cara berurutan sebagai
dasar anggota populasi yang terdiri dari 100 orang. Dari semua anggota itu
diberi nomor urut yaitu 1 hingga 100 orang. Pengambilan sampel dapat dilakukan
dengan nomor ganjil saja, atau genap saja, atau kelipatan bilangan tertentu,
misalnya kelipatan dari bilangan lima.
Misalnya,
peneliti telah mendapatkan 100 orang data pegawai BPDP Kota Medan, kemudian
peneliti ingin melakukan sampling sistematis dengan menomori setiap pegawai,
lalu mengambil sampel yang hanya bernomor ganjil saja seperi 1, 3, 7, 9 dan
seterusnya.
b.
Cara Kuota (quota sampling)
Metode
ini biasanya dipakai untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai
ciri-ciri tertentu hingga jumlah (kuota) yang diinginkan. Jika penelitian
diarahkan untuk mengkaji suatu fenomena dari beberapa sisi, responden yang akan
dipilih adalah orang-orang yang diperkirakan dapat menjawab semua sisi itu.
Misalnya,
telah terjadi banjir besar yang telah merusak berbagai fasilitas umum di daerah
tembung Kota Medan, kemudian peneliti ingin mencari data melalui sampel yang
tahu dan mengerti bagaimana kronologis dan efek dari banjir besar yang melanda
daerah tembung. Sehingga orang-orang yang ada di sekitar daerah tembung, hanya
dipilih berdasarkan perannya dan pengetahuannya pada kejadian banjir tersebut.
Penelitian
seperti itu dapat disebut penelitian fenomenologis yang bertujuan memperoleh
uraian lengkap yang merupakan esensi pengalaman. Sang ilmuwan berupaya
menemukan struktur pengalaman dengan menafsirkan uraian orisinal dari situasi
tempat pengalaman itu berlangsung.[7]
c.
Purposive sampling (cara keputusan atau judgment sampling)
Metode
ini hanya dipakai untuk tujuan tertentu saja. Misalnya akan melakukan
penelitian tentang disiplin pegawai BPBD Kota Medan, maka sampel yang dipilih
adalah orang yang ahli dalam bidang kepegawaian saja. Peneliti akan beranggapan
bahwa orang yang ahli lebih banyak tahu daripada pegawai biasa., peneliti telah
melakukan pertimbangan. Cara ini lebih cocok digunakan pada saat tahap awal
studi eksploratif.
d.
Convinience sampling (sampling aksidental)
Cara
seperti ini digunakan peneliti agar memiliki kebebasan untuk memilih siapa saja
yang mereka temui. Meskipun tidak handal, cara ini masih bermanfaat sebab
berdasarkan kebetulan. Siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti
dapat digunakan sebagai sampel, apabila dipandang orang yang kebetulan ditemui
itu cocok sebagai sumber data.
Misalnya,
peneliti yang kebetulan berada di dalam kantor BPBD Kota Medan yang ingin
mencari data tentang pegawai yang disiplin, namun sampel yang diambil dan
dijadikan sumber data berdasarkan keterangan dari satpam kantor yang terbatas
pengetahuannya dalam mengamati lalu lintas pegawai di kantor BPBD Kota Medan.
e.
Cara bola salju (snowball sampling)
Teknik
ini menentukan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini
disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel. Begitu seterusnya,
sehingga jumlah sampel semakin banyak. Ibarat bola salju menggelinding, makin
lama makin besar.
Misalnya,
peneliti mengajak seksi pencegahan dan kesiapsiagaan di BPBD Kota Medan untuk
berpendapat tentang kuantitas hujan di Kota Medan, tidak sampai disitu, seksi
pencegahan dan kesiapsiagaan juga mengajak seksi kedaruratan dan logistik serta
seksi rehabilitasi dan konstruksi untuk bersama-sama mengomentari hal tersebut.
Sehingga jumlah sampel menjadi semakin banyak.
f.
Area sampling
Pada
prinsipnya cara ini menggunakan “perwakilan bertingkat”. Populasi dibagi atas
beberapa bagian populasi, dimana bagian populasi ini dapat dibagi-bagi lagi.
Dari bagian populasi yang paling kecil diambil sampel sebagai wakilnya untuk
masuk kepada bagian populasi yang lebih besar. Dari bagian populasi yang lebih
besar ini akan diambil lagi sampel yang akan dipakai lagi dan seterusnya.
Misalnya,
peneliti membutuhkan perwakilan dari setiap seksi untuk dinilai tingkat
kedisiplinannya di Kantor BPBD Kota Medan. Dari sampel yang diambil kemudian
dimasukkan pada bagian populasi “kumpulan pegawai disiplin”. Dengan demikian,
dapat dilihat secara menyeluruh total pegawai disiplin dan selanjutnya akan
diambil lagi sebagai sampel pegawai yang telah lama bekerja. Oleh karena itu,
ditemukan bahwa perwakilan pegawai disiplin yang telah bekerja selama 6 tahun
lebih. Lalu, dari pegawai yang disipilin selama 6 tahun ini, diambil lagi
sampel dan seterusnya, hingga mencukupi berdasarkan sampel representatif.
g.
Sampling jenuh
Jika
diamati pada populasi tertentu, maka dapat ditentukan sampel apabila semua
anggota populasi digunakan menjadi sampel. Hal ini sering dilakukan jika jumlah
populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang. Istilah lain dari sampling jenuh
adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel atau total
sampel.
Misalnya,
dalam sebuah seksi di kantor BPBD Kota Medan hanya terdapat 10 pegawai saja.
Dan peneliti ingin mengetahui sejauh mana seksi tersebut berpengaruh pada
kinerja BPBD kota Medan, dengan begitu seluruh populasi di seksi tersebut
dijadikan sampel untuk mencari data dan informasi. Hal ini sering disebut
sampling jenuh.
C. Ukuran sampel yang diperlukan
Penentuan ukuran
sampel dari suatu populasi ada dua macam cara, yakni untuk ukuran populasi yang
diketahui maupun yang tidak diketahui (atau terlalu besar). Berikut ini
dijelaskan cara penentuan ukuran sampel.
1.
Rumus Taro Yamane
Keterangan :
N = Jumlah Populasi
n = Sampel
d2 = Presisi
|
Misalnya, peneliti ingin menduga
proporsi (keseimbangan) pembaca surat kabar dari populasi 3.000 orang. Presisi
ditetapkan diantara ± 5% dengan tingkat kepercayaan 95%. Berapa besar sampel
yang diperlukan?
Jawabannya :
Yamane memberikan tabel khusus sehingga kita tidak perlu menghitung lagi.
Syarat penggunaan rumus Yamane, populasi lebih 500.
2.
Rumus Krejcie
Tabel krejcie merupakan perhitungan sampel
yang paling sederhana. Krejcie dalam melakukan perhitungan ukuran sampel
didasarkan atas kesalahan 5%. Jadi sampel yang diperoleh itu mempunyai
kepercayaan 95% terhadap populasi.
Tabel 2.3 Tabel Krejcie untuk menentukan ukuran sampel dengan tingkat kesalahan 5%
dan tingkat kepercayaan 95%
Keterangan : N =
Populasi dan S = Sampel[8]
3.
Rumus Slovin
Keterangan :
n = Ukuran Sampel
N = Ukuran Populasi
e = Kelonggaran
ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir,
misalnya 2%
|
Pemakaian rumus diatas mempunyai asumsi bahwa populasi berdistribusi
normal. Pemakaian rumus diatas memperlihatkan batas kesalahan yang tidak dapat
digunakan pada ukuran populasi seperti tabel berikut ini.
D. Kesalahan sampel
Dalam suatu
penelitian, menjadi sebuah kewajiban bagi seorang peneliti untuk mencari tahu
kebenaran dari sebuah masalah. Untuk itu ada jalan yang dilalui untuk
mendapatkan kebenaran itu, sekalipun berpotensi untuk keliru. Sama halnya
dengan penentuan sampel, dapat dipastikan akan ada kesalahan dalam
pengambilannya sekalipun harus diminimalisir oleh peneliti. Nilai-nilai
tertinggi atau kebenaran berasal dari episteme,
yaitu keseluruhan pola berfikir dengan sistem wacana yang digunakan. Jadi,
kebenaran terjalin secara intrinsik dalam relasi antara wacana yang digunakan
manusia untuk mengungkapkan kebenaran itu.[10]
Begitu pula kesalahan pada penyampelan (sampling
error) yang
sulit dihindari karena
data atau sampel pada umumnya merupakan bagian yang jauh lebih kecil daripada
populasi yang ingin dipelajari. Selain
itu, kekeliruan mungkin juga terjadi bukan karena penyampelan. Kekeliruan
seperti ini disebut kekeliruan non-sampel.
1.
Kekeliruan
sampel
Kekeliruan timbul disebabkan oleh kenyataan bahwa
penelitian dilakukan terhadap sampel dan tidak secara lengkap dilakukan
terhadap populasi. hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel akan berbeda
hasilnya jika prosedur yang sama dilakukan terhadap populasi. perbedaan kedua
hasil inilah yang disebut kekeliruan sampel. Para ahli statistika telah melakukan upaya mengukur
dan memperhitungkan kekeliruan itu agar dapat dikontrol untuk diperkecil.
Memperkecil kekeliruan sampel dapat dilakukan dengan cara memperbesar ukuran
sampel acak yang digunakan. Kekeliruan sampel ini dapat diharapkan saling
meniadakan dalam periode waktu penyampelan. Banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya kekeliruan sampel, kadang-kadang memperbesar (over estimate), kadang-kadang memperkecil (under estimate) hasil pengukuran.
2.
Kekeliruan
Non-sampel
Kesalahan bisa terjadi pada setiap penelitian apakah itu
berdasarkan sampel atau berdasarkan sensus. Kekeliruan non-sampel merupakan kekeliruan sistematis yang sulit atau
tidak dapat saling meniadakan. Beberapa penyebab terjadinya kekeliruan non-sampel antara lain :
·
Populasi
tidak didefinisikan sebagaimana mestinya
·
Angket
atau instrumen pengumpulan dan tidak dirumuskan dengan tepat
·
Istilah
yang digunakan tidak terdefinisi dengan baik
·
Responden
tidak memberikan jawaban akurat, atau tidak memberikan jawaban
·
Pencatatan,
tabulasi dan perhitungan data yang tidak benar.
·
Kekeliruan
semacam ini menimbulkan kesulitan pada peneliti, karenanya perlu dihindarkan.
Kekeliruan sampel
dapat dikurangi dengan memperbesar ukuran sampel, sedangkan kekeliruan
nonsampel dapat bertambah sejalan dengan membesarnya ukuran sampel. Kekeliruan
nonsampel dapat diperkecil dengan melaksanakan seluruh proses penelitian dengan
hati-hati dan cermat dalam usaha menghindari terjadinya kekeliruan non sampel.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian
apapun yang sedang anda kerjakan, perlu kiranya mempertimbangkan matang-matang
pada bagian populasi dan sampel (jika kuantitatif) dan pemilihan informan (jika
kualitatif). Keberhasilan seorang peneliti dalam menentukan populasi dan sampel
tergantung pada kedekatan dan pemahamannya tentang objek yang diteliti.
Terlebih pada aspek pencarian data dan informasi yang diyakini sebagai pondasi
dasar dalam merumuskan dan menyimpulkan masalah.
Hubungan
populasi dan sampel menjelaskan kepada kita bahwa, metode penelitian sangatlah
kompehensif dan koheren atas hal yang ditemukannya, sebab masing-masing sampel
telah berargumen atas kehendaknya pribadi dan tanpa paksaan. Oleh karena itu,
patut dikesampingkan persoalan kesalahan sampel yang menjadi momok menakutkan
bagi peneliti khususnya metode kuantitatif. Semoga penelitian yang akan
dilakukan memberikan efek positif bagi peneliti maupun sampel yang
ditentukannya.
B. Saran
Sebaiknya
pengambilan peran sampel dari sebuah populasi seharusnya berdasarkan ekspektasi
dan sikap peneliti yang tertib serta sistematis dalam memilih, menentukan
maupun mencoba.
DAFTAR PUSTAKA
Ardial, “Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi” (Bumi Aksara : Jakarta,
2014)
Deddy Mulyana dan Solatun “Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh
Penelitian
Kualitatif dan Pendekatan Praktis” (Rosdakarya : Bandung, 2013)
Edi Harapan dan Syarwani Ahmad, “Komunikasi antar Pribadi ; Perilaku Insani
dalam
Organisasi Pendidikan” (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014)
Iswandi Syahputra, “Rezim Media ; Pergulatan Demokrasi,
Jurnalisme, Infotainment dalam
Industri Televisi” (Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2013)
Sugiono, “Metode Penelitian Administrasi” (Alfabeta : Bandung, 2000)
Umar Husein, “Metode Riset Komunikasi Organisasi” (Gramedia : Jakarta, 2002)
Zainul Ma’arif, “Logika Komunikasi” (Raja Grafindo
Persada : Jakarta, 2015)
[4] Edi Harapan
dan Syarwani Ahmad, “Komunikasi antar
Pribadi ; Perilaku Insani dalam Organisasi Pendidikan” (Raja Grafindo
Persada : Jakarta, 2014), hlm. 173
[7] Deddy Mulyana dan
Solatun “Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh
Penelitian Kualitatif dan Pendekatan Praktis” (Rosdakarya : Bandung, 2013)
hlm. 11
[10] Iswandi
Syahputra, “Rezim Media ; Pergulatan
Demokrasi, Jurnalisme, Infotainment dalam Industri Televisi” (Gramedia
Pustaka Utama : Jakarta, 2013), hlm.181
0 komentar:
Post a Comment