BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang munculnya Syi’ah
Kelainan
cara pandang dan orientasi adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan
makhluk yang lain. Kedua-duanya adalah sebab utama berkembangnya berbagai macam
kelompok. Tragedi Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib adalah bentuk awal dari
perbedaan pendapat yang ada dalam dinamika kehidupan manusia.
Bahkan
dalam satu kelompok yang cenderung mempunyai ideologi yang sama, tak lepas dari
perbedaan pendapat dari individu-individu yang ada di dalamnya. Begitu
juga dengan Islam, Meski sama-sama berpegang teguh pada Alquran dan Hadits, dengan
mudah kita temui perbedaan yang melingkupi tubuh umat muslim. Ada golongan Khawarij,
Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, Syi’ah, dan lain sebagainya. Perbedaan tersebut
dapat terlihat ketika golongan Syi’ah mengimani Aqidah Bada’ (mampu melihat
Tuhan) seperti dalam firman Allah Swt. Q.S. Al-Qiyamah : 22-23, “Dan wajah-wajah (orang-orang Mukmin)
pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat.” juga pada hadits disebutkan “kami pernah duduk bersama
nabi Muhammad kemudia beliau melihat bulan purnama pada malam empat belas, maka
beliau bersabda “kalian akan melihat Tuhan kalian dengan mata kepala,
sebagaimana kalian melihat bulan ini dan tidak bersusah-susah dalam melihatnya.
H.R. Bukhari dan Muslim dari Jarir bin Abdullah Al Bajali[1]
Berawal dari wafatnya Nabi Muhammad saw
yang dalam tiga hari belum juga dikuburkan, disebabkan oleh para sahabat yang masih
bimbang tentang pengganti Nabi Muhammad saw, maka ditetapkanlah khalifah
(pengganti) yaitu orang yang paling dekat dan dipercaya oleh Nabi Muhammad saw
yaitu Abu Bakar As-Siddiq. Walaupun terlihat janggal ketika kepentingan politik
dibawa dan diutamakan ketimbang persoalan agama. Setelah itu, perbedaan visi
politik khalifah kedua (Umar bin Khattab) dengan khalifah ketiga (Usman bin
Affan) membentuk persoalan baru dikalangan kaum muslimin ketika itu. Hingga
puncaknya terjadi pembunuhan khalifah Usman bin Affan yang pembunuhnya tidak
dihukum mati, namun diangkat menjadi gubernur Mesir dan memberikan kesan tidak
baik di hati para kaum muslimin. Kemudian, meyinggung cerita Muawiyah dan Ali
yang sangat fenomenal dikala itu, perihal perebutan kekuasaan dalam tubuh Islam
masih terlihat kontras. Lantas terjadilah perang shiffin selama sepuluh hari
dan hasilnya Muawiyah terlihat kalah, dengan kelicikan politik kekuasaannya,
Muawiyah menginginkan permintaan damai kepada Ali melalui proposal perundingan
damai (Tahkim). Kesepakatan telah dicapai hingga momen pengumuman hasil
perundingan dilaksanakan, namun disaat kubu Muawiyah menyampaikan hasilnya,
ternyata berbeda sekali dengan hasil kesepakatan yang telah ditentukan, bahwa
Ali menyatakan telah menyerahkan kekuasaan terhadap Muawiyah. Sehingga dari rentetan
kejadian tersebut melahirkan beberapa aliran kalam yang hingga hari ini masih
tumbuh subur di Indonesia yang diantaranya adalah Syi’ah.
B.
Pengenalan
Syi’ah
Syi’ah merupakan
sekte
dengan jumlah penganut terbesar kedua dalam agama Islam,
setelah Sunni.
Sekitar sembilan puluh persen umat Muslim sedunia merupakan penganut Sunni,
dan sepuluh persen penganut Syi'ah.[2] “Syi'ah” adalah bentuk pendek
dari kalimat bersejarah “Syi`ah `Ali” yang berarti “pengikut Ali”, yang berkenaan
dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah ayat yang berbunyi “khair al-bariyyah”, saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda,
“Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung – (ya 'Ali anta wa syi'atuka hum
al-faizun".[3]
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib,
yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan
kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus
kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh
Muslim Sunni.
Menurut keyakinan Syi'ah, Ali berkedudukan sebagai khalifah dan Imam melalui
wasiat Nabi Muhammad saw. [4]
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Ahlus Sunnah menjadikan perbedaan
pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam
penafsiran Al-Qur'an, Hadits,
mengenai Sahabat,
dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari
Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul
Bait,
sementara yang lainnya seperti Abu
Hurairah tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan
tentang khalifah,
Syi'ah mengakui otoritas Imam
Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi)
sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda
dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini. Dalam Syi'ah,
ada Ushulud-din (perkara pokok dalam agama)
dan Furu'ud-din (perkara cabang dalam agama). Syi'ah memiliki lima
perkara pokok, yaitu:
b. Al-‘Adl,
bahwa Tuhan adalah Maha Adil.
c. An-Nubuwwah,
bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita
dari Tuhan kepada umat manusia.
d. Al-Imamah,
bahwa Syi’ah meyakini adanya Imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus
risalah kenabian.
e. Al-Ma'ad,
bahwa akan terjadinya Hari Kebangkitan.
a. Jumlah
nabi dan rasul Tuhan adalah 124.000.
b. Nabi
dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad.
c. Nabi
Muhammad adalah suci dari segala aib dan tanpa cacat sedikitpun. Dia adalah
nabi yang paling utama dari seluruh nabi yang pernah diutus Tuhan.
d. Ahlul-Bait
Nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, Sayyidah Fatimah, Imam Hasan, Imam Husain dan 9 Imam
dari keturunan Imam Husain adalah manusia-manusia suci sebagaimana Nabi
Muhammad.
C.
Aliran-aliran
Syi’ah
Golongan
atau aliran Syi'ah dalam sejarahnya terpecah-pecah dalam masalah Imamiyyah.
Sekte terbesar adalah Dua Belas Imam, diikuti oleh Zaidiyyah dan Ismailiyyah.
Ketiga kelompok terbesar itu mengikuti garis yang berbeda Imamiyyah, yakni: Dua
belas Imam. Disebut juga Imamiyyah atau Itsna
‘Asyariyyah (Dua Belas Imam) karena mereka percaya bahwa yang berhak
memimpin kaum Muslim hanyalah para Imam dari Ahlul-Bait, dan mereka meyakini
adanya dua belas Imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syi’ah. Urutan Imamnya
adalah :
13. Disebut
juga Syi'ah Lima Imam karena merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin
'Ali bin Abi Thalib. Mereka dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga
khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan Imamnya adalah:
18. Zaid
bin Ali (658–740),
juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain
dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
19. Disebut
juga Syi'ah Tujuh Imam karena mereka meyakini tujuh Imam, dan mereka percaya
bahwa Imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan Imamnya adalah:
Pada
kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan pengikut terbesar Syi’ah. Meski
berangkat dari ideologi yang sama, yakni mendukung dan mengikuti Ali bin
Abi Thalib, sekaligus mendahulukan dan lebih mengutamakan dia dari pada para
sahabat yang lain. Syi’ah dalam perkembangannya terbagi menjadi beberapa
kelompok. Diantaranya Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah atau Imamiyah, Zaidiyah dan
Syi’ah Ismailiyah. Perpecahan kelompok dalam tubuh Syi’ah tak lepas dari
perbedaan pendapat yang melingkupi para penganutnya. Disini, penulis akan
menjelaskan tentang golongan Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah dan Ismailiyah beserta
sejarah perkembangannya, sekaligus beberapa ajaran-ajarannya.
1.
Syi’ah
Imamiyah
a.
Sejarah Syi’ah Imamiyah
Perlu diketahui bahwa kebanyakan kelompok
Syi’ah Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’) tersiar di segala tempat, dan
kelompok Imamiyah adalah salah satu dari padanya. Kelompok Imamiyah telah pecah
menjadi 39 kelompok, yaitu: Hasaniyah, Nafsiyah, Hakamiyah, Salimiyah,
Syaitaniyah, Zarariyah, Budaiyah, Mufawidhah, Yunusiyah, Baqiriyah, Hadhiriyah,
Nuwusiyah, Ammariyah, Barikyah, Bathiniyah, Qaramitah, Syamithiyah, Maimuniyah,
Khalfiyah, Burqu’iyah, Janabiyah, Sab’iyah, Mahdawiyah, Afthakhiyah, Mufaddhaliyah,
Mamturiyah, Musawiyah, Raj’iyah, Ishakiyah, Ahmadiyah, dan Itsna ‘Asyariyyah.[5]
Al-Itsna ‘Asyariyyah adalah kelompok yang
berpendapat bahwa Musa al-Kazhim memang telah meninggal. Kelompok ini juga
disebut al-Qath’iyyah. Menurut mereka, Imamah berpindah (dari Musa al-Kazhim)
kepada putranya, ‘Ali Ridha, yang terbunuh di Thus. Kemudian ‘Ali Ridha
digantikan oleh Muhammad at-Taqi al-Jawad, yang meninggal dan dikuburkan di
pemakaman di Baghdad. Sesudah itu al-Jawad digantikan oleh ‘Ali ibn Muhammad
an-Naqi yang terbunuh di Qum. An-Naqi selanjutnya digantikan oleh Hasan
al-Askari az-Zaki sebagai Imam dan ketika dia meninggal digantikan oleh
Muhammad al-Qaim al-Muntadhar. Menurut mereka, setiap orang yang pernah melihat
al-Muntadhar dia akan memperoleh kegembiraan: Muhammad al-Qaim al-Muntadhar
menjadi Imam kedua belas, karena itulah kelompok ini dinamakan Imam dua belas.[6]
Pada zaman sekarang, Sekte Itsna
‘Asyariyyah merupakan sekte terbesar Syi’ah. Sekte ini menyakini bahwa Nabi
Muhammad telah menetapkan dua belas Imam sebagai penerus risalahnya. Diantara
nama Imam-Imam menurut golongan al-Imamiyah adalah: 1) Al-Murtadha (‘Ali),
2)Al-Mujtaba (al-Hasan), 3)Asy-Syahid (al-Husain), 4)Al-Sajjad (Zain
al-‘Abidin), 5) Al-Baqir, 6) Ash-Shadiq, 7) Al-Kazhim, 8) Ar-Ridha, 9) At-Taqi,
10) An-Naqi, 11) Az-Zaki dan 12) Al-Hujjah al-Qaim al-Muntadhar.[7]
Sebagai kelompok Syi’ah terbesar, Syi’ah Imamiyah
(Itsna ‘Asyriyyah) memiliki nama-nama atau julukan-julukan populer yang
beragam. Nama-nama yang populer antara lain adalah: al-Qath’iyah, ar-Rafidhah,
al-Ja’fariyah, dan al-Khashshah.
b.
Konsep Imamah Syi’ah Imamiyah
Kelompok Syi’ah percaya bahwa Imamah
adalah satu dari prinsip-prinsip agama. Imamah adalah rukun iman yang pokok; Imam
seseorang tidak sah kecuali ia percaya bahwa Imamah adalah suatu jabatan
ilahiyah seperti kenabian. Maka Imamah bagi mereka adalah seperti akidah tauhid
(La ilaha illallah) dan akidah risalah (Muhammad Rasulullah), begitu
juga aqidatul qiyamah, yaitu seperti iman kepada Tuhan yang satu dan
tunggal, dan iman bahwa Muhammad Rasulullah serta iman kepada hari akhir.[8]
Mereka berpendapat bahwa para Imam
diketahui bukan melalui sifat-sifat mereka, melainkan penunjukan orangnya
secara langsung.‘Ali menjadi Imam melalui penunjukan Nabi Muhammad, kemudian
dia menunjuk penggantinya berdasarkan wasiat dari Nabi Muhammad, dan mereka
dinamakan al-Awshiya’ (para penerima
wasiat). Para penganut aliran Imamiyah telah sepakat bahwa keimaman ‘Ali telah
ditetapkan berdasarkan nash yang pasti dan tegas dari Nabi Muhammad dengan
menunjuk langsung dirinya, bukan dengan penyebutan sifat orangnya.[9]
Menurut Syi’ah dua belas, jabatan Imamah
berakhir pada Imam Mahdi al-Muntadhar. Sesudah itu, tidak ada Imam-Imam lagi
sampai hari kiamat. Imam Mahdi diyakini sedang ghaib. Selama keghaiban Imam
Mahdi, jabatan kepemimpinan umat, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan
kemasyarakatan, dilimpahkan kepada fuqaha’ (ahli
hukum Islam) atau mujtahid (ahli
agama Islam yang telah mencapai tingkat tingkat ijtihad mutlak). Fuqaha’ atau Mujtahid ini harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, ahli dalam
bidang agama Islam. Kedua, adil, takwa, dan konsisten dalam menjalankan
aturan-aturan agama. Ketiga, kafa’ah,
yaitu memiliki kemampuan memimpin dengan baik.Mereka yang menggantikan jabatan Imam
Mahdi itu disebut na’ib al-Imam atau wakil Imam.[10]
c.
Ajaran Syi’ah Imamah
1). Rukun
Iman
Rukun iman adalah teori Syi’ah dan
dalil-dalil yang mereka pakai untuk membuktikan Imamah. Dalam kitab Usul
al-Kafi disebutkan dalam suatu riwayat, sebagai berikut: “Mengetahui Imam-Imam
serta percaya kepada mereka adalah syarat iman”. Dalam riwayat lain, mereka
menghilangkan puasa dan haji. Kulaini meriwayatkan dari Ja’far: “Rukun Islam
tiga: shalat, zakat, dan wilayat, semuanya harus disamakan”. Kemudian mereka
menghilangkan empat sehingga tinggal satu rukun saja yaitu wilayat.Abu
Abdullah berkata, “Wilayat adalah wilayatullah yang tidak mengutus
Nabi kecuali dengan wilayat itu”. Mereka malah menambahkan: “Semua Nabi
Allah telah mengakui wilayat ‘Ali, dan barangsiapa mengingkarinya,
Tuhan akan menyiksanya, dan menfitnahnya dengan penyakit dan musibah”.
Sebagai sekte Syi’ah terbesar, kelompok
Syi’ah Dua Belas sebenarnya bukan golongan Imamiyah atau golongan yang hanya
memusatkan perhatian pada persoalan Imamah semata, tetapi juga merupakan
golongan yang terlibat aktif dalam pemikiran-pemikiran keIslaman lainnya,
seperti teologi, fiqih, dan filsafat.
Dalam teologi, sekte ini dekat dengan
golongan Muktazilah, akan tetapi dalam persoalan pokok-pokok agama mereka
berbeda. Sementara dalam bidang fikih, mereka tidak terikat pada satu madzhab manapun.[11]
d.
Imam Ghaib (Imam keduabelas) serta Kepercayaan Syi’ah tentang Imam Mahdi
Menurut akidah Syi’ah, Imam Mahdi
dilahirkan pada tahun 255-256 H. Menurut keyakinan mereka, ia masih hidup dalam
suatu gua di suatu tempat. Ada yang mengatakan, ia bersembunyi di ruang bawah
tanah yang berada di rumah ayahnya di Samarra dan tidak kembali setelah itu.
Mereka berbeda pendapat tentang usia Muhammad al-Mahdi ketika bersembunyi. Ada
yang mengatakan usianya empat tahun, dan ada yang mengatakan delapan tahun.
Perbedaan pendapat juga terjadi tentang kemampuannya memerintah dalam usia itu.
Ada yang menyakini bahwa pada usia ini dia sudah mengetahui segala sesuatu yang
perlu diketahui oleh seorang Imam, sedangkan yang lain mengatakan bahwa yang
memerintah adalah wakilnya dari kalangan ulama madzhabnya. Pendapat terakhir
inilah yang dianut oleh penganut Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah dewasa ini.
Menurut riwayat Syi’ah, anak Hasan
al-Askari yang berumur lima tahun, membawa benda-benda tersebut dan bersembunyi
di suatu gua di Surra Man Raa, Irak. Maka menurut mereka, anaknya tersebut
menjadi Imam akhir zaman dan dengan begitu selesailah rentetan para Imam. Oleh
karena di dunia harus ada Imam, dan kalau tidak ada Imam dunia akan hancur,
Maka Imam akhir zaman harus tetap hidup sampai hari kiamat. Ia akan tetap ghaib
dan bersembunyi, dan jika sudah datang waktunya untuk muncul ia akan keluar
dari gua untuk memerintah seluruh dunia.
2.
Syi’ah
Zaidiyah
a.
Sejarah Syi’ah Zaidiyah
Syi’ah Zaidiyah muncul sepeninggal Ali
Zain al Abidin, Imam ke empat dalam Syi’ah Imamiyah. Nama kelompok ini diambil
dari nama pemimpinnya, yaitu Zaid bin Ali Zain al Abidin bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib. Syi’ah Zaidiyah muncul pada tahun 94 H ketika Ali Zain al Abidin
wafat. Saat itu kelompok Syi’ah terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok
pengikut Zaid bin Ali dan kelompok pengikut Muhammad al Baqir bin Ali, saudara
Zaid bin Ali sendiri. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang
mengakui Muhamad Al-Baqir, putra Zainal yang lain, sebagai Imam kelima. Dari
nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah diambil. Syi’ah Zaidiyah merupakan Syi’ah
yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang
paling dekat dengan Sunni.[12]
Pada abad kedua, perselisihan Muhammad
al-Baqir dengan saudaranya Zaid bin Ali yaitu mempersoalkan permasalahan
pengakuan terhadap Imamah dan kepemimpinan Abu Bakar serta Umar bin Khattab.[13] Muhammad al-Baqir mengklaim
diri sebagai Imam berdasarkan nas dan wasiat dari
Imam sebelumnya. Menurutnya seorang Imam tidak cukup hanya sebuah klaim semata,
namun harus berani memproklamirkan diri secara terbuka dan berjuang merebut
tahta kekhalifahan dari Bani Umayyah dengan kekuatan pasukan setelah peristiwa
tragis, Karbala. Kemudian Zaid bin Ali mengangkat dirinya sebagai Imam di
Kuffah. Setelah mengadakan persiapan beberapa waktu lamanya lalu ia bergerak
melakukan perlawanan secara terbuka.[14]
Pada fase berikutnya, akibat kelemahan
aliran Zaidiyah dan serangan dari aliran-aliran Syi’ah lainnya, dasar-dasar
pemikiran aliran ini menjadi goyah atau kalah dan mati. Karena itu orang-orang
yang membawa nama aliran Zaidiyah tidak membenarkan pengangkatan Imam yang
mafdhul (bukan orang terbaik), sehingga mereka dianggap termasuk aliran yang
ekstrim. Mereka adalah yang menolak dan menentang kekhalifahan atau keimanan
Abu Bakar As-Siddiq dan Umar Bin Khattab, dan dengan begitu hilanglah ciri khas
dari aliran Zaidiyah generasi pertama.
b.
Konsep Imamah Syi’ah Zaidiyah
Menurut Syi’ah Zaidiyah, seorang Imam harus memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1). Ia
merupakan keturunan ahlul bait, baik
melalui garis Hasan maupun Husain. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka
atas sistem pewarisan dan nas
kepemimpinan. Kaum Zaidiyah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang Imam
yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad.[15]
2). Memiliki
kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang.
Atas dasar ini, mereka menolak Mahdiisme yang merupakan salah satu
ciri sekte Syi’ah lainnya, baik yang ghaib maupun yang masih di bawah umur.
Bagi mereka pemimpin yang menegakkan kebenaran dan keadilan adalah Mahdi.[16]
3). Memiliki
kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide dan karya dalam
bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman iman, bahkan mengembangkan
doktrin Imamat al mafdul, artinya seseorang dapat dipilih menjadi Imam
meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama ada yang lebih
baik.[17]
Walaupun Syi’ah Zaidiyah mengakui bahwa
Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Nabi yang paling utama (afdal) yang
menyatakan paling berhak menjadi Imam, namun mereka mengakui Imamah Abu Bakar As-Siddiq
dan Umar bin Khatab. Inilah yang mereka sebut dengan Imam al mafdul.[18]
c.
Ajaran Syi’ah Zaidiyah
1). Bidang
Fiqih
Secara umum hampir tidak ada perbedaan
antara Syi’ah Zaidiyah dengan Ahlussnnah wal Jama'ah, hanya ada perbedaan
sedikit dalam masalah ibadah furu’. Syi’ah
Zaidiyah cenderung menunjuk simbol dan amalan Syi’ah pada umumnya. Misalnya
dalam hal adzan mereka memberi selingan ungkapan Hayya ‘ala khair al-amal, takbir sebanyak lima kali dalam shalat
jenazah, menolak sahnya mengusap kaus kaki (maskh
al-khuffaini), menolak Imam shalat yang tidak shaleh, tidak sedakap dalam
shalat, shalat hari raya tidak mesti berjamaah, shalat tarawih berjamaah
dikategorikan bid'ah, rukun wudhu ada sepuluhdan menolak binatang yang
disembelih oleh orang non-muslim. Mereka juga menolak adanya
nikah mut’ah yang merupakan ciri khas Syi’ah.
2). Bidang
Teologi
Syi’ah Zaidiyah dalam bidang teologi
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan aliran Muktazilah. Hal ini tidak
mengherankan karena Zaid bin Ali sendiri adalah murid dari Wasil bin Atha’,
seorang pendiri aliran Muktazilah.[19]
Teologi Muktazilah menyebutkan di antara
ciri orang yang beriman ialah harusamar ma’ruf nahi munkar (mengajak
kepada kebenaran dan menjauhi kepada kemunkaran). Maka dari itu seorang Imam
haruslah memproklamirkan diri kepada masyarakat dengan cara memberantas
kebathilan dan mengajak/menunjukkan kepada sesuatu kebenaran. Penganut Syi’ah
Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka
jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya.
3.
Syi’ah
Ismailiyah
a. Sejarah Syi’ah Ismailiyah
Ismailiyah merupakan mazhab dengan
jumlah penganut kedua terbesar dalam Syi'ah,
setelah mazhab Itsna ‘Asyariyyah. Sebutan Ismailiyah diperoleh pengikut mazhab
ini karena penerimaan mereka ke atas keimaman Isma'il bin Ja'far sebagai
pewaris dari Ja'far
ash-Shadiq. Ismailiyah menerima keenam Imam Syi'ah terdahulu.[20]
Terbentuknya kelompok Syi’ah Ismailiyah
lebih dikarenakan perbedaan penetapan penerus Imam Ja’far Shadiq. Pada tahun
148 H/765 M,[21]
di kota Kufah sebagian orang Syi’ah memisahkan dirinya. Pemisahan ini terkait
erat dengan perjuangan melawan dinasti Abbasiyah. Ide dibalik perjuangan
tersebut adalah keyakinan bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan hanya
dapat dibenarkan bila dilakukan di belakang kepemimpinan Ismail bin Ja’far
(anak laki tertua Imam Ja’far Shadiq).
Pada tahun 297 H pemerintahan pertama yang
berhasil didirikan bernama Fathimiyyun. Keberhasilan ini di bawah kepemimpinan Imam
Ismailiyah, Ubaidillah Al-Mahdi. Pemerintahan Ismailiyah di bangun di Afrika
Utara. Pada tahun itu dapat disebut sebagai masa keemasan Syi’ah Ismailiyah. Dan
Pada tahun 487 H/1094 M terjadi krisis terbesar dialami oleh Syi’ah
Ismailiyah.Krisis ini terkait erat dengan kepemimpinan setelah Imam Ismailiyah.
Krisis ini menyebabkan terbaginya Syi’ah Ismailiyah menjadi dua bagian;
Musta’lawiyah dan Nizariyah. Perselisihan yang terjadi menyebabkan melemahnya Syi’ah
Ismailiyah di hadapan Ahli Sunah.
Musta’lawiyah
diakui secara resmi oleh pemerintah pusat di Afrika Utara. Namun Musta’lawiyah
perlahan-lahan juga terbagi-bagi. Pada akhirnya, tahun 567 H ketika Dinasti
Fathimiyah runtuh, Musta’lawiyah dengan sendirinya tidak lagi memiliki
kekuasaan. Di masa keruntuhan Dinasti Fathimiyah kelompok Ismailiyah Thibi,
yang sebagian besar Musta’lawiyah, menetap di Yaman.Perlahan-lahan ajaran
mereka menyebar ke India. Di India dikenal sebagai Buhrah.
Sementara itu, Nizariyah salah satu
kelompok dari Ismailiyah memiliki pengikut terbesar.Pada abad pertengahan
mereka banyak bertempat tinggal di Iran. Pertama mereka menempati daerah
Khuzestan kemudian berpindah-pindah ke Utara, pusat Iran, Khurasan dan sampai
di daerah Ma bina An-Nahrain, akhirnya mereka tersebar di daerah Rei dan
Naishabur. Penyeru mutlak mereka seperti, Abu Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin
Ahmad Nasafi memimpin Da’i Muthlaq di daerah Kurasan. Berkat usaha penyeru
mutlak, yang rata-rata adalah orang Iran, pemikiran Neo Platonisme
dikombinasikan dengan teologi Ismailiyah. Usaha mereka menghasilkan aliran
filsafat Ismailiyah Neo Platonisme. Pemikir-pemikir yang memiliki saham
terbentuknya pemikiran ini seperti; Abu Ya’qub Sijstani, Hamid Ad-Din Kermani,
Nasir Khasru dan lain-lain. Pergolakan pemikiran yang terjadi ini pada
akhirnya, dengan kepemimpinan Hassan Sabah, memunculkan gerakan Ismailiyah
Nizariyah.
Negara Nizariyah hanya dapat bertahan
selama 166 tahun. Masa 166 tahun ini dikenal dengan masa Alamut. Setelah Hassan
Sabah, ada tujuh orang yang berkuasa di Alamut. Di masa-masa mereka ini
kekuasaan mereka cukup kuat. Kekuatan mereka pada akhirnya runtuh akibat
serangan bangsa Mongol. Runtuhnya kerajaan Nizariyah terjadi pada tahun 654
H/1256 M. Setelah runtuhnya kerajaan Nizariyah, orang-orang Ismailiyah kemudian
melakukan eksodus ke beberapa negara antara lain India, Afghanistan dan
lain-lain. Penyebaran mereka di beberapa negara dilakukan dengan bentuk
kehidupan seorang sufi. Imam Nizariyah sebagai mursyid mereka. Mereka sempat
berkumpul di daerah Anjedan kota Qom dan akhirnya menuju India. Di India mereka
dikenal dengan sebutan Khojah. Khojah adalah kelompok Syi’ah Ismailiyah yang
terbesar. Saat ini, pengikut Syi’ah Ismailiyah hidup bertebaran di Kerman,
Tajikistan, Khurasan, Afghanistan dan lain-lain.
b. Konsep Imamah
Syi’ah Ismailiyah
Para pengikut Syi’ah Ismailiyah berpendapat
bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar. Tujuh pilar tersebut adalah iman,
taharah, sholat, zakat, puasa, haji dan jihad. Berkaitan dengan pilar atau
rukun yang pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’aman memerincinya sebagai berikut:
iman kepada Allah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, iman
kepada surga, iman kepada neraka, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada
hari pengadilan, iman kepada para nabi dan rasul, iman kepada Imam, percaya,
mengetahui dan membenarkan Imam zaman.
Syarat-syarat seorang Imam dalam pandangan Syi’ah
Ismailiyah sebagai berikut:
1). Imam
harus berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya
dengan Fatimah yang kemudian dikenal
dengan Ahlul Bait.
2). Imam
harus berdasarkan penunjukan atau nas.
Berdasarkan hadith
yang diriwayatkan bukhori
dan muslim bahwa antara rasul dan Ali ialah seperti Musa dan Harun.
3). Keimaman
jatuh pada anak tertua. Syi’ah Ismailiyah menggariskan
bahwa seorang Imam
memperoleh keimanan dengan jalan wirathah,
jadi, ayahnya yang menjadi Imam menunjuk anaknya yang paling tua.
4). Imam
harus maksum (terjaga dari kesalahan dan dosa).
Sebagaimana sekte Syi’ah
lainnya, syiaah ismailiyah menggariskan bahwa seorang Imam harus terjaga dari
salah dan dosa. Bahkan lebih dari itu, mereka berpendapat bahwa sungguhpun Imam
berbuat salah, maka perbuatannya itu tidak salah.
5). Imam
harus dijabat oleh seorang yang paling baik. Berbeda dengan
zaidiyah, Syi’ah
ismailiyah dan Syi’ah Imamiyah tidak membolehkan adanya Imam mafdhul.
c. Ajaran
Syi’ah Ismailiyah
Pada dasarnya sama dengan kelompok Syi’ah
lainnya. Perbedaaannya terletak pada konsep kema’suman Imam, adanya aspek batin
pada setiap yang lahir dan penolakannya terhadap Al-Mahdi Al-Muntadzar. Ada
satu sekte dalam Ismailiyah yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam
diri Imam. Oleh karena itu, Imam harus disembah. Menurut Ismailiyah, alquran
memiliki makna batin selain makna lahir. Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau
tersurat dari syariat itu diperuntukkan bagi orang awam yang kecerdasannya
terbatas dan tidak mempunyai kesempurnaan rohani. Sedangkan yang memiliki makna
batin dan dapat menakwili adalah para Imam. Dengan prinsip takwil, Ismailiyah
menakwilkan menurut hawa nafsu mereka sendiri, misalnya ayat al-qur’an tentang
puasa, mereka takwili dengan menahan diri dari menyiarkan rahasia-rahasia Imam.
Dan ayat al-qur’an tentang haji ditakwilkan dengan mengunjungi Imam. Bahkan
diantara mereka ada yang menggugurkan ibadah. Mereka itu adalah yang telah
mengenal Imam dan telah mengetahui takwil melalui Imam. Mengenai sifat Allah,
sebagaimana halnya mu’tazilah, Ismailiyah meniadakan sifat dari dzat Allah.
Menurut mereka penetapan sifat merupakan penyerupaan dengan makhluk.
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
SYI’AH
DAN POLITIK MODERN
Pertumbuhan politik Syi’ah yang
berlangsung di Iran dapat berhubungan dengan demokrasi. Iran adalah republik
yang pertama kali berhasil memadukan lembaga-lembaga politik modern dengan
konsep negara agama yang dikenal dengan sebutan Wilayah Al-Faqih
(kepemimpinan seorang faqih). Revolusi Islam di Iran tahun 1979 berhasil
menggulingkan penguasa diktator Syah Reza Pahlevi, dan kemudian membangun
sistem negara Islam dalam bentuk republik, menggantikan sistem kerajaan yang
dianut sebelumnya. Ada sebagian orang yang memandang fenomena Iran ini dengan
tatapan kagum dan optimis. Namun ada pula yang memandang dengan tatapan sinis
dan pesimis. Kelompok kedua mungkin dapat diwakili oleh Bernard Lewis, yang
mengatakan bahwa konsep wilayah al-faqih yang menyatukan agama dan negara,
tidak berbeda dengan lembaga kepausan, yang telah menjadi penyakit Kristen di
masa lalu. Sama halnya, Ali Gheissari dan Vali Nasr, juga menyebut bahwa
meskipun lahir dari revolusi sosial, konstruksi teokratik Republik Islam Iran
telah menciptakan rezim otoriter pragmatis. Dan seyogyanya, sebuah negara
seharusnya mengadopsi sistem politik demokrasi terkendali, yang sejalan dengan
ideologi Islam revolusioner. Sementara itu, solusi permasalahan negara terletak
pada demokrasi konstitusional, yang pernah dianut pasca Revolusi Konstitusi
1906, ketika ulama hanya berfungsi sebagai pengawas legislasi. Sementara itu
Ayatullah Khomeini menganut konsep demokrasi agama, yang kemudian dikenal
sebagai konsep Wilayah Al-Faqih (kepemimpinan faqih), yang akhirnya menjadi
basis utama sistem demokrasi di Iran. metode politik Syi’ah menganut konsep Imamah.
Konsep ini menegaskan bahwa kepemimpinan umat adalah urusan Tuhan. Syi’ah
berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan pengganti kepemimpinannya
setelah beliau wafat. Mereka berdalil pada beberapa hadits, di antaranya adalah
hadits Al-Ghadir, yang berisi pernyataan lugas Nabi Muhammad SAW bahwa Ali bin
Abi Thalib adalah penerus kepemimpinannya. Konsep wilayah Al-Faqih pada
dasarnya adalah kelanjutan dari konsep Imamah Syi’ah. Selain itu, agama memang tidak
terpisah dari politik dengan segenap problematikanya. Sebab, pemisahan agama
dari politik serta tuntutan agar ulama tidak turut campur dalam urusan
sosial-politik merupakan slogan yang dipropagandakan oleh para kaum sekuler,
yang dengannya mereka dapat mendominasi dan menjarah semua sumber daya
masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa segala bentuk ibadah yang dipraktikkan
dalam Islam selalu berkaitan dengan politik dan penyiapan masyarakat. Menurut
penulis, strategi Islam dalam politik yang tujuannya adalah Allah SWT, atau
kesempurnaan manusia. Dengan strategi ini, manusia akan memperoleh segala
kebaikan sejati, baik secara maknawi maupun materi. Berdasarkan hal tersebut,
pemerintahan Islam hanya dapat dipimpin oleh seorang faqih, yaitu orang yang
memahami Islam secara mendalam, termasuk di dalamnya hukum-hukum syariat.
Secara praktis, Republik Islam Iran sebenarnya telah menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi, khususnya yang terkait dengan kebebasan politik (adanya
kontestasi/kompetisi dan partisipasi dalam pemilu) dan kebebasan sipil (yang
meliputi kebebasan intelektual, perlindungan hak minoritas, pemberdayaan
wanita, dan kebijakan luar negeri). Terlepas dari kritik-kritik yang ada, Republik
Islam Iran tampaknya berhasil menawarkan sebuah konsep pemerintahan
alternatif dalam percaturan politik dunia. Keunikannya terletak pada
metodenya yang mengkombinasikan bukan hanya agama dan negara, melainkan juga
teokrasi dan demokrasi. Perbedaan mendasar antara demokrasi agama dengan
demokrasi barat adalah terletak pada prinsip legislasi. Demokrasi barat
berkeyakinan bahwa undang-undang harus dibuat oleh manusia. Sementara itu,
dalam demokrasi agama undang-undang harus berasal dari Tuhan, melalui utusan-Nya,
sehingga setiap undang-undang yang dihasilkan harus berada dalam koridor hukum
Ilahi. Perbedaan lainnya terletak pada tujuan. Demokrasi barat yang berkarakter
materialistik memiliki tujuan-tujuan yang terbatas pada dimensi lahiriah
manusia, seperti kesejahteraan dan kemakmuran. Sementara itu, demokrasi agama
lebih menekankan dimensi mental dan spiritual manusia, sehingga politik dalam
demokrasi agama bermakna upaya untuk mengilhami manusia menuju Allah Swt.
B.
PENGARUH
DAN PEMIKIRANNYA DI INDONESIA
Aliran
Syi’ah menggunakan strategi yang terfokus pada penguasaan tiga asas utama yang
ada pada setiap negara termasuk Indonesia, yaitu militer, ilmu pengetahuan
(ulama dan intelektual), serta ekonomi (pemilik modal). Banyal hal yang
mengundang pertanyaan tentang Syi’ah. Salah satu contoh mendasar adalah
bagaimana “Seluruh agama (Islam)
disederhanakan menjadi semata-mata isu Ali-Fatimah-Hasan-Husain”.
Beberapa
ahli dan pengamat sejarah meyakini Syi’ah adalah ajaran Islam yang pertama kali
masuk ke Indonesia. Hal itu dibuktikan adanya banyak tradisi keagamaan di Indonesia
yang mempunyai dasar pengaruh Syi’ah. Namun beberapa tokoh agama Islam menolak
klaim tersebut. Mereka beranggapan bahwa kesimpulan para pengamat sejarah itu
mendasarkan sumber lisan dan tulisan yang belum melalui verifikasi dan diuji
kesahihannya.
Terlepas
dari perdebatan tersebut, rentetan pengaruh Syi’ah dalam tradisi-tradisi
keagamaan di Indonesia tak bisa dibantahkan. Tradisi kebudayaan dan keagamaan
yang dijalankan di kalangan muslim Indonesia banyak diantaranya merupakan
pengaruh ajaran Syi’ah. Sebagai contoh, tradisi arak-arakan Hayok Tabui di Pariaman,
Sumatera Barat yang digelar setiap Muharram kental dengan pengaruh Syi’ahnya.
Tradisi itu sebagai peringatan tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi Muhammad
saw, Sayyidina Husain. Pariaman dulu merupakan kota dagang dan kota pelabuhan
di pesisir barat Sumatera. Kota Pariaman lebih dulu ada ketimbang kota Padang.
Jadi, zaman dulu ulama Syi’ah datang dari Persia, Gujarat (India) menumpang kapal-kapal
dagang untuk datang dan berdakwah ke Pariaman.
Selanjutnya
dalam penyebaran Syi’ah, yang sangat signifikan adalah setelah pulangnya para
mahasiswa dari kota Qom, Iran. Sebab sejak revolusi terjadi, Iran banyak
memberi beasiswa ke pemuda-pemudi Indonesia, jumlahnya ribuan, dan sekarang
mereka sudah kembali dan menjadi agen penyebaran Syi’ah yang cukup gencar di Indonesia.
Data dari Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, tahun ini saja ada 200
orang yang diberangkatkan ke Iran. Jumlah mahasiswa Indonesia di Iran
diperkirakan 7000 orang. Jalaludin Rahmat sebagai tokoh Syi’ah Indonesia,
mengklaim ada 3 juta Syi’ah. Tapi menurut data intelejen (BIN), orang Syi’ah di
Indonesia hanya ada 300 ribu saja. Awalnya, Jalaludin Rahmat aktif di Muhammadiyah,
Bandung. Tapi sejak kepulangannya dari studi di luar negeri, oleh Muhammadiyah
tidak diterima lagi, karena pemikirannya dianggap menjadi Liberal. Jalaludin
menjadi Syi’ah sejak pulang dari seminar Islam di Srilanka, ketika itu ada 3
delegasi dari Indonesia, yaitu Endang Syaifuddin, Jalaludin Rahmat dan Haedar
Bagir.
Tokoh
Islam Mohammad Natsir pernah mengingatkan, “Jangan mau menerima hadiah
buku-buku dari orang Iran”. Nampaknya larangan itu malah menarik. Dari 3 orang
delegasi, 2 diantaranya menjadi pengikut Syi’ah dan hanya 1 orang yang tetap
sunni. Yaitu Endang Syaifuddin Anshory. Infonya, disamping dihadiahi buku, dua
orang itu juga “digarap” oleh propagandis Syi’ah Iran di acara seminar itu.
Mohammad natsir juga pernah mengingatkan “Hati-hati, Syi’ah akan menjadi bom
waktu di Indonesia”.
Alat
propaganda Syi’ah yaitu dengan memakai sebutan Ahlul Bait, bukan Syi’ah. Di Indonesia
ada ABI (Ahlul Bait Indonesia), organisasi keturunan Arab yang mengaku
keturunan Imam Husein. Dan ada juga IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait), yang ini
pengikutnya adalah keturunan non Arab. Keduanya tidak mesra hubungannya, tapi
yang IJABI lebih militan dan sering berhubungan dengan Iran. Selain berkilah
dengan nama Ahlul Bait, Syi’ah juga berlaku seolah toleran, padahal di Iran
sendiri masjid Sunni tidak diberi hak hidup.
Di
Indonesia sudah mulai tumbuh konflik, mengingat Syi’ah Imamiyah sangat agresif.
Ingat kasus Sampang Madura dan penyerangan Masjid Ustadz Arifin Ilham. Majelis
ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dan juga beberapa MUI daerah lain, memfatwakan
bahwa Syi’ah sesat. Syi’ah juga berlindung dengan HAM, sekarang tokoh Syi’ah Jalaludin
Rahmat sudah masuk DPR-RI dari fraksi PDIP. Syi’ah sudah masuk ke Birokrasi dan
TNI. Ada 200-an yayasan Syi’ah yang beroperasi di Indonesia, dan ada ribuan
alumni Qom Iran yang gencar bergerilya di tanah air. Syi’ah akan menjadi Bom
Waktu ditengah-tengah kita.
Oleh
karena itu, di Indonesia sendiri pada masa Suryadharma
Ali
selaku menteri agama, telah menyatakan Syi’ah bukan Islam di gedung DPR pada 25
Januari 2012 melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama. Selain
itu, Pengurus Besar Nadhlatul
Ulama (PBNU) pernah mengeluarkan surat resmi
No.724/A.II.03/101997, tertanggal 14 Oktober 1997, ditandatangani Rais Am, M
Ilyas Ruchiyat dan Katib KH. Drs. Dawam Anwar, yang mengingatkan kepada bangsa Indonesia
agar tidak tertipu oleh propaganda Syi’ah dan perlunya umat Islam Indonesia
memahami perbedaan prinsip ajaran Syi’ah dengan Islam. Kemenag juga mengeluarkan
surat edaran no. D/BA.01/4865/1983 tanggal 5 Desember 1983 tentang hal ihwal
mengenai golongan Syi’ah, menyatakan Syi’ah tidak sesuai dan bahkan bertentangan
dengan ajaran Islam.” Majelis Ulama Indonesia sejak lama telah mengeluarkan
fatwa penyimpangan Syi'ah dan terus mengingatkan umat muslim seperti pada
Rakernas MUI 7 Maret 1984. Selain itu, MUI Pusat telah
menerbitkan buku panduan mengenai paham Syi’ah pada bulan September 2013 lalu
berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”.[22]
BAB
3
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Permasalahan
dan ancaman dari eksternal umat Islam telah banyak terjadi, termasuk yang
paling masif adalah kristenisasi dan perang pemikiran. Adapun permasalahan dari
internal umat Islam yaitu perpecahan sesama ummat muslim, perebutan kekuasaan,
saling mengkafirkan hingga kesesatan memahami ajaran Islam yang terus
menghunjam ke tengah-tengah kita.
Peliknya
kesadaran umat Islam terhadap kesesatan Syiah, berujung pada kemudahan aliran
tersebut untuk berkembangbiak dan tumbuh subur di Indonesia. Apalagi, aliran
ini telah mengakar di dalam perlindungan Hukum dan konstitusi Indonesia. Syi’ah
telah berjuang mati-matian untuk berperang melawan sunni, ironisnya umat Islam
berjalan santai tanpa merasakan ancaman sama sekali.
B.
SARAN
Sebagai
muslim yang taat, serta penganut sunni di Indonesia, kita mempunyai kewajiban
untuk melindungi kaum muslimin dari ancaman Syi’ah, terlebih penolakan terhadap
pemikiran, propaganda dan ajakan untuk bergabung dengan aliran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Bin Muhammad “Menyingkap Kesesatan Aqidah Syi’ah” (Jaringan
Pembela Terhadap Sunnah)
Abdul Rozak, “Ilmu
Kalam”. (PT
Bina Ilmu : Surabaya, 2001)
Ahmad Qusyairi Ismail, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah.
(Yogyakarta: LkiS, 1993)
Ahmad Syalabi dalam Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam” (Jakarta :
Rajawali Press, 2002)
Christopher M. Blanchard, “Islam:
Sunni and Syi'ah”, (Conggressional Research
Service,
2010)
Dhiauddin, “Teori Politik Islam”, (Jakarta :Gema Insani
Press, 2001)
Fuad Mohd. Fahruddin “Syi’ah ; Suatu Pengamatan Kritikal” (Pedoman Ilmu
Jakarta :
Jakarta 1992)
H.R. Gibb dan H.J. Kramres, Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden
: E.J. Brill
S, 2001)
Hasan ibrahim, “Tarikh
al-Islam”, (al-Nahdloh al-Misriyah, 1976)
Ibnu Hazm, “Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal”
Imam Muhammad Abu Zahra,1993, Aliran
Politik dan Akidah, (Gema Insani
Press :
Jakarta, 1993)
Jalaluddin As-Suyuti, Durul Mansur
Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syi’ah,
(Jakarta: Bulan Bintang,
1989)
Muhammad Bin Abdul Karim
al-Syahrastani, Al Milal Wa An Nihal, Alih
Bahasa:
Asywadie Syukur, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 2006)
Muhammad Abu Zahroh, Tarikhu al-Madzahib
al-Islamiyah, (Kairo:
Daral-
Fikral-Arabi)
Montgomery Watt, “Islamic Philosophi and Theologi” (Edinburg : University
Press,
1992)
Nourouzzaman Shiddiqi, “Syi’ah
dan Khawarij dalam Perpektif Sejarah”,
(Yogyakarta:
PLP2M, 1985)
O. Hashem “Syi’ah ditolak syi’ah dicari”, (Islamic Center Jakarta Al-Huda :
Jakarta,
2000)
Rosihon Anwar, “Ilmu Kalam”, (Bandung: Pustaka Setia, 2006)
Sumber Internet :
http://www.tribunnews.com/regional/2014/02/03/mui-minta-umat-Islam-mewaspadai-aliran-Syi’ah (diakses pada
2 oktober 2016)
[1] Abdullah Bin Muhammad “Menyingkap Kesesatan Aqidah Syi’ah”
(Jaringan Pembela Terhadap Sunnah), hlm.11-15
[2] Christopher
M. Blanchard, “Islam: Sunni and Syi'ah”, (Conggressional Research Service, 2010),
hlm. 40
[3] Jalaluddin
As-Suyuti, Durul Mansur hlm.60
[4] Ibnu
Hazm, “Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan
Nihal”, hlm.113
[5] Muhammad
Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syi’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989),
hlm.38
[6] Imam
Muhammad Abu Zahra,1993, Aliran Politik dan Akidah,
(Gema Insani Press : Jakarta, 1993) hlm. 45
[7] Ahmad
Qusyairi Ismail, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah. (Yogyakarta: LkiS, 1993)
hlm.67
[8] Rosihon
Anwar, “Ilmu Kalam”, (Bandung: Pustaka
Setia, 2006), hlm.33
[9] Dhiauddin, “Teori Politik Islam”, (Jakarta :Gema Insani
Press, 2001), hlm.112
[10] H.R.
Gibb dan H.J. Kramres, Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden
: E.J. Brill S, 2001), hlm.51
[11] Nourouzzaman
Shiddiqi, “Syi’ah dan Khawarij dalam Perpektif Sejarah”, (Yogyakarta:
PLP2M, 1985), hlm.79
[12] Muhammad
Bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, Alih Bahasa: Asywadie Syukur, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 2006) hlm.175
[13] Montgomery
Watt, Islamic Philosophi and Theologi,
(Edinburg : University Press, 1992), hlm. 23
[14] Muhammad
Abu Zahroh, Tarikhu al-Madzahib al-Islamiyah, (Kairo:
Daral-Fikral-Arabi), hlm.69
[15] H.R.
Gibb dan H.J. Kramres, “Shorter Encyclopedia of Islam”, (Leiden
: E.J. Brill S, 2001), hlm.55
[16] Fuad Mohd.
Fahruddin “Syi’ah ; Suatu Pengamatan
Kritikal” (Pedoman Ilmu Jakarta : Jakarta 1992), hlm.26
[17] Montgomery
Watt, “Islamic Philosophi and Theologi” (Edinburg : University
Press, 1992), hlm.34
[18] O.
Hashem “Syi’ah ditolak syi’ah dicari”,
(Islamic Center Jakarta Al-Huda : Jakarta, 2000) hlm. 98
[21] Ahmad Syalabi dalam Badri Yatim, “Sejarah Peradaban
Islam” (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 99
[22] http://www.tribunnews.com/regional/2014/02/03/mui-minta-umat-Islam-mewaspadai-aliran-Syi’ah
(diakses pada 2 oktober 2016)
0 komentar:
Post a Comment