BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Syari’ah
menurut asal katanya berarti “jalan menuju air”. Secara sederhana dapat ditarik
makna bahwa seseorang harus melalui jalan itu untuk dapat hidup, sebab air
merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menopang kehidupan. Jadi
secara analog dapat dikatakan bahwa kehidupan ini membutuhkan syari’ah sebagai
unsur yang sangat vital untuk berjalan dengan baik. Secara terminologis,
istilah syari’ah Islam memiliki makna yaitu aturan atau undang-undang yang diturunkan
Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan
sesama manusia, dan manusia dengan alam semesta.
Kenyataan
menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, dimana masing-masing
mereka mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi
kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya.
Agar antara masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan satu aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntun mereka dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Agar antara masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan satu aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntun mereka dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Untuk
manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah SWT dengan
tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia secara pasti. Untuk
menyampaikan aturan-aturan itu, Allah memilih mengangkat rasul sebagai pesuruh
dan utusan-Nya kepada manusia. Setelah rasul diutus dan aturan-aturan itu telah
sampai kepada manusia, maka sejak itu pula manusia ditaklifi untuk mematuhi
segala aturan tersebut dalam segala tindakan yang mereka lakukan. Mereka
dituntut untuk melakukan segala yang diperintah dan meninggalkan segala yang
dilarang.
Sebagai sumber
hukum Islam kedua, hadits untuk sampai tampil dalam bentuknya yang sempurna
terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi
otensitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase
perkembangannya, para generasi periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki
kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu
hadith benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan
rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi
seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istimbath hukumnya
maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek
pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan
menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan/ta’arud
(semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang
lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara
menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui
metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada
hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan hadith) tersebut selaras dan tidak
ada pertentangan diantaranya. Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah
SWT.
Oleh karena
itu, penulis mencoba menjelaskan lebih jelas melalui makalah “Tarjih
Dalil-Dalil Hukum Syari’at” guna membantu
pembaca memahami pengertian, metode dan macam-macam tarjih hukum syara’. Semoga
makalah yang kami tulis dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa beragama
islam di seluruh Unevisatas di Indonesia sebagai generasi penerus. Karena
memahami tarjih syara’ sangatlah penting, demi kemaslahatn umat islam.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan tarjih itu sendiri?
2.
Bagaimana
metode tarjih?
3.
Apa
syarat-syarat untuk mentarjihkan suatu hukum syara’?
4.
Seperti apa
tarjih dalil aqli itu?
1.3. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian tarjih
2.
Memahami metode dan macam-macam tarjih
3.
Mamahami syarat-syarat tarjih
4.
Mengetahui tarjih dalil aqli
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi
Tarjih
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang
berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Tarjih, secara difinisi adalah : menguatkan salah satu dari
dua dalil dzhanny supaya bisa beramal dengan yang sudah dikuatkan.[1]
Secara bahasa,
tarjih ترجح
berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara
lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa
diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. dalil yang dikuatkan
disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[2]
Secara terminologi, ada dua definisi
yang dikemukakan oleh ahli ushul, yaitu yang pertama adalah menurut Ulama’
Hanafiyah, yaitu[3]:
إظهار زيادة لأحد المتمائلين على
الأخر بما لايستقل
“Membuktikan adanya tambahan bobot
pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan
itu ridak berdiri sendiri”
Menurut mereka, dalil yang
bertentangan itu harus dalam kualitas yang sama, seperti pertentangan ayat
dengan ayat. Kemudian, dalil tambahan pendukung salah satu dalil yang
bertentangan itu tidak berdiri sendiri. Artinya, disini dalil pendukung itu
tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan, karena apabila ada dalil
lain yang berdiri sendiri, berarti dalil itu dapat dipakai untuk menetapkan
hukum, bukan dalil yang bertentangan tersebut.
Kedua, Jumhur Ulama mendefinisikan:
تقوية إحدى الأمارتين (أى الدليلين
الظنتين) على الأخرى ليعمل بها
“Menguatkan salah satu indikator
dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
Jumhur
ulama’ membatasi tarjih dalam dalil yang bersifat zhanni saja, karena
masalah ini tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qath’i (pasti)
dan tidak juga antara zhanni dengan yang qath’i. Jumhur Ulama
ushul sepakat bahwasanya apabila sudah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil
yang rajih atau yang dikuatkan wajib diamalkan. Alasannya karana, kesepakatan
dan amalan yang telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari
dalil lainnya dalam berbagai kasus.[4]
Contohnya, dalam kasus perbuatan
yang mawajibkan mandi. Para sahabat menguatkan hadits dari Aisyah tentang Iltiqa’
al-khitanain (bertemunya alat vital laki-laki dengan perempuan H.R Muslim
dan Tirmidzi)[5] dari hadits riwayat Abu Hurairah RA yang
mengatakan إنما المأ من المأ (air itu berasal dari
air). Maksudnya, apabila keluar air mani, baru wajib mandi. Oleh karena itu,
para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa apabila seorang mujtahid telah
melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan,
maka dalil yang rajih itu wajib diamalkan.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh
mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling
bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian
singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup“ adalah
membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang
mempunyai alasan yang lebih kuat “
Tarjih dapat
diartikan menjadikan sesuatu lebih luat atau mempunyai kelebihan dari pada yang
lain. Sebagian ulama’ membuat batasan tarjih ialah menyatakan keistimewaan
salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang menjadikan lebih
utama dilihat dari yang lain. Tarjih ini tidak akan dapat diapakai selain
kepada dallil-dalil dzhanny al-tsubut (status ketetapannya dalilnya dzhanny),
seperti hadits ahad atau kepada dalil-dalil dzhanny al-dalalah (dalil yang
petunjuk isinya dzhanny), seperti Al-Qur’an dan Hadits mutawatir yang
berdalalah dzhanny atau hadir ahad yang dalalahnya dzhanny itu. Dengan demikian
tarjih itu hanya terjadi pada nash-nash Al-Qur’an dan Hadits mutawatir yang
dalalahnya dzhanny atau hadits-hadits ahad yang dalalahnya dzhanniyah atau
qath’iyyah.
2.2. Syarat-Syarat Tarjih
1. Adanya persamaan antara dua dalil tersebut
tentang ketsubutannya (status ketetapan dalilnya). Oleh karena itu terjadi
ta’arudh atara Al-Qur’an (yang qathi’i Al-Tsubut) dengan Hadits Ahad (yang
dzhanny Al-Tsubut)
2. Adanya persamaan dalam kekuatannya.
Jadi, jika yang satu dalil itu Hadits mutawatir dan yang lain Hadits Ahad, maka
tidak ada ta’arudh. Karena dalam hal semacam ini hadits mutawatirlah yang harus
didahulukan.
2.3. Metode Dan Macam-Macam Tarjih
Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan
cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil,
secara zhahir terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh. Cara
pentarjihan dapat dikelmpokkan dalam dua kelompok besar yaitu: 1. الترجح بين النصوص yaitu menguatkan salah satu nash (ayat
ataupun hadits) yang saling bertentangan, 2. الترجح بين الأقيسة yaitu menguatkan salah satu qiyas
(analogi) yang saling bertentangan.[6]
2.3.1.
Tarjih
bain al-Nushush الترجح
بين النصوص
Untuk mengetahui kuatnya salah satu
dari nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para
ulama’ ushul fiqh, yaitu dari sisi sanadnya, matannya, dari segi hukum yang
dikandung dalam nash, dan pentarjihan dengan menggunakan faktor dalil lain di
luar nash.
1. Dari segi sanad
Untuk
tarjih yang dilihat dari sisi sanad, maka ada beberapa perkara yang harus
diperhatikan, antara lain:
Kembali kepada perawi, yaitu perawi
yang langsung mendengar dari Rasulullah lebih diunggulkan dari perawi yang
tidak langsung mendengar dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam.
Contoh : Hadits yang diriwayatkan
oleh Aby Rafi'
"Sesungguhnya Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wasalam menikahi Mainmunah dalam kondisi halal ( tidak
berihram), sedangkan saya bermusafir mengikuti mereka berdua." (HR. Ahmad
dan Tirmidzi)
Hadits dari Ibnu 'Abbas, ia berkata
: "Sesungguhnya Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wasalam menikahi
Maimunah dalam kondisi berihram." (HR. Bukhori, Muslim dan Ashabus Sunan)
Dari dua hadits tersebut diatas
terjadi ta'arudl, maka harus ditarjih. Dan sesuai cara yang telah disebutkan,
maka hadits Rafi' lebih dikuatkan daripada hadits riwayat Ibnu 'Abbas, karena
Rafi' ketika meriwayatkan hadits itu bersama-sama dengan Rasulullah dan
Maimunah.
Atau kembali pada perawi yang lebih
faqih dan lebih masyhur dari pada perawi yang kefaqihannya/kedlobitannya masih
diperselisihkan.
Kembali pada hakekat periwayatan,
yaitu periwayatan hadits mutawatir lebih didahulukan daripada hadits ahad, dan
hadits musnad lebih didahulukan daripada hadits mursal, dan seterusnya. Kembali
pada waktu periwayatan, maka didahulukan perawi yang meriwayatkan pada waktu baligh
dari perawi yang meriwayatkan hadits pada waktu belum baligh.
Lebih jelasnya tentang tarjih dari
segi sanad, yang perlu diperhatikan yakni:[7]
Pertama, Perawi salah satu dari dua hadits yang bertentangan
jumlahnya lebih banyak dalam tingkatan-tingkatannya dibandingkan hadits yang
lain. Maka, hadits yang dibawakan perawi yang lebih banyak lebih kuat
dibandingkan hadits yang dibawakan perawi yang lebih sedikit jumlahnya. Contoh
:
حدثنا
حفص بن عمر ثنا شعبة عن أبي إسحاق عن عاصم بن ضمرة عن علي عليه السلام أن النبي
صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبل العصر ركعتين
”Telah menceritakan kepada kami
Hafsh bin ’Umar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari
’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi Thalibradliyallaahu ’anhu :
”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam shalat (sunnah)
sebelum ’asar sebanyak dua raka’at” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1272).
Syu’bah dalam sanad hadits ini telah
menyelisihi beberapa perawi lain yang meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabi’y),
dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu tentang shalat sunnah
sebelum ‘Asar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; dimana mereka
semua menyebutkan empat raka’at [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 650, Ibnu Majah
no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429; shahih]. Para perawi tersebut antara lain :
Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq), dan
Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq).
Jika kita mengambil metode tarjih
dalam pembahasan ini, kedudukan shalat sunnah sebelum ‘Asar empat raka’at lebih
kuat dibandingkan dua raka’at.
Kedua, Perawi salah satu dari dua hadits lebih tsiqah, lebih dlabth,
lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit salahnya daripada perawi
yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.
Contoh :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah (3/529), At-Tirmidzi (no. 1165), An-Nasa’i dalam ‘Isyratun-Nisaa’
(no. 115), Ibnul-Jaarud (3/52 – Al-Ghauts), Ibnu Hibbaan (Al-Ihsaan
: 6/202) dari jalan Abu Khaalid Al-Ahmar (Sulaiman bin Hayyaan Al-Azdiy), dari
Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaiman, dari Kuraib, dari Ibnu
‘Abbas secara marfu’ :
لا ينظر الله إلى رجل أتى رجلًا أو
امرأةً في دبرها
“Allah tidak akan melihat seorang
laki-laki yang mendatangi (menggauli) laki-laki atau wanita (istrinya) dari
duburnya”.
Abu Khaalid Al-Ahmar telah
diselisihi oleh Wakii’ bin Al-Jarraah dalam hadits di atas. Waki’ bin
Al-Jarraah telah meriwayatkan dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsman, dari Makhramah,
dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf diriwayatkan oleh
An-Nasa’iy dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 116). Al-Haafidh Ibnu Hajar
berkata dalam At-Talkhiishul-Habiir (3/206) : “Riwayat ini lebih shahih
di sisi mereka daripada riwayat yang marfu”.[8]
Apa yang dikatakan oleh Al-Haafidh
adalah benar, karena Waki’ lebih hifdh dan tsabt daripada
Abu Khaalid Al-Ahmar. Hal itu dikarenakan Abu Khaalid adalah perawi yang
berstatus shaduq, kadang salah dan berselisihan riwayatnya;
sedangkan Waki’ adalah perawi yang berstatus tsiqatun haafidh.
Tarjih yang dilakukan atas dua riwayat di
atas menyimpulkan bahwa riwayat Waki’ yang mauquf dimenangkan atas
riwayat Abu Khaalid yang marfu’. Atau dengan kata lain, riwayat di
atas bukanlah merupakan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
melainkan hanya perkataan Ibnu ‘Abbasradliyallaahu ‘anhuma saja.
Ketiga, Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang
mempunyai kisah (shahibul-qishshah). Maka, riwayat perawi ini lebih kuat
daripada yang lainnya. Contoh :
عن ميمونة قالت : تزوجني رسول اللّه
صلى اللّه عليه وسلم ونحن حلالان
Dari Maimunah, ia berkata :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami
berdua dalam keadaan halal (setelah selesai ihram)” (HR. Abu Dawud no. 1843;
shahih).
Riwayat di atas bertentangan dengan
riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
”Bahwasannya Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram”
(HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410).
Jika kita melakukan tarjih atas
dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunahradliyallaahu ‘anhaa dimenangkan
atas riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Hal ini dikarenakan
ia berstatus sebagai si empunya kisah yang menceritakan pengalamannya.
Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata
:
وهم بن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم
“Ibnu ’Abbas telah keliru dalam
(meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan ihram” (HR. Abu
Dawud no. 1845; shahih).
Keempat, Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang
mengetahui secara langsung apa yang diriwayatkannya, sedangkan perawi yang lain
tidak. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua. Contoh
:
عن
أبي رافع قال : تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم ميمونة وهو حلال
وبنى بها وهو حلال وكنت أنا الرسول بينهما
Dari Abu Raafi’, ia berkata :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam
keadaan halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam
keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara keduanya” (HR.
At-Tirmidzi no. 841).
Jika hadits ini shah maka riwayat
Abu Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam
no. 3 di atas),[9]
karena Abu Raafi’ merupakan perantara (safiir) antara
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Maimunah, dan yang
menerima pernikahan Maimunah dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, Perawi salah satu dari dua hadits termasuk istri-istri
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia
didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan
dengan kehidupan/hubungan suami istri. Contoh[10]:
عن
عائشة وأم سلمة – رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يدركه
الفجر وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallaahu
‘anhuma bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah
bercampur dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan
berpuasa” (HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109).
أن أبا هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر
ذلك اليوم
Bahwasannya Abu Hurairah pernah
berkata : “Barangsiapa yang pada waktu subuh dalam keadaan junub, maka ia telah
berbuka pada hari itu” (HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no. 3486, dan yang
lainnya; shahih).
Hadits pertama lebih dimenangkan
atas hadits kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal
junub Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dibanding dengan Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
2.
Dari segi
matan
Yang dimaksud matan disini adalah
isi atau kandungan dari hadits, Al Qur’an atau Ijma’, baik yang berupa amr
(perintah), larangan, ‘am dan khosh serta yang lainnya. Larangan lebih
didahulukan daripada perintah, karena menolak mafsadah lebih diutamakan
daripada mendatangkan mashlahah, berdasarkan kaidah : “Menolak mafsadah
lebih diutamakan daripada menarik mashlahah.” Jika dalil satunya
memerintahkan dan yang lain memubahkan maka didahulukan yang dalil yang
memerintahkan untuk bisa lebih berhati-hati.
Dan jika dalil satunya mengandung
lafadh hakiki, dan yang lain mengandung lafadh majazy (arti kiasan) maka
didahulukan dalil yang mengandung lafadh hakiki, karena lafadh hakiki tidak
memerlukan qorinah (indikasi) nash yang lain. Bila ada dalil yang mengandung
lafadh larangan dan yang lain mengandung pembolehan, maka didahulukan dalil
yang mengandung larangan supaya bisa lebih berhati-hati. Ucapan lebih
didahulukan dari pekerjaan. “Ucapan lebih didahulukan atas aktivitas.”
3.
Dari segi
hukum atau kandungan teks
Adapun cara untuk mentarjih dari
sisi hukum ini ada beberapa macam, antara lain:
1. Mendahulukan dalil yang menunjukkan
hukum yang meringankan daripada dalil yang menunjukkan hukum yang memberatkan. Berdasarkan
firman Allah, dalam QS. Al Baqarah ayat 185 :
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
Artinya: "Allah menghendaki
atas kalian kemudahan, dan tidak menghendaki atas kalian kesusahan."
Demikian juga dalam QS. Al Hajj : 78
uqèd öNä38u;tFô_$# $tBur @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym
Artinya: "Dan tidak dijadikan
pada diri kalian dalam agama (Islam) suatu beban."
2. Mendahulukan dalil yang menunjukkan
hukum haram daripada dalil yang menunjukkan hukum mubah, berdasarkan hadits
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasalam.
"Tidak
berkumpul halal dan haram kecuali yang haram mengalahkan yang halal."
3. Mendahulukan dalil yang
menunjukkan hukum wajib daripada dalil yang menunjukkan hukum mubah, karena
meninggalkan yang wajib adalah dosa, sedangkan meninggalkan yang mubah adalah
tidak apa-apa, maka menjauhi dosa lebih diutamakan daripada aktivitas yang
tidak menyebabkan dosa.
Dan
dari segi hukum atau kandungan teks menurut al-Syaukani adalah[11]:
1. Apabila salah satu hukum teks itu
mengandung bahaya, sedagkan teks lain menyatakan kebolehan saja, menurut jumhur
yang mengandung bahaya itulah yang harus di dahulukan.
2. Apabila hukum yang dikandung suatu
teks bersifat menetapkan, sedangkan yang lain bersifat meniadakan, maka dalam
seperti ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Menurut
Syafi’iyah teks yang bersifat meniadakan lebih didahulukan dari teks yang
bersifat menetapkan. Sedangkan menurut jumhur teks yang sifatnya
menetapkan lebih di dahulukan.
3. Apabila teks yang bertentangan itu
salah satunya mengandung hukum menghindarkan terpidana dari hukum, sedangkan
teks yang lain mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan hukuman terhadap
terpidana tersebut, maka teks yang mengandung hukum menghindarkan itu lebih
didahulukan, karena dengan adanya dua kemungkinan ini hukuman tidak dapat
dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rosulullah SAW:
إدرؤوا الحدود بالشبهاة
Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud
apabila terdapat keraguan (HR
al-Baihaqi).
4. Teks yang mengandung hukuman yang
lebih ringan didahulukan dari pada teks yang mengandung hukuman yang berat. Seperti
yang tertulis dalam QS al-Baqarah: 185:
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur”.
4.
Pentarjihan
dengan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash
Al-Amidi mengemukakan lima
belas cara pentarjihan dengan menggunakan mtode ini, dan Imam al-Syaukani
meringkasnya menjadi[12]:
1.
Mendahulukan
salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik itu al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, Qiyas, maupun logika.
2.
Mendahulukan
salah satu dalil yang sesuai dengan amalan penduduk Madinah atau yang diamalkan
al-Khulafa al-Rasyidun hal ini dikarenakan penduduk Madinah lebih banyak
mengetahui persoalan Turunnya al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’annya.
3.
Dikuatkan
nash yang menyebutkan illat hukumnya dari nash yang todak menyebutkan illatnya.
4.
Menguatkan
dalil yang kandungannya menurut sikap waspada (Ihkstiyat) daripada dalil
lainnya yang tidak demikian.
5.
Mendahulukan
nash yang dibarengi dengan perkataan atau perbuatan dari perawinya dari nash
yang tidak demikian halnya.
2.3.2.
Tarjih
bain al-Aqyisah الترجح
بين الأقيسة
Imam al-Syaukani
mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang
saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily meringkasnya menjadi[13]:
1. Dari segi hukum
asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i
dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qath’i
lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya menguatkan landasan dalilnya adalah
ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, karena nash bisa di
takhsis, di ta’wil dan di nasakh. Sedanglan ijma’ tidak bisa di
khususkan, dita’wilkan dan dibatasi.
2. Dari segi hukum furu’ (cabang),
yaitu dengan menguatkan hukum furu’ yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang
hukum furu’nya lebih dahulu dari hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum
furu’ yang illat nya diketahui secara qath’i dari hukum furu’ yang illat
nya bersifat zhanni.
3. Dari segi illat, yaitu salah satunya
dengan menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati
dari illat yang tidak disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya
sebagai illat, dan lain-lain.
4. Pentarjihan qiyas melalui
faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah
illat dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu yang
selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.
2.4.
Tarjih
Dalil Aqli
Para ahli ushul berselisih pendapat
mengenai pengamalan dalil yang lebih unggul. Dalam hal ini ada dua pendapat[14]:
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa
mengamalkan dalil yang lebih unggul adalah wajib bila dihubungkan dengan adanya
dalil yang tidak unggul (unggul) karena dalil yang lemah tidak boleh diamalkan,
baik pengunggulan (tarjih) tersebut secara qath’i maupun dzani. Adapun
dasar-dasar pendapat mereka :
a.
Para
sahabat sepakat untuk mengamalkan dalil yang lebih unggul. Mereka telah
mengunggulkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra tentang wajibnya mandi
jinabah. “Kewajiban mandi itu karena keluarnya air (sperma)”. Alasan
ditarjihnya hadits ini adalah karena isteri-isteri nabi, termasuk Aisyah lebih
tahu terhadap perbuatan beliau daripada orang lain.
Di antara contoh-contoh wajibnya mengamalkan dalil yang
lebih unggul adalah hadits yang menceritakan bahwa Abu Bakar ra. Pernah
menerima hadits dari Mughirah ra. Tentang harta warisan yang bersesuaian
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Maslamah ra. Qubaishah bin
Dzu’aib berkata : “Seorang nenek datang kepada Abu Bakar untuk bertanya
tentang bagian warisannya. Abu Bakar menjawab : ” Kamu tidak mendapat bagian
sedikitpun menurut ketentuan Quran dan Hadits. Akan tetapi, kembalilah nanti
jika aku telah bertanya kepada para sahabat“. Kemudian Abu Bakar bertanya
kepada para sahabat. Mughirah bin Syu’bah berkata “Aku pernah menghadiri
majelis pengajaran Rasulullah SAW, beliau memberikan ketentuan seperenam bagian
(harta waris) kepada seorang nenek“. Abu Bakar bertanya lagi “Apakah ada orang
lain bersamamu (saat itu)?” Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri seraya
berkata sebagaimana perkataan Mughirah bin Syu’bah. Maka Abu Bakar memberikan
ketentuan seperenam bagian kepadanya (nenek). Ketika Umar didatangi (ditanya)
seseorang nenek lain, ia juga menjawab: “Kamu tidak mendapat bagian (harta
waris) sedikitpun menurut Quran. Tidak ada keputusan yang akan aku berikan
dalam masalah ini kecuali sama dengan keputusan selain kamu. Aku tidak
menambahi bagian warismu sedikitpun, kecuali seperenam. Apabila kamu bersama
nenek lain, maka seperenam itulah bagianmu bersama, dan jika di antara kalian .
Hal tersebut menunjukkan bahwa para sahabat tidak
menggunakan pendapat-pendapatnya dan qiyas-qiyas sebagai dasar
beramal, kecuali setelah menkaji nash-nash.
1. Apabila dalil yang lebih unggul
tidak diamalkan, maka sudah pasti dalil yang lemah diamalkan. Mengamalkan dalil
yang lemah dan meninggalkan dalil yang lebih unggul adalah hal yang dilarang
menurut akal.
2. Apabila salah satu dari dua dalil
yang saling bertentangan lebih unggul, maka berdasarkan orang-orang yang
berakal sehat, dalil yang lebih unggullah yang wajib diamalkan. Karena akal
akan mendahulukan untuk mengamalkan dalil yang lebih unggul daripada dalil yang
lemah. Adapun dasar hukumnya adalah karena pemberlakuan hukum-hukum syara’ itu
juga dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
2. Sebagian ulama ushul berpendapat
bahwa tidak diperbolehkan mengamalkan dalil yang lebih unggul. Apabila terdapat
pertentangan antara beberapa dalil, maka kita diperbolehkan untuk memilih salah
satunya sebagai dasar beramal atau tidak mengamalkan dalil-dalil yang saling
bertentangan tersebut sama sekali. Adapun dasar-dasar argumentasi mereka adalah[15]:
- Firman Allah SWT:
فا عتبروا يا اولى الابصار
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan“
Ayat
ini memerintahkan kita untuk mengambil suatu kejadian sebagai peringatan secara
mutlak tanpa harus ada penjelasan atau penelitian terlebih dahulu. Berdasarkan
ayat ini, maka tidak ada alasan untuk mewajibkan mengamalkan dalil yang tidak
unggul. Karena mengamalkan dalil yang tidak unggul termasuk mengambil pelajaran
atau peringatan.
- Sabda Rasulullah SAW
امرت ان احكم بالظواهر والله يتولى با
السرائر
“Saya
diperintahkan untuk menghukumi lahiriyah, dan Allah yang menghukumi hal-hal non
lahiriyah (bathiniyah)”
Tidak
diragukan lagi bahwa dalil unggul adalah termasuk hal-hal yang bersifat
lahiriyah. Oleh karena itu ia dapat diamalkan.
BAB
III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa perlu sekali adanya
tarjih didalam hadits maupun hukum-hukum islam. Karena hal
tersebut berkaitan dengan kemaslahatn umat islam.
Secara
bahasa, tarjih ترجح berarti mengeluarkan.
Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil
dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan
cara al-jam’u wa al-taufiq. Jumhur Ulama mendefinisikan Menguatkan
salah satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan
(diterapkan).
Para
ulama’ Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa
dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir terdapat pertentangan dan
tidak mungkin dilakukan nasakh. Cara pentarjihan dapat dikelmpokkan
dalam dua kelompok besar yaitu: 1. الترجح
بين النصوص yaitu
menguatkan salah satu nash (ayat ataupun hadits) yang saling
bertentangan, 2. الترجح بين الأقيسة
yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang
saling bertentangan.
DAFTAR PUSTAKA
Wafa,
Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-dalil Syarah. Bangil:
al-Izzah.
Haroen,
Nasroen. 1997. Ushul Fiqh I. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu. Syarifudin,
Amir. 2008. Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: Kencana.
Qismu
Dakwah Al Haromain. Syarhul Isnawy, Juz II Hal. 189
______________.2008. Ushul Fiqh jilid 1. Jakarta: Kencana.
Zuhaili,
Wahbah. 1996. Ushul Fiqh al-Islamy Jilid 2. Dimashqa: Darul Riqr.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/beberapa-aspek-tarjih-dari-sisi-sanad.html.
diakses tanggal 4 November 2009
[7] http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/beberapa-aspek-tarjih-dari-sisi-sanad.html. diakses tanggal 4
November 2009
[9] ibid
[10] ibid
[11] Nasrun Haroen, Op, Cit, hal,200
[12] Ibid, hal 201-202
[13] Wahbah al-Zuhaily, Op, cit Hal, 1200
[14] Muhammad Wafa, Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-dalil
Syarah, (Bangil: al-Izzah, 2001), hal. 188
[15] ibid
0 komentar:
Post a Comment