BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Betapa penting dan
besar manfaatnya asuransi dalam masa pembangunan dewasa ini terutama dalam
usaha menyerap modal swasta melalui premi asuransi yang didapat dari para
pemegang polis. Dengan mulai tampak adanya perubahan dalam cara berfikir
sebagian besar bangsa Indonesia, dari tradisional ke modern maka tiba saatnya
dunia perasuransian di Indonesia untuk mengembangkan usahanya. Kebutuhan
manusia akan perlindungan baik itu terhadap dirinya maupun barang-barangnya (asset)
sudah semakin besar. Hal inbi dipengaruhi kondisi keamanan di negara kita yang
perlu dijaga serta didukung tingginya tingkat pengetahuan manusia. Salah satu
produk yang dimiliki manusia adalah asuransi. Perkembangan asuransi sendiri di
Indonesia berkembang sangat pesat. Ini menunjukkan tingginya kebutuhan masyarakat
adanya asuransi.
Jika kita memperhatikan
konsep asuransi maka hal tersebut jelas dapat memberikan perlindungan lebih
pada nasabahnya. Orang yang mengikuti asuransi akan mendapat jaminan atas ganti
kerugian barang-barangnya jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan (avengement).
Hal ini tidak terlepas dari pengetian asuransi itu sendiri yang mana tercantum
dalam pasal 246 KUHD yaitu suatu perjanjian (timbal balik) dengan mana seorang
penanggung meningkatkan diri kepada seseorang tertanggung dengan membayar suatu premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, yang mungkin akan didirikannya, karena suatu peristiwa tak
tentu (onzeker coorval). [1]
Pengertian asuransi juga terdapat dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 UU Nomor 2
Tahun 1992 tentang Perasuransian, yaitu: Asuransi atau Pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penaggung mengikatkan
diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan
penggantian kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggalnya atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.[2]
Berdasarkan perkembangannya,
terdapat beberapa jenis asuransi di antara asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
Kedua asuransi tersebut sering disebut dengan asuransi non syariah. Selain itu
juga terdapat asuransi syariah yang berdasarkan pada hukum Islam. Sebenarnya dalam hukum Islam
sendiri masih terdapat pertentangan mengenai halal atau haramnya produk
asuransi. Dalam praktek asuransi syariah juga masih belum sepenuhnya sesuai
dengan syariat Islam sehingga batasan antara asuransi non syariah dengan
asuransi syariah sangat tipis. Asuransi syariah diharapkan dapat mengatasi
pertentangan mengenai halal atau haramnya produk asuransi dan dapat diterapkan
di Indonesia tanpa menyalahi syariat Islam. Berdasarkan hal tersebut maka
kelompok kami tertarik untuk membahasnya lebih lanjut dan mengangkatnya dalam
makalah dengan judul :
“Penerapan Asuransi Syariah di Indonesia
Berdasarkan Fatwa MUI No. 53/DSN-MUI/III/2006”
B. RUMUSAN
MASALAH
- Mengapa penerapan asuransi syariah di Indonesia belum sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariat islam (masih mengandung unsur asuransi non syariah)?
C. TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
mengetahui sudut pandang hukum Islam tentang asuransi.
2. Untuk
mengetahui perbedaan antara asuransi syariah dengan asuransi non syariah.
D. MANFAAT
PENULISAN
1. Bagi
masyarakat pada umumnya, diharapkan bisa menambah wawasan tentang asuransi
syariah.
2. Bagi
nasabah asuransi pada umumnya, diharapkan bisa memberikan pandangan lebih luas
tentang keuntungan dan kerugian asuransi syariah dan asuransi non syariah.
3. Bagi
pengamat asuransi, diharapkan dapat mengetahui pendapat-pendapat yang ada
tentang asuransi non syariah jika dipandang dari sudut hukum Islam.
4. Bagi
mahasiswa, diharapkan dapat memahami lebih dalam tentang asuransi, baik
asuransi syariah maupun non syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asuransi
dalam Sudut Pandang Hukum Islam
Perkembangan asuransi
di Indonesia sudah berjalan dengan sangat pesat dan bahkan sudah memasyarakat
di Indonesia. Diperkirakan juga banyak umat Islam terlibat di dalamnya. Di
kalangan umat Islam, ada anggapan bahwa asuransi non syariah yang banyak
berkembang tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang
yang mengingkari rahmat Allah. Oleh karena itu, permasalahan tersebut perlu
juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Allahlah yang menentukan segala-galanya
dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT,
yang artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q.S HUd : 6). “ …dan siapa (pula)
yang memberikan rezekinya kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping
Allah ada Tuhan (yang lain)? … ” (Q.S. An-Naml : 64). “Dan kami telah
menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (kami menciptakan
pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya” (Q.S. Al-Hijr : 20).
Dari ketiga ayat
tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya
untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka
bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih
perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkiannya. Melibatkan diri ke dalam
asuransi, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan
masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan tegas dalam nash,
maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihad, yaitu masalah yang mungkin
masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.
Ada beberapa pandangan
atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka
perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1. Asuransi
itu haram dalam segala macam bentuknya (termasuk asuransi jiwa). Pendapat ini
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah Al-Qalqii (Mufti Yordania), Yusuf
Qadhawi dan Muhammad Bakhil Al-Muth’I (Mutfti Mesir). Alasan-alasan yang mereka
kemukakan adalah:
-
Asuransi sama dengan judi.
-
Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
-
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
-
Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang
polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi
yang sudah dibayar atau dikurangi.
-
Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam
praktek-praktek riba.
-
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata
uang tidak tunai.
-
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama
halnya dengan mendahului takdir Allah.
2. Asuransi
non syariah diperbolehkan
Pendapat kedua ini
dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum
Islam pada fakultas Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (Guru
Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pemegang
Kitab Al-Muamallha A-Hadistah Wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
-
Tidak ada nash (Al-Quran dan Sunnah) yang melarang
adanya asuransi.
-
Ada kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak
-
Saling menguntungkan kedua belah pihak
-
Asuransi dapat menaggulangi kepentingan umum, sebab
premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang
produktif dan pembangunan
-
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
-
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’Awuniyah)
-
Asuransi dianalogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun
seperti Taspen
3. Asuransi
yang bersifat sosial diperbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat ketiga ini
dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (Guru Besar Hukum Islam pada
Universitas Kairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama
dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula halnya dengan
alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan
golongan yang mengatakan asuransi syuhbat adalah karena tidak ada dalil yang
tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas,
dapat dipahami bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat ada saat
ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar
untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang
benar. Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang
pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut
ketentuan agama Islam atau yang dikenal dengan asuransi syariah. Dalam keadaan
begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW: “Tinggalkan
hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yang tidak meragukan
kamu.” Sebagian para ahli syariah menyamakan sistem asuransi syariah dengan
sistem makalahnya mendefinisikan takaful dengan at taknim, at taawun atau
at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh
suatu badan, dan terjadilah kesepakatan
dari anggota untuk bersama-sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang
mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing aggota
membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan,
sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk
kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut
tidak dengan sengaja mengeruk pkm keuntungan untuk dirinya sendiri. Di sini
sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.
2.2 Perbedaan antara asuransi non syariah dan asuransi syariah
Ada beberapa ciri yang
dimiliki asuransi non syariah, diantaranya adalah:
1. Akad
asuransi non syariah adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan)
bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban
ini adalah kewajiban tertanggung membayar premi-premi asuransi dan kewajiban
penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
2. Akad
asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang di dalamnya kedua orang
yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
3. Akad
asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak
penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui
jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
4. Akad
asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahaan
asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki
tertanggung.
Sedangkan, asuransi
syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Akad asuransi syariah adalah bersifat tabarru, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah keuntungan hasil mudhorobah bukan riba.
- Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapatkan imbalan, dan kalau ada imbalan, sesunguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
- Dalam asuransi syari’ah tidak ada piha yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
- Akad asuransinya syari’ah bersih dan gharar dan riba.
- Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Suatu asuransi
diperbolehkan mencari syar’I jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan
aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu, prinsip-prinsip dasar dalam asuransi
syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Akad
asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak
boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru, maka andil yang dibayarkan akan
berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil
jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatanm dengan tidak urang dan tidak
lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah keuntungan hasil nudhorobah
bukan riba.
2. Dalam
asuransi syari’ah tidak ada pihak yang
lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin
jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
3. Akad
asuransi syariah bersih dari gharar dan riba.
4. Asuransi
syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Suatu asuransi
diperbolehkan secara syar’i jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan
aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu, prinsip-prinsip dasar dalam asuransi
syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Asuransi
syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama), tolong menolong, saling
menjamin, tidak berorientasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT
berfirman, “Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan
jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
2. Asuransi
syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3. Sumbangan
(tabarru’) sama dengan hibah (pemberian). Oleh karena itu, haram hukumnya bila
ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap
anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus
disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari
uang yang terkumpul itu diambillah sejumlah uang guna membantu orang yang
sangat memerlukan.
5. Tidak
dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia
mendapa imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi
uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh
jamaah.
6. Apabila
uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
Dibandingkan
asuransi non syariah, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam
beberapa hal, diantaranya:
- Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi non syariah, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
- Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain, yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi non syariah bersifat tadabuli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
- Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi non syariah, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
- Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi non syariah, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
- Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabaru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi non syariah, dana pembayaran klaim diambil dari rekening perusahaan.
- Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi non syariah, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim nasabah tak memperoleh apa-apa.
Selain
terdapat beberapa perbedaan di atas, ternyata masih terdapat kesamaan antara
asuransi non syariah dengan asuransi syariah, diantaranya:
- Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing-masing pihak.
- Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota.
- Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifat mustamir (terus).
- Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesekapatan masing-masing pihak.
Dari
perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi non syariah tidak
memenuhi standar syari’ah yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi
kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat
yang ada dalam asuransi tersebut.
Dengan
lahirnya asuransi syariah tersebut, maka ada beberapa manfaat yang hendak
dicapai. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah,
yaitu:
- Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepeneganggungan di antara anggota.
- Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam saling tolong-menolong.
- Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
- Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
- Juga meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
- Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
- Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
- Menutup Loss of Corning Power seseorang atau badna usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi (bekerja).
2.3 Kelemahan-Kelemahan
Praktek Asuransi Syariah
Seperti yang telah
dikemukakan, asuransi pada umumnya atau yang sering disebut dengan asuransi non
syariah masih terdapat pandangan mengenai halal atau haramnya asuransi tersebut
dari sudut pandang hukum Islam. Untuk mengatasi adanya perbedaan pendapat
tersebut, maka dimunculkanlah asuransi syariah yang berdasarkan pada hukum
Islam.
Lahirnya asuransi
syariah juga karena adanya kelemahan-kelemahan dalam asuransi non syariah yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Kelemahan-kelemahan tersebut tampak dari:
Asuransi syariah di
Indonesia pada umumnya dipandang masih bersifat non syariah yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Hal tersebut menimbulkan masalah mengenai halal dan
haramnya asuransi tersebut dari sudut pandang hukum Islam. Kelemahan-kelemahan
asuransi syariah saat ini tampak dari:
1. Akad
Mengandung Gharar (Ketidakjelasan)
Akad asuransi syariah
masih ada yang mengandung hal-hal yang kurang pasti atau gharar.
Maksudnya masing-masing pihak penanggung dan tertanggung tidak mengetahui
secara pasti jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil, pada waktu
melangsungkan akad. Walaupun saat ini beberapa perusahaan asuransi syariah
mampu mengetahui dengan pasti seberapa besar akan menerima uang (premi) dari
nasabahnya yang akan disetorkan ke rekening dana seluruh peserta (tabarru),
namun nasabah atau pihak perusahaan asuransi syariah masih belum bisa
mengetahui atau menentukan dengan pasti berapa klaim yang akan diterima
nasabah. Kalaupun ada, semuanya masih berupa perkiraan atau asumsi. Padahal
seharusnya akad ini merupakan akad yang jelas, berapa yang harus dibayar dan
apa yang akan didapat[3].
Dan akad yang bersifat gharar ini hukumnya diharamkan di dalam syariah Islam.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini: “dari Abi Hurairah ra berkata
bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli
dengan cara gharar.” (H.R Muslim).
2. Akad
Penundukan
Kelemahan kedua dari asuransi
syariah saat ini adalah masih terdapat akad idz’an. Maksudnya adalah akad yang
merupakan penundukan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Pihak yang kuat
lebih dominan terletak pada pihak perusahaan karena dialah yang menentukan
syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung. Syarat-syarat yang di buat oleh
pihak perusahaan asuransi syariah telah dibakukan pada akadnya atau
perjanjiannya. Perjanjian yang telah dibakukan tersebut menimbulkan posisi
perusahaan asuransi syariah menjadi lebih kuat dibandingkan dengan nasabah atau
pesertanya. Hal tersebut menyebabkan pertentangan dengan prinsip keadilan yang
sesuai dengan syariat Islam.
3. Mengandung
Unsur Pemerasan
Penerapan asuransi
syariah pada prakteknya masih seringkali terjadi unsur pemerasan. Ketika nasabah
atau para pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, seringkali
uang premi yang sudah dibayar jadi hangus atau hilang dan pihak asuransi juga
tidak memberikan surat pemberitahuan mengenai hal tersebut. Seharusnya premi
yang sudah diberikan oleh peserta dikembalikan sesuai dengan kesepakatan bagi
hasil pada awal perjanjian[4].
Selain itu para pihak harus saling bertanggung jawab, yang berarti peserta
asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan
menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas,
karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah.
4. Mengandung
Unsur ‘Penipuan’
Dalam klausul
perjanjian yang dibuat oleh pihak asuransi syariah biasanya masih ada yang
kurang ditonjolkan saat penawaran. Demikian juga dengan resiko-resiko buruk
yang akan terjadi, dan umumnya disembunyikan oleh pihak asuransi syariah.
Terdapat beberapa peserta yang kemudian jera berurusan dengan perusahaan
asuransi syariah yang cenderung tidak pernah mau berkompromi (hanya manis
ketika menawarkan di awal). Seharusnya
peserta dan pihak asuransi syariah saling melindungi penderitaan satu sama
lain, yang berarti bahwa peserta asuransi syariah atau takaful akan berperan
sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa
musibah yang dideritanya[5].
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Quraisy ayat 4 yang artinya: “(Allah) yang
telah menyediakan makanan untuk menghilangkan bahaya kelaparan dan
menyelamatkan/mengamankan mereka dari mara bahaya ketakutan.” Di antara sabda
Rasulullah yang mengandung maksud perlunya saling melindungi adalah: “Tidaklah
sah iman seseorang itu kalau ia tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan
jirannya menatap kelaparan.” (HR. al-Bazar)
Dengan begitu maka
asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah
SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban saling melindungi di antara sesama warga
masyarakat.
5. Diinvestasikan
pada Lembaga Ribawi
Perusahaan asuransi
syariah masih menginvestasikan dana peserta kepada pihak lain atau lembaga yang
menjalankan usaha dan bisnis dengan praktik ribawi, dimana lembaga tersebut
menggunakan sistem bunga dalam pendapatannya. Bunga inilah yang nantinya akan
diperoleh oleh pihak perusahaan asuransi dan sebagiannya menjadi uang yang akan
diterima atau dibayarkan kepada peserta asuransi bila ada yang melakukan klaim
kepada mereka. Ketika perusahaan asuransi syariah membenamkan investasinya pada
perusahaan dengan cara bunga atau riba maka hal tersebut menjadikan sebuah
titik haram. Berarti ketika seorang muslim ikut asuransi syariah tersebut maka
pada hakikatnya orang tersebut sedang melakukan transaksi pembungaan uang alias
riba yang mutlak haramnya.
Dan dalam hal
penerapan asuransi syariah di indonesia masih bersifat batil atau masih
menerapkan sistem penawaran non syariah dalam hal sistem bagi hasilnya
(nisbah). Dimana perusahaan asuransi syariah menerapkan sistem tawar menawar
dalam menentukan prosentase yang notabene tawar menawar tersebut masih termasuk
kedalam unsur jual beli.
Sebagai contoh dalam
perjanjian asuransi mudharobah, pengelolaan dana premi takaful keluarga dalam
unsur tabungan dengan salah satu perusahaan asuransi syariah di kota malang.
Kelompok kami mencoba untuk mencari informasi dengan berpura-pura membuka dana
asuransi disalah satu perusahaan asuransi dikota malang. Pihak perusahaan
asuransi syariah tersebut menawarkan pada kami sistem pembagian nisbah sebesar
50 % untuk nasabah dan 50% untuk perusahaan asuransi tersebut. Kemudian ketika kami
tidak setuju, mereka menawarkan untuk 60% untuk kita dan 40% untuk mereka
(perusahaan asuransi) tersebut. Sedangkan didalam buku “Aspek-aspek hukum
perasuransian syariah di Indonesia” karya Gemala Dewi, S.H.,LL.M. cetakan
prenada media grup edisi revisi cetakan ketiga menjelaskan bahwa, seharusnya
pembagian nisbah tersebut 70% dan 30%, hal ini dikarenakan pihak asuransi hanya
mengolah dana dari nasabah untuk di investasikan. Dalam buku ini dijelaskan
pula bahwa pembagian 70% dan 30% tersebut untuk nasabah sebesar 70% dan 30%
untuk biaya operasional perusahaan asuransi tersebut.
Dikarenakan hal tawar
menawar itulah maka asuransi syariah masih kami anggap batil dan tidak sesuai
dengan syariah islam. Meskipun dalam “FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA
INDONESIA No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH dan
FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang TABBARU' PADA ASURANSI SYARIAH” tidak dijelaskan secara mendalam
tentang pembagian dana nisbah secara pasti dan sah menurut syariah islam. Hal
inilah yang membuat kami riskan akan adanya unsur menguntungkan diri sendiri
bagi pihak perusahaan, dikarenakan dalam sistem penawarannya pihak perusahaan
asuransi syariah berusaha mendapatkan keuntungan yang sama besar dengan
nasabahnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ada beberapa pandangan
atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka
perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya
(termasuk asuransi jiwa).
2.
Asuransi non syariah diperbolehkan.
3.
Asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan dan yang
bersifat komersial diharamkan.
Perbedaan antara
asuransi non syariah dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi non syariah,
asuransi syariah memiliki perbedaan mandasar dalam beberapa hal, di antaranya:
1.
Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan
asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi
manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan
syariat Islam. Adapun dalam asuransi non syariah, maka hal itu tidak mendapat
perhatian.
2.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong
menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain, yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi non syariah bersifat tadabuli (jual beli
antara nasabah dengan perusahaan).
3.
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi
syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil
(mudharobah). Sedangkan pada asuransi non syariah, investasi dana dilakukan
pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana
milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan
perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan
pengelolaan dana tersebut.
5.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana
diambil dari rekening tabaru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah
diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila ada peserta yang terkena
musibah. Sedangkan dalam asuransi non syariah, dana pembayaran klaim diambil
dari rekening perusahaan.
6.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku
pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil.
Sedangkan dalam asuransi non syariah, keuntungan sepenuhnya menjadi milik
perusahaan. Jika tak ada klaim nasabah tak memperoleh apa-apa.
Selain terdapat
beberapa perbedaan di atas, ternyata masih terdapat kesamaan antara asuransi
non syariah dengan asuransi syariah, diantaranya:
1.
Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridhoan dari
masing-masing pihak.
2.
Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para
anggota.
3.
Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifat mustamir
(terus menerus).
4.
Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesekapatan
masing-masing pihak.
Lahirnya asuransi
syariah juga karena danya kelemahan-kelemahan dalam asuransi konvensional yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Kelemahan-kelemahan tersebut tampak dari:
1.
Akadnya banyak mengandung Grarar (ketidak jelasan)
seharusnya akad yang
ada ini merupakan akad yang jelas, berapa yang harus dibayar dan apa yang akan
didapat. Dan akad yang bersifat gharar ini hukumnya diharamkan di dalam syariah
Islam
2.
Akad Penundukan
Perjanjian yang dibuat
dalam asuransi syariah telah dibakukan dzn hzl tersebut menimbulkan posisi perusahaan asuransi
syariah menjadi lebih kuat dibandingkan dengan nasabah atau pesertanya. Hal
tersebut menyebabkan pertentangan dengan prinsip keadilan yang sesuai dengan
syariat Islam
3.
Mengandung Unsur Pemerasan
Seharusnya premi yang
sudah diberikan oleh peserta dikembalikan sesuai dengan kesepakatan bagi hasil
pada awal perjanjian. Selain itu para pihak harus saling bertanggung jawab, yang
berarti peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk
membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan
niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah.
4.
Mengandung Unsur ‘Penipuan’
Seharusnya peserta dan
pihak asuransi syariah saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang
berarti bahwa peserta asuransi syariah atau takaful akan berperan sebagai
pelindung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa musibah
yang dideritanya.
5.
Diinvestasikan pada Lembaga Ribawi.
Bunga hasil investasi dari dana-dana para
nasabah inilah nantinya akan diperoleh oleh pihak perusahaan asuransi dan
sebagiannya menjadi uang yang akan diterima atau dibayarkan kepada peserta
asuransi bila ada yang melakukan klaim kepada mereka. Ketika perusahaan
asuransi syariah membenamkan investasinya pada perusahaan dengan cara bunga
atau riba maka hal tersebut menjadikan sebuah titik haram. Berarti ketika
seorang muslim ikut asuransi syariah tersebut maka pada hakikatnya orang
tersebut sedang melakukan transaksi pembungaan uang alias riba yang mutlak
haramnya.
SARAN
Dengan banyaknya kelemahan-kelemahan yang
terkandung dalam asuransi non syariah menurut ajaran hukum Islam (syariah)
tersebut maka dianjurkan untuk menggunakan asuransi syariah yang didasarkan
pada ajaran Islam, sehingga bagi nasabah khususnya yang beragama Islam tidak
menimbulkan dosa. Hal ini disebabkan asuransi syariah merupakan asuransi yang
lebih halal karena didasarkan ajaran Islam meskipun keuntungan yang diperoleh
tidak sebesar pada asuransi non syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Gemala
Dewi. SH., LL.M., Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, Edisi Revisi. Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
2006.
Muashudi.
H., SH., MH., Hukum Asuransi. Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung. 1998.
Purwosutjipto,
HMN., SH, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Hukum
Pertanggungan), Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983.
www.google.co.id
www.hukumonline.com
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian.
Fatwa DSN 21/DSN-MUI/X/2001 tentang PEDOMAN ASURANSI SYARI’AH.
[1] H.M.N.,
HUKUM PERTANGGUNGAN, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1986, Hal 1.
[2] Pasal 1
ayat 1 Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian
[3] Gemala,
Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm
135
[4] “Akad Takafuli dan Tabarru Dalam Asuransi
Syariah”, 15 Juli 2007, http://www.pojokasuransi.com
[5]
Kartajaya, Hermawan. “Ekonomi Islam Itu
Adil dan Indah”,
http://www.pojokasuransi.com/forum
0 komentar:
Post a Comment